Sabtu, 16 Agustus 2014

REPUBLIK INFOTAINMENT

Gemparnya tayangan  kabar seputar dunia selebriti memang tak akan pernah  usai meramaikan jagad media massa, terutama televisi. Walaupun acara infotainment sering dianggap tidak layak tonton, namun pada kenyataannya acara inilah yang banyak ditunggu-tunggu pemirsa televisi. Ratinglah yang membuat tayangan infotainment terus bertahan meramaikan pasar media.
Durasi Tayangan Meningkat
Di Indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan infotainment yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Untuk memantau pelaksanaan penyiaran dibentuk juga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan yang berkaitan dengan perilaku wartawan yang bekerja pada bidang penyiaran diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Menurut promovendus, mengutip catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari).
Bahkan, selama penelitian dilakukan Januari-Agustus 2007, Agus Maladi Irianto mencatat penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 210 episode per minggu atau sekitar 15 jam sehari. Dengan meningkatnya frekuensi tayangan infotainment setiap tahun, bisa dibayangkan berapa banyaknya untuk tahun-tahun belakangan ini.
Berita atau Gosip(Gibhah)?
Kembali pada apa yang membuat jurnalisme itu ada? Jurnalisme itu diadakan karena hak publik untuk tahu tentang hal-hal yang dianggap penting dan mereka butuhkan. Jika infotainment ingin dianggap bagian dari jurnalisme, maka harus memenuhi Kode Etik Jurnalisme. Namun, apakah informasi yang mereka sampaikan selama ini itu benar-benar dibutuhkan dan penting bagi publik?
Perlu kita ketahui bahwa definisi gibhah menurut A. Mudjab Mahali adalah segala sesuatu yang dapat memberikan pengertian kepada orang lain yang berada di sisinya tentang cacat, cela seseorang muslim lainnya (yang diumpat), baik yang terdapat pada badannya, keluarga dan keturunannya, baik urusan agama maupun dunia, sampai kepada urusan rumah dan kebendaannya.
Dalam media massa, informasi yang disampaikan disebut dengan berita. Setidaknya ada tiga komponen penting yang membuat sebuah informasi layak disebut berita, yaitu merupakan informasi yang baru, dibutuhkan dan penting bagi publik, serta harus segera disampaikan kepada publik. Informasi yang disuguhkan dalam sebuah infotainment lebih bersifat hiburan daripada berita. Harusnya infotainment bisa menyuguhkan informasi yang mengandung tiga komponen tersebut.
Misalnya saja kabar tentang selebriti yang sedang berpacaran. Tentu itu tidak dibutuhkan dan tidak penting bagi publik. Dan jika tayangan infotainment hanya sekedar menceritakan aib para selebriti tanpa fakta yang jelas maka itulah yang disebut gosip (gibhah) yang bisa menjadi fitnah.
Ini jelas terlihat, misalnya pada tayangan infotainment Silet di RCTI. Selama satu setengah jam, Silet hadir untuk mengupas tuntas kisah dan kasus para selebritis tanah air. Dengan gaya bahasa yang puitis, Silet menjadikan hal-hal yang tabu menjadi layak dan patut diperbincangkan. Infotainment ini pernah mendapat teguran dari KPI dan diberhentikan sejak tanggal 9 November 2010 dan kemudian kembali tayang pada tahun 2011.
Dampak Infotainment
Salah satu program televisi yang mempunyai rating cukup tinggi yaitu infotainment yang berbau gosip dan menceritakan kehidupan selebritis. Infotainment memiliki nilai positif misalnya menjadikan seorang artis menjadi terkenal namun banyak juga dampak negatifnya. Dalam memberikan informasi terkadang infotainment terlalu berlebihan dan sudah begitu bebas melompati pagar etika, serta sering kali terjadi pelanggaran terhadap hak privasi dari narasumber.
Tak jarang informasi yang ditayangkan sebuah infotainment yaitu mengenai aib orang lain seperti kasus perceraian, perselingkuhan, seks dan sebagainya. Informasi yang disuguhkan pun terkadang tidak sesuai dengan fakta namun hanya sebagai mencari sensasional dan keuntungan, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran tentang isi siaran yang dilarang.
Pada umumnya, pengaruh media massa di Indonesia, terutama televisi, mirip dengan teori jarum hipodermik. Yaitu bersifat sangat kuat dan langsung kepada masyarakat. Selain itu, menurut saya, Cultivation Theory juga sangat berperan, yaitu penyajian siaran yang berulang-ulang akan mempengaruhi tingkah laku pemirsa. Dan selanjutnya akan berlakulah Teori Pembelajaran Sosial (teori pembelajaran observasi) yaitu pemirsa menafsirkan apa yang mereka lihat dari media, baru kemudian mengikutinya.
Contohnya saja dengan maraknya kasus perceraian selebriti memberikan dampak buruk pada masyarakat yang dapat dilihat dari makin tingginya tingkat perceraian di Indonesia. KPI merekomendasikan bahwa infotainment  termasuk tayangan nonfaktual, mungkin ini karena infotainment dianggap bukan produk pers/jurnalistik. Bahkan fatwa haram MUI sudah dikeluarkan untuk program acara yang kerap membeberkan gosip itu.
Jadi, diharapkan pada semua stasiun televisi untuk lebih memperhatikan kualitas acara yang ditayangakan. Jangan hanya mengejar rating. Ada baiknya jika sebuah stasiun televisi cukup memiliki satu program infotainment saja. KPI harus lebih baik lagi memantau dan menyikapi tayangan infotainment yang sudah tidak mengindahkan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dan jauh melewati batas Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat juga harus sadar dengan kepentingan media yang sebenarnya dan lebih selektif terhadap “berita” infotainment, sehingga efek negatif dari pesan yang disampaikan bisa terhindari.*ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar