Minggu, 23 Agustus 2015

Pecinta Kopi Se-ada-nya




Cangkir baru :)

Cinta pada sesuatu tak perlu berlebihan, benar? Tapi memang susah adanya. Makhluk bernama manusia ini terlalu mendramatisir apapun kecintaannya. Salah satunya ya, pasti saya.

Minum kopi adalah kebiasaan rutin sejak bocah yang tak pernah terpikirkan. Cinta pada kopi, saya betul-betul mengamatinya sejak 2 tahun belakangan. Tapi kopi sudah akrab di lidahku sejak balita. Kebiasaan menyeruput kopi hitam di meja Bapak. Kopi yang disajikan di meja dua kali sehari, pagi dan sore. Tapi ada peraturannya, kopi itu baru boleh kuminum kalau sudah berkurang dari sejak waktu diseduhnya. Alias, Bapak sudah minum duluan. Ya menghormati gitu, yang punya yang minum duluan. Hehehe.

Dulu, Ibu yang membuat sendiri racikan bubuk kopinya. Tapi karena alasan ‘mengefisienkan waktu’, kini lebih memilih membeli racikan kopi hitam di pasar. Beberapa tahun belakangan ini, dengan maraknya kopi instan, kopi di meja Bapak tak lagi selalu hitam pekat.

Mungkin karena Dee atau karena saya mulai sibuk berfilosofi, saya jatuh cinta pada kubangan hitam itu. Cinta yang seadanya.

Baru beberapa jam yang lalu saya membahas Latte bersama seorang kawan saat kami tengah menikmati Mocca Float. (Mungkin lebih baik kusapa dulu dia, hai Indry!) Membincangkan para pecinta kopi yang sibuk mengulas kopi sepanjang hidupnya. Rela bepergian jauh, survei dan mencicipi berbagai varian kopi dari penjuru dunia. Ya, mereka begitu karena ada kesempatan, budget dan imbuhan keberuntungan.

Beda denganku, penikmat kopi seadanya. Tak pernah benar-benar tahu jenis dan rasa kopi. Minum kopi selalu apa adanya, apa yang ada ya itu yang diseduh. Begitu saja sudah cukup. Cukup saya mengenali kopi dan jatuh hati padanya, dengan sederhana. Tanpa perlu mencari lagi.

Cukup melihat liukan asapnya, menghirup aromanya, dan menyesapnya lalu menyimpulkan catatan kecil dalam notes. Itu cukup untukku. Tak perlu berlebihan. Seadanya.*ET

Sabtu, 22 Agustus 2015

Kamu Siapa, Sih?



Kamu siapa sih?

Presiden? Pejabat negara? Tokoh nasional? Pahlawan seperti Patimura dan kawan-kawannya? Atlet kebanggaan negri? Artis dengan sensasi-sensasinya? Penyanyi top? Pelukis yang punya galeri sendiri dan sederet pamerannya? Filmmaker papan atas? Author dengan penghasilan tinggi? Musisi hebat pengiring konser megah mendunia? Motivator kayak Mario Teguh dan Nick Vujicic ?

Tunggu, kamu siapa sih? Saya masih belum kenal. Sering masuk koran, majalah dan tipi? Disebut-sebut terus dalam radio bergengsi? Kamu orang terkenal (setidaknya dalam se-provinsi)? Banyak artikel yang dibuat tentang kamu? Banyak yang nulis berlaman-laman biodata tentangmu? Bahkan hingga secuil kisahmu yang sebenarnya biasa saja tapi menggemparkan publik?

Kalau iya, syukurlah. Setidaknya ada alasan untuk kamu tidak menulis karena beragam kesibukanmu. Dan kamu hanya bisa sedikit meracau di media sosial. Toh sudah banyak yang menulis tentangmu.

Lalu... bagaimana jika kamu bukan seperti itu?

Bagi dirimu yang belum kerja, kuliah seadanya, segalanya mengandalkan orang tua. Pengangguran tingkat dunia, cuma suka ongkang-ongkang kaki di kamar. Yang bangunnya selalu siang. Ngalor-ngidul gak jelas rimbanya. Lebih banyak keluyuran tak bertujuan daripada bepergian karena banyak urusan. Bagi kamu yang labil. Yang lebih banyak gak moodnya daripada moodnya. Yang gak tahu jawaban apa yang cocok kalau ada yang nanya perihal cita-cita.

Kamu seperti itu? Seberapa banyak sih orang yang kenal kamu?

Trus, kamu gak mau menulis? Apa? Gak bisa? Bohong! Lalu siapa yang mau menuliskan riwayat hidupmu kalau bukan kamu sendiri? Emangnya kamu termasuk orang terkenal seperti yang kusebutkan di atas tadi? Gak kan? Mereka itu tanpa meminta, berbondong-bondong  orang dengan ikhlas dan tulus lahir batin akan menulis tentangnya. Dimuat dalam berbagai media, dibukukan, bahkan dibuatkan film layar lebar. Mereka sudah ada yang mencatatkan sejarah hidupnya.

