Sabtu, 15 Februari 2014

KEMEJA PUTIH


            
               Hai teman, aku akan menceritakan secuil pengalamanku untukmu. Saat itu hawa panas dan pengap memenuhi ruangan di lantai dua–tempatku kuliah. Sebenarnya aku terbiasa menghabiskan waktu senggang di sudut dalam ruangan. Tapi entah kenapa aku tergerak ingin menghirup udara segar di luar. Dan mungkin aku bisa mendapatkan angin ketika keluar dari ruangan yang penuh dengan suara riuh rendah teman-teman yang asik gosip sana-sini.
             Dengan membawa novel filsafat berjudul ‘Shopie’s World’ yang tebalnya nyaris lima cm, aku juga menarik keluar salah satu kursi. Dan benar saja. Angin berhembus lembut menyapaku ketika keluar dari ruangan. Duduk di pinggir balkon ini adalah pilihan terbaikku. Dari sini, aku bisa melihat aktivitas di bawah.
            Membaca novel di sini asik juga, fikirku. Disela membaca, aku sempat melirik ke arah bawah–di taman jurusan. Novel yang kupegang tertutup seketika. Aku tahu saat itu aku sempat menahan napas beberapa detik. Begitu tertariknya aku dengan objek yang sedang kupandang.
            Refleks, aku berdiri dari kursiku. Dan melipat kedua tangan di atas besi-besi balkon. Oh, Tuhan, ini kah sosok malaikat tanpa sayap seperti yang sering dituliskan dalam novel-novel? Beginikah wujudnya? Kalau memang iya, aku juga akan menulisnya dalam novel-novelku.
            Teman, mungkin saat itu tanpa sadar aku tersenyum. Ah, entahlah, aku lupa. Aku terlalu sibuk memperhatikan ‘kakak’ itu. Ya, kakak berkemeja putih itu. Kurasa baru kali itu melihatnya dan aku langsung tahu kalau ia bukan teman seangkatanku. Jadi aku menyimpulkan bahwa kakak itu adalah seniorku.
            Aku kembali duduk dan membuka novel yang kubawa. Tetapi dari sudut mataku, aku masih memperhatikannya. Aku terpesona dengan senyuman kakak kemeja putih itu. Walau aku tak bisa mendengar suaranya dari jarak sejauh itu, aku tahu kalau kakak itu adalah orang yang ramah. Senyumannya selalu terlihat di sela-sela percakapan dengan teman-temannya.
            Angin masih berhembus perlahan. Bersamaan dengan hembusan itu, kakak kemeja putih berjalan pergi dan masuk ke salah satu ruangan. Entah mengapa, kurasa saraf-sarafku tak bekerja normal. Lemas di sana-sini.
            Tiba-tiba selera membacaku hilang seiring kepergian kakak itu. Aku hanya bisa memanjatkan doa dalam hati agar nanti aku diijinkan melihatnya lagi. Melihat senyumnya.
***
          Dua bulan berlalu. Dan aku masih setia duduk di pinggir balkon ini. Menunggu memang membosankan terkecuali menunggu yang satu ini. Dengan sabar aku terus berharap kemeja putih itu akan muncul kembali dipandanganku.
            Terkadang aku duduk di sana hingga senja datang–tetap menunggu. Segala ajakan teman-teman untuk pulang terus kuabaikan.
            Hari ini masih aku lakukan kegiatan rutinku itu. Lelah mulai datang, teman. Keraguan mulai datang, mungkin kakak itu tidak akan muncul lagi. Mungkin dia pernah muncul tapi aku tak melihatnya. Atau mungkin aku lupa wajahnya?. Cepat-cepat kutepis jauh semua pemikiran buruk itu. Dan aku mulai bersiap membaca novel yang baru kubeli–‘99 Cahaya di Langit Eropa’.
            Baru hendak mulai membaca, ada beberapa orang yang baru datang lalu duduk di taman jurusan. Kau tahu teman? Mataku terpakaku pada salah satu diantaranya. Kakak itu! Kemeja putih itu! Senyum itu!
            Saraf-saraf di kakiku mulai bereaksi. Aku berlari menuruni tangga. Suara sepatuku beradu dengan lantai keramik menimbulkan suara hentakan keras. Aku menuruni tangga sekaligus dua-dua. Dadaku naik-turun dan aku senang tak terbendung.
            Aku ingin melihat kakak itu dari jarak yang dekat! Tekadku dalam hati. Namun, di tangga terakhir, kakiku berhenti seketika. Pemberhentianku yang mendadak itu nyaris membuatku terjungkal. Mana kakak itu? Ke mana dia?! Pandanganku mulai berkeliling. Dia tidak ada di mana-mana.
            Mulai ada isakan kecil yang kubuat. Dadaku masih naik-turun, aku lelah hingga menunduk-nunduk. Aku kecewa setengah mati. Perasaanku kacau. Pelupuk mataku terasa berat dan hangat.
            Aku tak bisa menahan lagi. Air matakupun meleleh. Tak pernah aku menunggu hingga seperti ini. Dan aku tak pernah kecewa hingga seperti ini.
            Aku memutuskan untuk menghentikan penantianku. Namun kemeja putih dan senyum itu akan tetap kukenang hingga seribu musim tlah berlalu*ET