Selasa, 09 September 2014

Layang-Layang Tengah Malam

Sudah setengah jam berlalu, Nata sibuk menarik seutas benang yang ia urai di tangan kanan. Di tangan kirinya tergenggam kayu pendek kecil yang dililit benang hingga menggemuk. Kali ini dia tidak lagi memakai topi bundar pemberian Nenek yang sering kusebut topi koboi, walau sama sekali tidak mirip. Kaus oblong kebesaran berwarna coklat yang memudar itu berpadu dengan celana putih pendek yang sudah kekuning-kuningan, penuh corak segala macam noda dan getah. Di pinggangnya terikat kuat sebuah botol penuh dengan air. Kakinya telanjang. Menjejak-jejak tanah dengan rakus demi menarik untaian benang agar mendapat angin yang cukup. Dan benda di ujung benang, di atas sana, yang disebut layang-layang itu bisa terbang, gagah.

Aku hanya mengintip dari balik pohon kersen di tepi lapangan. Tak berani bergabung dengan sekumpulan manusia kerdil yang kepalanya selalu menadah ke langit itu. Aku takut Nenek mengetahui keberadaanku. Lalu menghukumku untuk tidak menyentuh masakannya yang menurutku selalu hambar.

Sial. Nenek sudah berdiri di belakangku. Tubuh bengkaknya selalu tampak seperti monster yang siap menelanku bulat-bulat. Detik berikutnya dia menyemburkan segala makian ke mukaku. Suaranya selalu terdengar keras dan kejam. Inti pembicaraannya sederhana; aku tidak boleh bermain layang-layang sebelum menyiangi ladang ubinya. Tapi entah kenapa selalu terdengar sangat panjang dan tajam menusuk-nusuk batinku. Aku bergeming, lalu melangkahkan kaki perlahan menjauhi tubuh gempalnya menuju ladang.

Baru beberapa langkah yang berhasil kuayun, terdengar Nenek mulai memaki Nata. Sudah pasti Nata mengabaikan pekerjaan wajibnya sama sepertiku. Pekerjaan wajib yang semena-mena dibuat oleh Nenek. Beda denganku yang harus menyiangi ladang, setiap pagi Nata harus ke pasar untuk membelikannya cengkeh dan tembakau. Kulirik sebentar. Nata menancapkan kayu bergulung benang ke tanah lalu berlari kilat menjauhi Nenek.

Aku kembali jalan. Berkali-kali kuhembuskan napas berat. Batinku terus mengutuk Nenek yang mewajibkanku mengurus ladang sementara dia duduk damai di kursi goyangnya. Kenapa harus aku? mengurus ladang adalah pekerjaan laki-laki. Bukan gadis kecil sepertiku yang pasti akan tumbuh manis dan cantik dewasa nanti.

Jujur, dengan tabiatnya yang seperti itu aku tak pernah menganggapnya sebagai nenekku. Definisi keluarga bagiku adalah adanya ayah, ibu dan anak. Tidak ada kata nenek, kakek, sepupu.... Belakangan ini aku baru tahu kalau dia memang bukan nenekku. Mungkin dia hanya iseng merawatku setelah ayah dan ibu dimasukkan ke sebuah lubang lalu ditimbun dengan tanah. Sampai saat ini aku masih terus mengutuk orang-orang yang melakukan itu pada orangtuaku. Katanya itu sebuah kewajiban, katanya aku belum bisa mengerti di usiaku yang dini. Hei, aku gadis pintar! Para tetangga itu pasti berusaha memperbodohiku. Mereka bersekongkol menghilangkan orangtuaku. Ah, aku lelah mengingat itu.

Beberapa ayunan cangkul berhasil kulakukan. Terdengar suara bagai isyarat dari arah rimbunnya semak blueberry. “psstt...ssstt...” kurasa pipiku memanas. Kudapati Nata kesusahan membawa setumpuk kayu kering. Seketika udara disesaki riuhan tawaku. Kemudian hening. Aku dan Nata duduk berhadapan. Setumpuk kayu kering diletakkan antara kita. Beberapa menit berikutnya kita sibuk berbicara dengan suara pelan, lebih mirip berbisik. Terkadang menggunakan isyarat-isyarat tangan, lalu menunjuk-nunjuk ke kayu dan beralih ke tanaman ubi. Kita selalu punya misi rahasia!


Bintang besar bernama matahari itu sudah dari tadi condong ke barat. Mulai tenggelam di balik pohon asam. Satu-satunya pohon yang ada di lahan luas nenek. Sinar orange kemerah-merahannya berpendar di balik pohon. Membuat si pohon asam tampak gagah, kokoh dan... sendiri, mungkin... kesepian

Pergelangan tanganku serasa pedih dicengkeram Nata yang menarikku ke arah lapangan. Waktunya menurunkan layang-layang. Beberapa anak lain juga berlari serabutan menjemput layangan masing-masing. Kita memang tidak pernah membiarkan layang-layang tetap terbang malam hari. “Nanti dimakan Hulk!” kata si kurus Toto. Entah mengapa, kita percaya. Padahal kita hanya tahu wujud Hulk dari gambar di kaus milik Fiki. Tak ada yang tahu asal-usul Hulk. Yang kita tahu Hulk adalah raksasa berwarna hijau dan bertubuh mengerikan. Dan selalu disangkut-pautkan dengan hilangnya layang-layang yang dibiarkan pada malam hari.

Hawa dingin menusuk-nusuk kulit. Aku dan Nata sudah sampai di halaman belakang rumah nenek. Layang-layang bergambar kucing itu Nata sandarkan di pohon pisang. Dari dalam rumah terdengar gemuruh suara nenek. Terlalu panjang, cepat dan keras. Kita hanya bisa menangkap beberapa potong kata. “jangan pergi...” “...hukuman lagi...” dan “kalian juga akan dimakan Hulk!...” aku dan Nata terkekeh menahan tawa.

Sekejap saja Nata berlari ditelan pekatnya malam. Lalu muncul kembali dengan napas satu-satu. Ia membopong beberapa batang ubi kayu hasil curian di kebun nenek. Kayu kering tadi juga sudah siap. Api dinyalakan. Terciptalah api unggun ala pramuka. Satu-satu ubi curian ini kita bakar di sela-sela kayu yang membara.

Amarah nenek makin menjadi-jadi. Ocehannya belum juga berhenti. Lebih parah lagi, terdengar suara kakinya menuruni tangga. Gawat! Buru-buru Nata mengunci semua pintu dari luar. Tahu bahwa pintu telah dikunci, suara nenek makin meninggi hingga serak. Aku terpingkal-pingkal hingga perutku perih. Nata kembali, meraih ranting. Tangannya jahil mencungkil-cungkil ubi agar tidak gosong.

Membakar ubi hingga matang ternyata cukup lama. Atau hanya aku yang tidak sabaran? Kulontarkan pertanyaan yang sudah pasti membuat telinga Nata alergi, karena amat sering.

“Aku hanya mengikutinya. Itu saja.” Itu jawaban dari pertanyaanku. Jawaban yang juga membuat telingaku alergi. Aku memang selalu heran, mengapa Nata begitu patuh dengan pekerjaan wajib yang dibuat nenek. Padahal dia bukanlah cucunya, tidak pula tinggal bersama kami. Akulah yang mungkin... wajar patuh, karena katanya... aku berhutang budi telah ia rawat.

Berjam-jam berikutnya kita sibuk melahap ubi bakar hangat yang selalu nikmat melintasi kerongkongan. Aku mulai mengantuk. Sebelum kita berpisah, Nata berbisik di telingaku. “Besok kita punya misi penting! Aku punya layang-layang baru.” Nata berbicara dengan penuh semangat. Aku sempat berpikir iseng, mungkin tadi Nata sempat menelan kembang api, bicaranya sampai meledak-ledak begitu. Hihi.... Dia berlari kembali ditelan gelap malam. Dan aku berjalan menuju rumah, siap diterkam nenek.


