Rabu, 18 Juni 2014

KADO DARI LAUTAN

Mama sedang sibuk bolak-balik menyiapkan makan malam di rumah sederhana itu. Makanannya juga sederhana, ada nasi, sambal, sayur asam dan yang mama hidangkan terakhir adalah ikan lure goreng.
“Nah, semua sudah siap, ayo makan.” Kata Mama.
 Semua anggota keluarga yang terdiri dari tujuh orang sudah siap duduk bersila di tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka semua melingkari makan malam mereka, bagaikan sedang melakukan ritual api unggun pada perkemahan. Dengan adil Mama memberikan satu sendok nasi ke setiap piring, sepucuk sendok sambal, dua sendok sayur asam, dan beberapa ekor ikan lure.
“Ma, kenapa setiap hari kita hanya makan ini? Semua warga disini adalah nelayan, Bapa juga nelayan. Tidak adakah ikan lajang, ikan bandeng, udang, cumi-cumi, kepiting, lobster...”
“Alif.!!” Mama menyela ucapan Alif. Baru kali ini Alif memprotes makanan yang disajikan Mamanya.
“Makan saja apa yang ada, jangan menuntut terlalu banyak, syukurilah.” Papa ikut berbicara. “Lihat adik-adikmu, mereka makan dengan lahap, kau juga makanlah.”
Alif melirik ke keempat adiknya. Perlahan ia mulai menyendokkan nasi ke mulut. Tangannya gemetar, ia sedang menahan air di pelupuk matanya. Entah mengapa dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa menutupi lagi keluh hatinya. Sungguh miris hatinya, ia adalah anak seorang nelayan, ia tinggal di pesisir pantai, dan ia tahu bahwa laut ini menyimpan kekayaan. Namun ia hidup dalam kemiskinan. Dan impian terbesarnya adalah bisa menikmati jenis ikan yang lain, bukan hanya ikan lure.
Bunyi hewan-hewan malam mulai terdengar. Alif dan Bapa sedang duduk berdua di beranda rumah yang menghadap langsung ke pantai. Suara ombak berpadu dengan hembusan angin, kolaborasi yang sangat merdu–lagu alam paling indah.
“Alif... berapa umurmu sekarang, nak?” Bapa berbicara dengan lembut, pandangannya tak lepas dari pantai.
“Dua hari lagi umur Alif empat belas tahun.” Alif juga terus memandang pantai.
“Kamu sudah semakin besar ya. Apa keinginanmu, Alif?”
“Alif ingin makan ikan yang lain, Bapa. Alif sangat ingin.” Mata Alif berkaca-kaca.
“Bapa tahu, kita semua juga ingin itu. Sekarang Bapa tanya Alif, bagaimana caranya kita bisa sampai di tengah lautan untuk mendapatkan ikan?”
“Tentu saja dengan perahu.”
“Nah, Bapa belum punya perahu sendiri. Bapa juga tidak bisa membeli ikan dari nelayan lainnya, harganya sangat mahal.”
“Lalu, kenapa Bapa tidak membeli perahu sendiri?”
“Harga sebuah perahu tidaklah murah, nak.”
Alif terdiam, tak tahu hendak berkata apa lagi. Bapa tahu, sudah lama Alif ingin mereka mempunyai perahu sendiri, tidak lagi harus menyewa perahu. Dengan perahu itu mereka bisa mencari ikan tanpa batas waktu dan Alif bisa juga menggunakannya untuk pergi ke sekolah yang letaknya ada di seberang pulau. Hening kembali menyerbu. Suara ombak dan hembusan angin kini kembali terdengar dengan jelas tanpa terhalang obrolan bapa dan Alif.
***
            Adzan subuh sudah terdengar dari tadi. Seperti biasa, suara merdu Pak Mahmud yang mendayu dari sebuah surau dengan lampu minyak yang menempel di dindingnya. Cahaya di langit belum terang betul. Namun, perahu kecil tanpa mesin mulai didorong menjauhi pantai. Enam orang anak berseragam SMP siap menaiki perahu itu.
            Beberapa kelompok anak juga mulai menyerbu pantai. Mereka menyiapkan perahu yang biasa mereka tumpangi. Setiap perahu biasanya dipenuhi oleh enam sampai tujuh anak dengan empat buah dayung yang siap mereka gunakan mengarungi lautan demi sekolah. Sekolah mereka ada di seberang pulau, oleh karenanya setiap selesai sholat subuh mereka mulai bersiap mendayung perahu kecil mereka.
            Enam anak dalam satu perahu kecil sangatlah tidak nyaman. Seharusnya setiap perahu hanya bisa ditumpangi oleh empat orang anak saja. Namun karena jumlah perahu yang terbatas, mereka terpaksa berdesak-desakan. Keseimbangan perahupun sering terganggu. Semua perahupun sudah tak layak pakai. Bocor di sana-sini dan kayu-kayunya mulai lapuk.
            Alif dan Eko–teman satu perahunya–sibuk menguras air yang masuk ke perahu melalui celah-celah kecil perahu yang bocor. Tangan-tangan kecil yang memegang potongan botol plastik bekas itu tak henti-hentinya bekerja agar perahu mereka tidak tenggelam karena air yang masuk.
            Sembari melakukan aktivitas itu, Alif juga sedang sibuk mengkhayal. Fikirannya melayang seolah waktu sedang berputar ke obrolan bersama Bapa semalam. Alif ingat bagaimana Bapa bercerita, jika dia ingin makan jenis ikan yang lain maka ia harus memiliki perahu sendiri agar bisa mencari ikan sepuasnya. Mendadak keinginan terbesar Alif–yang tadinya ingin makan jenis ikan yang lain–berubah menjadi ingin memiliki perahu sendiri. Alif tersentak kaget ketika Eko mengoyang-goyangkan bahunya.
            “Apa yang kau lamunkan Alif?”
            “Aku mengkhayal punya perahu, Ko. Dengan perahu itu aku bisa mendapatkan ikan yang banyak. Dan perahu itu juga akan aku pakai untuk ke sekolah. Kita tidak perlu berdesak-desakkan seperti ini lagi” Cerita Alif.
            “Memangnya Bapa kau punya uang, Alif? Harga perahu kan tidak seperti harga lure.” Kata Eko.
            “Bapa memang tidak punya uang. Kan tadi aku bilang, aku cuma mengkhayal saja. Sudahlah, ayo cepat dayung perahunya nanti kita terlambat.” Komando Alif dituruti semua teman-temannya.
***
            Jam dinding berbentuk kotak persegi dengan kaca retak itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Bapa belum pulang-pulang juga. Bapa tidak ada di rumah, entah ke mana tak ada yang tahu. Alif cemas menunggu kedatangan beliau. Berkali-kali ia mondar-mandir dari dalam ke beranda rumah. Tidak seperti biasanya Bapa seperti ini.
            Jarum jam terus berputar menunjukkan sekarang sudah tengah malam. Remang-remang dari arah laut tampak siluet Bapa berjalan terburu-buru menuju rumah.
            “Bapa dari mana?” sergap Alif duluan bahkan ketika Bapa belum sempat menginjak beranda rumah.
            “Alif? Kenapa keluar rumah? Harusnya kau sudah tertidur, ini sudah tengah malam. Pergilah tidur, nak. Besok kau harus bangun pagi-pagi, besok hari terindahmu kan? Semoga lautan memberikan kado untukmu.” Bapa melangkah masuk dan melepaskan topinya.
            Alif jadi teringat, besok adalah hari ulang tahunnya yang ke empat belas. Tapi apa maksud Bapa dengan ‘semoga lautan memberikan kado untukmu’? Alif tak ingin bertanya apa-apa lagi. Bapa terlihat sangat lelah. Akhirnya Alif memutuskan untuk tidur.
***
            Suara adzan terdengar lagi di hari yang baru ini. Warna jingga di langit mulai tampak dengan berani. Aktivitas di pantai mulai terlihat, para nelayan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
            Sepagi itulah Alif biasa bangun. Hari ini hari ulang tahunnya. Ia begitu semangat dan langsung menuju pantai. Bagaimanapun juga ia masih ingat ucapan Bapa semalam. Alif tak bisa bohong, dia memang penasaran apakah ada kado dari lautan yang diberikan untuknya? Kado semacam apakah itu?
            Langkah-langkah kakinya terlihat memburu. Dengan cepat ia sudah sampai di pantai. Disana terdapat sebuah perahu berukuran sama dengan perahu di pantai itu pada umumnya. Perahu itu baru pertama kalinya ia lihat dan masih tampak baru. Senyum Alif mengembang.
            “Kau suka, Alif? Selamat ulang tahun, nak” suara Bapa terdengar dari arah belakang Alif.
            “Perahu siapa itu Bapa?” tanya Alif tidak sabar.
            “Itu perahumu, perahu kita. Kado dari lautan.”
            “Benarkah?” tanya Alif tak percaya.
            “Tentu. Nah, sekarang mari kita mencobanya.” Ajak Bapa.
            “Tapi Bapa, kenapa perahunya dicat warna merah, putih dan biru? Kenapa bukan merah dan putih saja? Itu akan terlihat lebih nasionalisme.”
            “Sudahlah, yang penting ada merah putihnya, warna bendera Indonesia.”
            “Tidak bisa begitu! Warnanya merah, putih dan biru, itu bendera Belanda, Bapa!” protes Alif.
            “Hal kecil seperti itu jangan dipermasalahkan. Bersyukurlah kita sudah punya perahu. Mari kita berburu ikan.”

            Mendengar kata ‘ikan’ Alif segera luluh hatinya. Dan dengan bahagia Ayah dan Anak itu mendayung perahu mereka ke tengah lautan–berburu ikan. Ribuan ekor ikan telah menunggu mereka. Inilah... kado dari lautan.*ET

3 komentar:

  1. Eby, sedikit komen dr sy yah... hehe
    soal penulisan aku dan saya. kan km yg ngajarin harus konsisten dgn pilihan kata yang dipakai... kalau saya ya saya, kalau aku ya aku...
    oke siip... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ups, maap-maap, sy khilaf. udah sy edit tuh, selamat membaca... ;)

      Hapus