Hai teman, aku akan menceritakan secuil pengalamanku untukmu. Saat itu hawa panas dan pengap memenuhi ruangan di lantai dua–tempatku kuliah. Sebenarnya aku terbiasa menghabiskan waktu senggang di sudut dalam ruangan. Tapi entah kenapa aku tergerak ingin menghirup udara segar di luar. Dan mungkin aku bisa mendapatkan angin ketika keluar dari ruangan yang penuh dengan suara riuh rendah teman-teman yang asik gosip sana-sini.
Dengan
membawa novel filsafat berjudul ‘Shopie’s World’ yang tebalnya nyaris lima cm,
aku juga menarik keluar salah satu kursi. Dan benar saja. Angin berhembus
lembut menyapaku ketika keluar dari ruangan. Duduk di pinggir balkon ini adalah
pilihan terbaikku. Dari sini, aku bisa melihat aktivitas di bawah.
Membaca novel di sini asik juga,
fikirku. Disela membaca, aku sempat melirik ke arah bawah–di taman jurusan.
Novel yang kupegang tertutup seketika. Aku tahu saat itu aku sempat menahan
napas beberapa detik. Begitu tertariknya aku dengan objek yang sedang kupandang.
Refleks,
aku berdiri dari kursiku. Dan melipat kedua tangan di atas besi-besi balkon.
Oh, Tuhan, ini kah sosok malaikat tanpa sayap seperti yang sering dituliskan
dalam novel-novel? Beginikah wujudnya? Kalau memang iya, aku juga akan
menulisnya dalam novel-novelku.
Teman,
mungkin saat itu tanpa sadar aku tersenyum. Ah, entahlah, aku lupa. Aku terlalu
sibuk memperhatikan ‘kakak’ itu. Ya, kakak berkemeja putih itu. Kurasa baru
kali itu melihatnya dan aku langsung tahu kalau ia bukan teman seangkatanku.
Jadi aku menyimpulkan bahwa kakak itu adalah seniorku.
Aku
kembali duduk dan membuka novel yang kubawa. Tetapi dari sudut mataku, aku
masih memperhatikannya. Aku terpesona dengan senyuman kakak kemeja putih itu.
Walau aku tak bisa mendengar suaranya dari jarak sejauh itu, aku tahu kalau
kakak itu adalah orang yang ramah. Senyumannya selalu terlihat di sela-sela
percakapan dengan teman-temannya.
Angin
masih berhembus perlahan. Bersamaan dengan hembusan itu, kakak kemeja putih berjalan
pergi dan masuk ke salah satu ruangan. Entah mengapa, kurasa saraf-sarafku tak
bekerja normal. Lemas di sana-sini.
Tiba-tiba
selera membacaku hilang seiring kepergian kakak itu. Aku hanya bisa memanjatkan
doa dalam hati agar nanti aku diijinkan melihatnya lagi. Melihat senyumnya.
***
Dua
bulan berlalu. Dan aku masih setia duduk di pinggir balkon ini. Menunggu memang
membosankan terkecuali menunggu yang satu ini. Dengan sabar aku terus berharap
kemeja putih itu akan muncul kembali dipandanganku.
Terkadang
aku duduk di sana hingga senja datang–tetap menunggu. Segala ajakan teman-teman
untuk pulang terus kuabaikan.
Hari ini
masih aku lakukan kegiatan rutinku itu. Lelah mulai datang, teman. Keraguan
mulai datang, mungkin kakak itu tidak akan muncul lagi. Mungkin dia pernah
muncul tapi aku tak melihatnya. Atau mungkin aku lupa wajahnya?. Cepat-cepat
kutepis jauh semua pemikiran buruk itu. Dan aku mulai bersiap membaca novel
yang baru kubeli–‘99 Cahaya di Langit Eropa’.
Baru
hendak mulai membaca, ada beberapa orang yang baru datang lalu duduk di taman
jurusan. Kau tahu teman? Mataku terpakaku pada salah satu diantaranya. Kakak
itu! Kemeja putih itu! Senyum itu!
Saraf-saraf
di kakiku mulai bereaksi. Aku berlari menuruni tangga. Suara sepatuku beradu dengan
lantai keramik menimbulkan suara hentakan keras. Aku menuruni tangga sekaligus
dua-dua. Dadaku naik-turun dan aku senang tak terbendung.
Aku
ingin melihat kakak itu dari jarak yang dekat! Tekadku dalam hati. Namun, di
tangga terakhir, kakiku berhenti seketika. Pemberhentianku yang mendadak itu
nyaris membuatku terjungkal. Mana kakak itu? Ke mana dia?! Pandanganku mulai
berkeliling. Dia tidak ada di mana-mana.
Mulai
ada isakan kecil yang kubuat. Dadaku masih naik-turun, aku lelah hingga
menunduk-nunduk. Aku kecewa setengah mati. Perasaanku kacau. Pelupuk mataku
terasa berat dan hangat.
Aku tak
bisa menahan lagi. Air matakupun meleleh. Tak pernah aku menunggu hingga
seperti ini. Dan aku tak pernah kecewa hingga seperti ini.
Aku
memutuskan untuk menghentikan penantianku. Namun kemeja putih dan senyum itu
akan tetap kukenang hingga seribu musim tlah berlalu*ET