Pagi, bagai tak bosan datang lagi. Sinar matahari yang masuk di celah-celah fentilasi menjemputku segera ke lokasi. Lokasi tempat penerbangan layang-layang. Di sana sudah ada Nata. Dia girang menyadari kedatanganku lalu menunjuk-nunjuk ke langit. Mataku mencoba mengikuti arah telunjuknya.

Yang mana punya Nata? Aku membatin. Susah menemukannya di antara puluhan layangan, apa lagi setinggi itu. Yang itu... yang itu!! Dia bersorak. Ah, indahnya! Layang-layang berbentuk naga dengan ekornya yang panjang.

Belum lama kita terkagum-kagum dengan si naga, suara nenek datang mengganggu. “Nata, cepat pergi beli tembakau di kota!” teriaknya. Kenapa harus di kota? Biasanya Nata selalu beli di pasar. Aku membatin, kuyakin Nata pasti berpikiran yang sama. Tapi dia hanya diam. Terlalu patuh. Dan Nata akhirnya pergi. Anehnya, nenek tidak lagi meneriakiku untuk menyiangi ladang atau memanen ubi. Dia hanya memelototiku lalu berlalu pergi.


Matahari mulai meninggi, keringatku bercucuran. Nata belum juga datang. Aku memutuskan untuk berteduh di bawah pohon kersen sambil menunggunya. Dan tiba-tiba... suara gemuruh itu terdengar. Memekakkan telinga. Lalu gerombolan asap pekat bergulung-gulung menuju langit. Itu dari arah kota.

Banyak warga mulai panik. Beberapa di antaranya menyebutkan satu kata dengan histeris. Bom. Ya, benda bernama bom itu diduga yang meledakkan kota. Aku tak bergerak, tak mampu. Aku masih di bawah pohon kersen, menekuk lutut, gemetar. Aku ingat Nata.

Tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Nenek. Dia menarikku dengan paksa. Membawaku pulang. Hiruk-piuk menyengat telinga. Beberapa mobil berwarna putih memasuki kampung. Menurunkan kantung-kantung berisi manusia. Satu di antaranya dibawa ke rumah nenek.

Katanya di kantung itu berisi tubuh Nata. Rumah jadi sangat ramai dengan isakan tangis. Aku tidak mengerti. Hanya aku dan nenek yang tidak menangis. Dengan segala tahap yang ada. Sampai pada saat di mana tubuh Nata dimasukkan ke tanah yang berlubang. Aku meronta dan terus berteriak.

“Hari sudah malam! Kita harus segera menurunkan layang-layang! Nanti dimakan Hulk!!” tidak ada yang menjawab hingga lubang itu mulai ditimbun kembali dengan tanah. Aku berteriak lagi. “Dulu ayah dan ibu, sekarang Nata. Mereka bukan ubi-ubi di ladang Nenek yang selalu ditimbun tanah! Mereka milikku!”

“Mereka sudah mati!” bisikan nenek bagai hujaman tombak es di telingaku. Mati?

“Nenek membunuh Nata. Nenek membunuh Nata!” erangku.

“Siapa yang membunuhnya?!” elak nenek.

“Nenek yang menyuruhnya ke kota!” aku berlari sampai di bawah pohon kersen. Duduk memeluk lutut sambil menggigil karena dingin yang mencekam. Malam begitu pekat. Aku tak bisa melihat layang-layang naga itu lagi. Aku sangat takut akan Hulk yang segera datang.


“Nataa... ayo turunkan layang-layangnya. Nanti Hulk datang dan melahapnya.” Aku terisak. Masih di sana, dengan harapan Nata bisa bangkit dan berhasil keluar dari timbunan tanah terkutuk itu. Belakangan aku baru sadar. Aku menggigil bukan hanya karena dingin tapi juga takut. Aku berjanji akan terus menunggu dan menemani sang naga, agar ia tak takut menghadapi Hulk. Hingga malam telah larut. *ET


Dipublikasikan dalam Kendarinews.com 31 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar