Mama sedang sibuk bolak-balik menyiapkan makan malam di
rumah sederhana itu. Makanannya juga sederhana, ada nasi, sambal, sayur asam
dan yang mama hidangkan terakhir adalah ikan lure goreng.
“Nah, semua sudah siap, ayo makan.” Kata Mama.
Semua
anggota keluarga yang terdiri dari tujuh orang sudah siap duduk bersila di
tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka semua melingkari makan malam
mereka, bagaikan sedang melakukan ritual api unggun pada perkemahan. Dengan
adil Mama memberikan satu sendok nasi ke setiap piring, sepucuk sendok sambal,
dua sendok sayur asam, dan beberapa ekor ikan lure.
“Ma, kenapa setiap hari kita hanya makan ini? Semua warga
disini adalah nelayan, Bapa juga nelayan. Tidak adakah ikan lajang, ikan
bandeng, udang, cumi-cumi, kepiting, lobster...”
“Alif.!!” Mama menyela ucapan Alif. Baru kali ini Alif
memprotes makanan yang disajikan Mamanya.
“Makan saja apa yang ada, jangan menuntut terlalu banyak,
syukurilah.” Papa ikut berbicara. “Lihat adik-adikmu, mereka makan dengan
lahap, kau juga makanlah.”
Alif melirik ke keempat adiknya. Perlahan ia mulai
menyendokkan nasi ke mulut. Tangannya gemetar, ia sedang menahan air di pelupuk
matanya. Entah mengapa dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa menutupi lagi keluh
hatinya. Sungguh miris hatinya, ia adalah anak seorang nelayan, ia tinggal di
pesisir pantai, dan ia tahu bahwa laut ini menyimpan kekayaan. Namun ia hidup
dalam kemiskinan. Dan impian terbesarnya adalah bisa menikmati jenis ikan yang
lain, bukan hanya ikan lure.
Bunyi hewan-hewan malam mulai terdengar. Alif dan Bapa
sedang duduk berdua di beranda rumah yang menghadap langsung ke pantai. Suara
ombak berpadu dengan hembusan angin, kolaborasi yang sangat merdu–lagu alam
paling indah.
“Alif... berapa umurmu sekarang, nak?” Bapa berbicara
dengan lembut, pandangannya tak lepas dari pantai.
“Dua hari lagi umur Alif empat belas tahun.” Alif juga
terus memandang pantai.
“Kamu sudah semakin besar ya. Apa keinginanmu, Alif?”
“Alif ingin makan ikan yang lain, Bapa. Alif sangat
ingin.” Mata Alif berkaca-kaca.
“Bapa tahu, kita semua juga ingin itu. Sekarang Bapa
tanya Alif, bagaimana caranya kita bisa sampai di tengah lautan untuk
mendapatkan ikan?”
“Tentu saja dengan perahu.”
“Nah, Bapa belum punya perahu sendiri. Bapa juga tidak
bisa membeli ikan dari nelayan lainnya, harganya sangat mahal.”
“Lalu, kenapa Bapa tidak membeli perahu sendiri?”
“Harga sebuah perahu tidaklah murah, nak.”
Alif terdiam, tak tahu hendak berkata apa lagi. Bapa
tahu, sudah lama Alif ingin mereka mempunyai perahu sendiri, tidak lagi harus
menyewa perahu. Dengan perahu itu mereka bisa mencari ikan tanpa batas waktu
dan Alif bisa juga menggunakannya untuk pergi ke sekolah yang letaknya ada di
seberang pulau. Hening kembali menyerbu. Suara ombak dan hembusan angin kini
kembali terdengar dengan jelas tanpa terhalang obrolan bapa dan Alif.
***
Adzan
subuh sudah terdengar dari tadi. Seperti biasa, suara merdu Pak Mahmud yang
mendayu dari sebuah surau dengan lampu minyak yang menempel di dindingnya.
Cahaya di langit belum terang betul. Namun, perahu kecil tanpa mesin mulai didorong
menjauhi pantai. Enam orang anak berseragam SMP siap menaiki perahu itu.
Beberapa
kelompok anak juga mulai menyerbu pantai. Mereka menyiapkan perahu yang biasa
mereka tumpangi. Setiap perahu biasanya dipenuhi oleh enam sampai tujuh anak
dengan empat buah dayung yang siap mereka gunakan mengarungi lautan demi
sekolah. Sekolah mereka ada di seberang pulau, oleh karenanya setiap selesai
sholat subuh mereka mulai bersiap mendayung perahu kecil mereka.
Enam
anak dalam satu perahu kecil sangatlah tidak nyaman. Seharusnya setiap perahu
hanya bisa ditumpangi oleh empat orang anak saja. Namun karena jumlah perahu
yang terbatas, mereka terpaksa berdesak-desakan. Keseimbangan perahupun sering
terganggu. Semua perahupun sudah tak layak pakai. Bocor di sana-sini dan
kayu-kayunya mulai lapuk.
Alif dan
Eko–teman satu perahunya–sibuk menguras air yang masuk ke perahu melalui
celah-celah kecil perahu yang bocor. Tangan-tangan kecil yang memegang potongan
botol plastik bekas itu tak henti-hentinya bekerja agar perahu mereka tidak tenggelam
karena air yang masuk.
Sembari
melakukan aktivitas itu, Alif juga sedang sibuk mengkhayal. Fikirannya melayang
seolah waktu sedang berputar ke obrolan bersama Bapa semalam. Alif ingat
bagaimana Bapa bercerita, jika dia ingin makan jenis ikan yang lain maka ia
harus memiliki perahu sendiri agar bisa mencari ikan sepuasnya. Mendadak
keinginan terbesar Alif–yang tadinya ingin makan jenis ikan yang lain–berubah
menjadi ingin memiliki perahu sendiri. Alif tersentak kaget ketika Eko
mengoyang-goyangkan bahunya.
“Apa
yang kau lamunkan Alif?”
“Aku
mengkhayal punya perahu, Ko. Dengan perahu itu aku bisa mendapatkan ikan yang banyak.
Dan perahu itu juga akan aku pakai untuk ke sekolah. Kita tidak perlu
berdesak-desakkan seperti ini lagi” Cerita Alif.
“Memangnya
Bapa kau punya uang, Alif? Harga perahu kan tidak seperti harga lure.” Kata
Eko.
“Bapa
memang tidak punya uang. Kan tadi aku bilang, aku cuma mengkhayal saja.
Sudahlah, ayo cepat dayung perahunya nanti kita terlambat.” Komando Alif
dituruti semua teman-temannya.
***
Jam
dinding berbentuk kotak persegi dengan kaca retak itu menunjukkan pukul sepuluh
malam. Bapa belum pulang-pulang juga. Bapa tidak ada di rumah, entah ke mana
tak ada yang tahu. Alif cemas menunggu kedatangan beliau. Berkali-kali ia
mondar-mandir dari dalam ke beranda rumah. Tidak seperti biasanya Bapa seperti
ini.
Jarum jam
terus berputar menunjukkan sekarang sudah tengah malam. Remang-remang dari arah
laut tampak siluet Bapa berjalan terburu-buru menuju rumah.
“Bapa
dari mana?” sergap Alif duluan bahkan ketika Bapa belum sempat menginjak
beranda rumah.
“Alif?
Kenapa keluar rumah? Harusnya kau sudah tertidur, ini sudah tengah malam.
Pergilah tidur, nak. Besok kau harus bangun pagi-pagi, besok hari terindahmu
kan? Semoga lautan memberikan kado untukmu.” Bapa melangkah masuk dan
melepaskan topinya.
Alif
jadi teringat, besok adalah hari ulang tahunnya yang ke empat belas. Tapi apa
maksud Bapa dengan ‘semoga lautan memberikan kado untukmu’? Alif tak ingin
bertanya apa-apa lagi. Bapa terlihat sangat lelah. Akhirnya Alif memutuskan
untuk tidur.
***
Suara
adzan terdengar lagi di hari yang baru ini. Warna jingga di langit mulai tampak
dengan berani. Aktivitas di pantai mulai terlihat, para nelayan sibuk dengan
kegiatan masing-masing.
Sepagi
itulah Alif biasa bangun. Hari ini hari ulang tahunnya. Ia begitu semangat dan
langsung menuju pantai. Bagaimanapun juga ia masih ingat ucapan Bapa semalam.
Alif tak bisa bohong, dia memang penasaran apakah ada kado dari lautan yang
diberikan untuknya? Kado semacam apakah itu?
Langkah-langkah
kakinya terlihat memburu. Dengan cepat ia sudah sampai di pantai. Disana
terdapat sebuah perahu berukuran sama dengan perahu di pantai itu pada umumnya.
Perahu itu baru pertama kalinya ia lihat dan masih tampak baru. Senyum Alif
mengembang.
“Kau
suka, Alif? Selamat ulang tahun, nak” suara Bapa terdengar dari arah belakang
Alif.
“Perahu
siapa itu Bapa?” tanya Alif tidak sabar.
“Itu
perahumu, perahu kita. Kado dari lautan.”
“Benarkah?”
tanya Alif tak percaya.
“Tentu.
Nah, sekarang mari kita mencobanya.” Ajak Bapa.
“Tapi
Bapa, kenapa perahunya dicat warna merah, putih dan biru? Kenapa bukan merah
dan putih saja? Itu akan terlihat lebih nasionalisme.”
“Sudahlah,
yang penting ada merah putihnya, warna bendera Indonesia.”
“Tidak
bisa begitu! Warnanya merah, putih dan biru, itu bendera Belanda, Bapa!” protes
Alif.
“Hal
kecil seperti itu jangan dipermasalahkan. Bersyukurlah kita sudah punya perahu.
Mari kita berburu ikan.”
Mendengar
kata ‘ikan’ Alif segera luluh hatinya. Dan dengan bahagia Ayah dan Anak itu
mendayung perahu mereka ke tengah lautan–berburu ikan. Ribuan ekor ikan telah
menunggu mereka. Inilah... kado dari lautan.*ET
Eby, sedikit komen dr sy yah... hehe
BalasHapussoal penulisan aku dan saya. kan km yg ngajarin harus konsisten dgn pilihan kata yang dipakai... kalau saya ya saya, kalau aku ya aku...
oke siip... :D
ups, maap-maap, sy khilaf. udah sy edit tuh, selamat membaca... ;)
Hapussiiip, ok :)
BalasHapus