Terus, kalau kamu, siapa yang mau menulis tentangmu? walau cuma sekedar biodata berisi nama, tanggal lahir, alamat, agama, hobi, cita-cita... kalau bukan kamu sendiri? Memangnya kamu sehebat mereka? Memangnya kamu penting bagi publik?

Gak perlu menulis yang muluk-muluk, cukup satu dua kalimat perhari. Gak perlu menggunakan bahasa puitis yang bikin sakit kepalamu, cukup selevel diary. Kalau tidak, apa yang bisa kamu berikan kepada anak cucumu? Kamu hanya akan menyampaikan kisahmu dari mulut ke mulut? Kamu percaya dengan kemampuan daya ingat manusia? Come on! Tulis sejarah hidupmu sendiri. Karena orang lain tak ada yang mengenalimu. Setidaknya sejarah hidupmu penting bagi dirimu sendiri! Kalau bukan kamu, siapa lagi?

Begitu lahir, hidup di dunia apa adanya, bernapas apa adanya. Trus mati, cuma dikenang satu dua hari oleh segelintir orang, setelahnya entahlah. Kamu ingin kehadiranmu di dunia cuma seperti itu? Tuhan sudah menciptakan kamu sebaik-baiknya. Cuma segitu kamu ada? Muncul lalu lenyap tanpa apa-apa?

Bagaimana? Masih mau tidak menulis?


(Jangan salah sangka, saya sedang bicara dengan diriku sendiri. Anda merasa tersinggung juga boleh.)*ET

Obsesi Masa Kecil



Pernah gak sih sewaktu kecil dulu ada hal-hal konyol yang sangat ingin kalian lakukan? Tapi karena faktor usia dan label ‘masih kecil’ kalian dilarang melakukan hal-hal itu. Dan memang sebenarnya di usia itu kalian belum pantas melakukannya.

Sebenarnya hal-hal yang saya maksud itu apa-apa saja, sih? Ini dia kawan, ada 3 hal konyol yang konon pada masa ‘bocah’ku sangat ingin saya lakukan, tapi sayangnya sudah terlanjur dianggap tabu. Cekidot!

1.      Memanjangkan Kuku

Kalau saya nih ya, masa-masa sekolah sejak TK, sangat ingin memanjangkan kuku. Wajarlah anak sekolah ditegaskan oleh peraturan seperti “kuku tidak boleh panjang”. Apa lagi seusia anak TK, orang tua saya terlanjur mengklaim bahwa anak kecil tidak boleh memanjangkan kuku karena belum bisa merawat, nanti kotor dan malah menyebabkan penyakit.

Berulang kali saya meyakinkan bahwa saya berjanji untuk merawatnya, tapi tetap tidak boleh. Hahaha… entahlah apa yang memotivasi saya untuk memanjangkan kuku. Alhasil, sepanjang hari saya hanya mengamati kuku-kuku jari tanganku. Membayangkan jika besar nanti, akan kupanjangkan ditambah lagi dengan cat kuku. Ah, cantiknya.

2.      Memakai Lipstick/Make Up

Di jamanku tidak ada yang namanya lipstick untuk anak kecil. Ibu tidak pernah mengajarkan dan mengenalkanku pada benda itu. Tapi beberapa kali saya memakainya, itupun di rumah Bibi, dipakai hanya ketika akan menghadiri sebuah pesta. Masih ingat, betapa berbinarnya mataku ketika Bibi sudah selesai dengan riasannya, itu tandanya mulailah giliranku. Dengan gemulai kupoleskan lipstick merah itu menggunakan kuasnya. Duh… centil sekali.

Selain lipstick, saya juga sangat ingin segera bisa memakai berbagai riasan wajah yang lain. Saya memang punya banyak ide. Kalian tahu tidak yang namanya pohon Mahoni? Yang kulit batang pohonnya mengelupas? Saya dan teman-teman masa kecilku menggunakan bagian dalam kulit itu. Ada serbuk berwarna coklat variasi, ada yang coklat muda, coklat, hingga coklat tua. Serbuk itu kita poleskan di kelopak mata, cantik sekali. Gila ya masa kecilku? Hahaha.

3.      Mendengarkan/Menghafal/Menyanyikan Lagu Pop

Lagu pop adalah lagu terlarang di masa kecilku. Lagu pertama yang kukenal dan kuhafal adalah Sheila On 7 yang Itu Aku. Ya, saya harus sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan, menghafal atau menyanyikan lagu begituan. Wajarlah, di usia itu harusnya anak seumuranku hanya boleh menyanyikan lagu Lihat Kebunku atau Pelangi.

Sungguh beda, kan, dengan kenyataan di masa sekarang ini? Kalian semua tahu kan, lagu apa yang bahkan para balita pun dengar? Bahkan orang tuanya yang menyuguhkan. Para orang dewasa sudah tidak ada yang peduli dengan usia si anak. Coba deh bantu tebak, kira-kira tahun berapa ya, lagu anak-anak akan punah? Beberapa lagu anak yang saya ingat adalah Sarinande, Lihat Kebunku, Menanam Jagung, Pelangi, Bintang di Langit, Apuse, Naik Delman, Naik-Naik ke Puncak Gunung, Gundul-Gundul Pacul, dan banyaak lagi yang lain.

Sekarang??*ET