Gemparnya tayangan
kabar seputar dunia selebriti memang tak akan pernah usai meramaikan jagad media massa, terutama
televisi. Walaupun acara infotainment sering dianggap tidak layak tonton, namun
pada kenyataannya acara inilah yang banyak ditunggu-tunggu pemirsa televisi.
Ratinglah yang membuat tayangan infotainment terus bertahan meramaikan pasar
media.
Durasi Tayangan Meningkat
Di Indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan infotainment yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Untuk
memantau pelaksanaan penyiaran dibentuk juga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sedangkan yang berkaitan dengan perilaku wartawan yang bekerja pada bidang
penyiaran diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Menurut
promovendus, mengutip catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tahun 2002
tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap
minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta
di Tanah Air. Tahun 2003,
jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu
(14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151
episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan
infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per
hari).
Bahkan,
selama penelitian dilakukan Januari-Agustus 2007, Agus Maladi Irianto mencatat
penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 210 episode per minggu atau
sekitar 15 jam sehari. Dengan
meningkatnya frekuensi tayangan infotainment setiap tahun, bisa dibayangkan
berapa banyaknya untuk tahun-tahun belakangan ini.
Berita atau Gosip(Gibhah)?
Kembali pada apa yang membuat jurnalisme itu ada? Jurnalisme
itu diadakan karena hak publik untuk tahu tentang hal-hal yang dianggap penting
dan mereka butuhkan. Jika infotainment ingin dianggap bagian dari jurnalisme,
maka harus memenuhi Kode Etik Jurnalisme. Namun, apakah informasi yang mereka
sampaikan selama ini itu benar-benar dibutuhkan dan penting bagi publik?
Perlu kita ketahui bahwa definisi gibhah menurut A.
Mudjab Mahali adalah segala sesuatu yang dapat memberikan pengertian kepada
orang lain yang berada di sisinya tentang cacat, cela seseorang muslim lainnya
(yang diumpat), baik yang terdapat pada badannya, keluarga dan keturunannya,
baik urusan agama maupun dunia, sampai kepada urusan rumah dan kebendaannya.
Dalam media massa, informasi yang disampaikan disebut
dengan berita. Setidaknya ada tiga komponen penting yang membuat sebuah
informasi layak disebut berita, yaitu merupakan informasi yang baru, dibutuhkan
dan penting bagi publik, serta harus segera disampaikan kepada publik.
Informasi yang disuguhkan dalam sebuah infotainment lebih bersifat hiburan
daripada berita. Harusnya infotainment bisa menyuguhkan informasi yang
mengandung tiga komponen tersebut.
Misalnya saja kabar tentang selebriti yang sedang berpacaran.
Tentu itu tidak dibutuhkan dan tidak penting bagi publik. Dan jika tayangan
infotainment hanya sekedar menceritakan aib para selebriti tanpa fakta yang
jelas maka itulah yang disebut gosip (gibhah) yang bisa menjadi fitnah.
Ini jelas terlihat, misalnya pada tayangan infotainment
Silet di RCTI. Selama satu setengah jam, Silet hadir untuk mengupas
tuntas kisah dan kasus para selebritis tanah air. Dengan gaya bahasa yang
puitis, Silet menjadikan hal-hal yang tabu menjadi layak dan patut
diperbincangkan. Infotainment ini
pernah mendapat teguran dari KPI dan diberhentikan sejak tanggal 9 November
2010 dan kemudian kembali tayang pada tahun 2011.
Dampak Infotainment
Salah
satu program televisi yang mempunyai rating cukup tinggi yaitu infotainment
yang berbau gosip dan menceritakan kehidupan selebritis. Infotainment memiliki
nilai positif misalnya menjadikan seorang artis menjadi terkenal namun banyak
juga dampak negatifnya. Dalam memberikan informasi terkadang infotainment
terlalu berlebihan dan sudah begitu bebas melompati pagar etika, serta sering kali terjadi pelanggaran terhadap hak
privasi dari narasumber.
Tak
jarang informasi yang ditayangkan sebuah infotainment yaitu mengenai aib orang
lain seperti kasus perceraian, perselingkuhan, seks dan sebagainya. Informasi
yang disuguhkan pun terkadang tidak sesuai dengan fakta namun hanya sebagai
mencari sensasional dan keuntungan, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang
Penyiaran tentang isi siaran yang dilarang.
Pada umumnya, pengaruh media massa di Indonesia, terutama
televisi, mirip dengan teori jarum hipodermik. Yaitu bersifat sangat kuat dan
langsung kepada masyarakat. Selain itu, menurut saya, Cultivation Theory juga
sangat berperan, yaitu penyajian siaran yang berulang-ulang akan mempengaruhi
tingkah laku pemirsa. Dan selanjutnya akan berlakulah Teori Pembelajaran Sosial
(teori pembelajaran observasi) yaitu pemirsa menafsirkan apa yang mereka lihat
dari media, baru kemudian mengikutinya.
Contohnya saja dengan maraknya kasus perceraian selebriti
memberikan dampak buruk pada masyarakat yang dapat dilihat dari makin tingginya
tingkat perceraian di Indonesia. KPI merekomendasikan bahwa infotainment termasuk tayangan nonfaktual, mungkin ini
karena infotainment dianggap bukan produk pers/jurnalistik. Bahkan fatwa haram
MUI sudah dikeluarkan untuk program acara yang kerap membeberkan gosip itu.
Jadi, diharapkan pada semua stasiun televisi untuk lebih
memperhatikan kualitas acara yang ditayangakan. Jangan hanya mengejar rating.
Ada baiknya jika sebuah stasiun televisi cukup memiliki satu program
infotainment saja. KPI harus lebih baik lagi memantau dan menyikapi tayangan
infotainment yang sudah tidak mengindahkan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dan
jauh melewati batas Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat juga harus sadar dengan
kepentingan media yang sebenarnya dan lebih selektif terhadap “berita”
infotainment, sehingga efek negatif dari pesan yang disampaikan bisa terhindari.*ET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar