Sudah setengah jam berlalu, Nata sibuk menarik seutas benang yang ia urai
di tangan kanan. Di tangan kirinya tergenggam kayu pendek kecil yang dililit
benang hingga menggemuk. Kali ini dia tidak lagi memakai topi bundar pemberian
Nenek yang sering kusebut topi koboi, walau sama sekali tidak mirip. Kaus
oblong kebesaran berwarna coklat yang memudar itu berpadu dengan celana putih
pendek yang sudah kekuning-kuningan, penuh corak segala macam noda dan getah.
Di pinggangnya terikat kuat sebuah botol penuh dengan air. Kakinya telanjang.
Menjejak-jejak tanah dengan rakus demi menarik untaian benang agar mendapat
angin yang cukup. Dan benda di ujung benang, di atas sana, yang disebut layang-layang
itu bisa terbang, gagah.
Aku hanya mengintip dari balik pohon kersen di tepi lapangan. Tak berani
bergabung dengan sekumpulan manusia kerdil yang kepalanya selalu menadah ke
langit itu. Aku takut Nenek mengetahui keberadaanku. Lalu menghukumku untuk
tidak menyentuh masakannya yang menurutku selalu hambar.
Sial. Nenek sudah berdiri di belakangku. Tubuh bengkaknya selalu tampak
seperti monster yang siap menelanku bulat-bulat. Detik berikutnya dia
menyemburkan segala makian ke mukaku. Suaranya selalu terdengar keras dan
kejam. Inti pembicaraannya sederhana; aku tidak boleh bermain layang-layang
sebelum menyiangi ladang ubinya. Tapi entah kenapa selalu terdengar sangat
panjang dan tajam menusuk-nusuk batinku. Aku bergeming, lalu melangkahkan kaki
perlahan menjauhi tubuh gempalnya menuju ladang.
Baru beberapa langkah yang berhasil kuayun, terdengar Nenek mulai memaki
Nata. Sudah pasti Nata mengabaikan pekerjaan wajibnya sama sepertiku. Pekerjaan
wajib yang semena-mena dibuat oleh Nenek. Beda denganku yang harus menyiangi
ladang, setiap pagi Nata harus ke pasar untuk membelikannya cengkeh dan
tembakau. Kulirik sebentar. Nata menancapkan kayu bergulung benang ke tanah
lalu berlari kilat menjauhi Nenek.
Aku kembali jalan. Berkali-kali kuhembuskan napas berat. Batinku terus
mengutuk Nenek yang mewajibkanku mengurus ladang sementara dia duduk damai di
kursi goyangnya. Kenapa harus aku? mengurus ladang adalah pekerjaan laki-laki.
Bukan gadis kecil sepertiku yang pasti akan tumbuh manis dan cantik dewasa
nanti.
Jujur, dengan tabiatnya yang seperti itu aku tak pernah menganggapnya
sebagai nenekku. Definisi keluarga bagiku adalah adanya ayah, ibu dan anak.
Tidak ada kata nenek, kakek, sepupu.... Belakangan ini aku baru tahu kalau dia
memang bukan nenekku. Mungkin dia hanya iseng merawatku setelah ayah dan ibu
dimasukkan ke sebuah lubang lalu ditimbun dengan tanah. Sampai saat ini aku
masih terus mengutuk orang-orang yang melakukan itu pada orangtuaku. Katanya
itu sebuah kewajiban, katanya aku belum bisa mengerti di usiaku yang dini. Hei,
aku gadis pintar! Para tetangga itu pasti berusaha memperbodohiku. Mereka
bersekongkol menghilangkan orangtuaku. Ah, aku lelah mengingat itu.
Beberapa ayunan cangkul berhasil kulakukan. Terdengar suara bagai isyarat
dari arah rimbunnya semak blueberry. “psstt...ssstt...” kurasa pipiku memanas.
Kudapati Nata kesusahan membawa setumpuk kayu kering. Seketika udara disesaki
riuhan tawaku. Kemudian hening. Aku dan Nata duduk berhadapan. Setumpuk kayu
kering diletakkan antara kita. Beberapa menit berikutnya kita sibuk berbicara
dengan suara pelan, lebih mirip berbisik. Terkadang menggunakan isyarat-isyarat
tangan, lalu menunjuk-nunjuk ke kayu dan beralih ke tanaman ubi. Kita selalu
punya misi rahasia!
Bintang besar bernama matahari itu sudah dari tadi condong ke barat. Mulai
tenggelam di balik pohon asam. Satu-satunya pohon yang ada di lahan luas nenek.
Sinar orange kemerah-merahannya berpendar di balik pohon. Membuat si pohon asam
tampak gagah, kokoh dan... sendiri, mungkin... kesepian
Pergelangan tanganku serasa pedih dicengkeram Nata yang menarikku ke arah
lapangan. Waktunya menurunkan layang-layang. Beberapa anak lain juga berlari
serabutan menjemput layangan masing-masing. Kita memang tidak pernah membiarkan
layang-layang tetap terbang malam hari. “Nanti dimakan Hulk!” kata si kurus
Toto. Entah mengapa, kita percaya. Padahal kita hanya tahu wujud Hulk dari
gambar di kaus milik Fiki. Tak ada yang tahu asal-usul Hulk. Yang kita tahu
Hulk adalah raksasa berwarna hijau dan bertubuh mengerikan. Dan selalu
disangkut-pautkan dengan hilangnya layang-layang yang dibiarkan pada malam
hari.
Hawa dingin menusuk-nusuk kulit. Aku dan Nata sudah sampai di halaman
belakang rumah nenek. Layang-layang bergambar kucing itu Nata sandarkan di
pohon pisang. Dari dalam rumah terdengar gemuruh suara nenek. Terlalu panjang,
cepat dan keras. Kita hanya bisa menangkap beberapa potong kata. “jangan
pergi...” “...hukuman lagi...” dan “kalian juga akan dimakan Hulk!...” aku dan
Nata terkekeh menahan tawa.
Sekejap saja Nata berlari ditelan pekatnya malam. Lalu muncul kembali
dengan napas satu-satu. Ia membopong beberapa batang ubi kayu hasil curian di
kebun nenek. Kayu kering tadi juga sudah siap. Api dinyalakan. Terciptalah api
unggun ala pramuka. Satu-satu ubi curian ini kita bakar di sela-sela kayu yang
membara.
Amarah nenek makin menjadi-jadi. Ocehannya belum juga berhenti. Lebih parah
lagi, terdengar suara kakinya menuruni tangga. Gawat! Buru-buru Nata mengunci
semua pintu dari luar. Tahu bahwa pintu telah dikunci, suara nenek makin
meninggi hingga serak. Aku terpingkal-pingkal hingga perutku perih. Nata
kembali, meraih ranting. Tangannya jahil mencungkil-cungkil ubi agar tidak
gosong.
Membakar ubi hingga matang ternyata cukup lama. Atau hanya aku yang tidak
sabaran? Kulontarkan pertanyaan yang sudah pasti membuat telinga Nata alergi,
karena amat sering.
“Aku hanya mengikutinya. Itu saja.” Itu jawaban dari pertanyaanku. Jawaban
yang juga membuat telingaku alergi. Aku memang selalu heran, mengapa Nata
begitu patuh dengan pekerjaan wajib yang dibuat nenek. Padahal dia bukanlah
cucunya, tidak pula tinggal bersama kami. Akulah yang mungkin... wajar patuh,
karena katanya... aku berhutang budi telah ia rawat.
Berjam-jam berikutnya kita sibuk melahap ubi bakar hangat yang selalu
nikmat melintasi kerongkongan. Aku mulai mengantuk. Sebelum kita berpisah, Nata
berbisik di telingaku. “Besok kita punya misi penting! Aku punya layang-layang
baru.” Nata berbicara dengan penuh semangat. Aku sempat berpikir iseng, mungkin
tadi Nata sempat menelan kembang api, bicaranya sampai meledak-ledak begitu.
Hihi.... Dia berlari kembali ditelan gelap malam. Dan aku berjalan menuju
rumah, siap diterkam nenek.
Pagi, bagai tak bosan datang lagi. Sinar matahari yang masuk di celah-celah
fentilasi menjemputku segera ke lokasi. Lokasi tempat penerbangan
layang-layang. Di sana sudah ada Nata. Dia girang menyadari kedatanganku lalu
menunjuk-nunjuk ke langit. Mataku mencoba mengikuti arah telunjuknya.
Yang mana punya Nata? Aku membatin. Susah menemukannya di antara puluhan
layangan, apa lagi setinggi itu. Yang itu... yang itu!! Dia bersorak. Ah,
indahnya! Layang-layang berbentuk naga dengan ekornya yang panjang.
Belum lama kita terkagum-kagum dengan si naga, suara nenek datang
mengganggu. “Nata, cepat pergi beli tembakau di kota!” teriaknya. Kenapa harus
di kota? Biasanya Nata selalu beli di pasar. Aku membatin, kuyakin Nata pasti
berpikiran yang sama. Tapi dia hanya diam. Terlalu patuh. Dan Nata akhirnya
pergi. Anehnya, nenek tidak lagi meneriakiku untuk menyiangi ladang atau
memanen ubi. Dia hanya memelototiku lalu berlalu pergi.
Matahari mulai meninggi, keringatku bercucuran. Nata belum juga datang. Aku
memutuskan untuk berteduh di bawah pohon kersen sambil menunggunya. Dan
tiba-tiba... suara gemuruh itu terdengar. Memekakkan telinga. Lalu gerombolan
asap pekat bergulung-gulung menuju langit. Itu dari arah kota.
Banyak warga mulai panik. Beberapa di antaranya menyebutkan satu kata
dengan histeris. Bom. Ya, benda bernama bom itu diduga yang meledakkan kota.
Aku tak bergerak, tak mampu. Aku masih di bawah pohon kersen, menekuk lutut,
gemetar. Aku ingat Nata.
Tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Nenek. Dia menarikku dengan paksa.
Membawaku pulang. Hiruk-piuk menyengat telinga. Beberapa mobil berwarna putih
memasuki kampung. Menurunkan kantung-kantung berisi manusia. Satu di antaranya
dibawa ke rumah nenek.
Katanya di kantung itu berisi tubuh Nata. Rumah jadi sangat ramai dengan
isakan tangis. Aku tidak mengerti. Hanya aku dan nenek yang tidak menangis.
Dengan segala tahap yang ada. Sampai pada saat di mana tubuh Nata dimasukkan ke
tanah yang berlubang. Aku meronta dan terus berteriak.
“Hari sudah malam! Kita harus segera menurunkan layang-layang! Nanti
dimakan Hulk!!” tidak ada yang menjawab hingga lubang itu mulai ditimbun
kembali dengan tanah. Aku berteriak lagi. “Dulu ayah dan ibu, sekarang Nata.
Mereka bukan ubi-ubi di ladang Nenek yang selalu ditimbun tanah! Mereka
milikku!”
“Mereka sudah mati!” bisikan nenek bagai hujaman tombak es di telingaku.
Mati?
“Nenek membunuh Nata. Nenek membunuh Nata!” erangku.
“Siapa yang membunuhnya?!” elak nenek.
“Nenek yang menyuruhnya ke kota!” aku berlari sampai di bawah pohon kersen.
Duduk memeluk lutut sambil menggigil karena dingin yang mencekam. Malam begitu
pekat. Aku tak bisa melihat layang-layang naga itu lagi. Aku sangat takut akan
Hulk yang segera datang.
“Nataa... ayo turunkan layang-layangnya. Nanti Hulk datang dan melahapnya.”
Aku terisak. Masih di sana, dengan harapan Nata bisa bangkit dan berhasil keluar
dari timbunan tanah terkutuk itu. Belakangan aku baru sadar. Aku menggigil
bukan hanya karena dingin tapi juga takut. Aku berjanji akan terus menunggu dan
menemani sang naga, agar ia tak takut menghadapi Hulk. Hingga malam telah
larut. *ET
Dipublikasikan dalam Kendarinews.com 31 Agustus 2014