Selasa, 09 September 2014

Layang-Layang Tengah Malam

Sudah setengah jam berlalu, Nata sibuk menarik seutas benang yang ia urai di tangan kanan. Di tangan kirinya tergenggam kayu pendek kecil yang dililit benang hingga menggemuk. Kali ini dia tidak lagi memakai topi bundar pemberian Nenek yang sering kusebut topi koboi, walau sama sekali tidak mirip. Kaus oblong kebesaran berwarna coklat yang memudar itu berpadu dengan celana putih pendek yang sudah kekuning-kuningan, penuh corak segala macam noda dan getah. Di pinggangnya terikat kuat sebuah botol penuh dengan air. Kakinya telanjang. Menjejak-jejak tanah dengan rakus demi menarik untaian benang agar mendapat angin yang cukup. Dan benda di ujung benang, di atas sana, yang disebut layang-layang itu bisa terbang, gagah.

Aku hanya mengintip dari balik pohon kersen di tepi lapangan. Tak berani bergabung dengan sekumpulan manusia kerdil yang kepalanya selalu menadah ke langit itu. Aku takut Nenek mengetahui keberadaanku. Lalu menghukumku untuk tidak menyentuh masakannya yang menurutku selalu hambar.

Sial. Nenek sudah berdiri di belakangku. Tubuh bengkaknya selalu tampak seperti monster yang siap menelanku bulat-bulat. Detik berikutnya dia menyemburkan segala makian ke mukaku. Suaranya selalu terdengar keras dan kejam. Inti pembicaraannya sederhana; aku tidak boleh bermain layang-layang sebelum menyiangi ladang ubinya. Tapi entah kenapa selalu terdengar sangat panjang dan tajam menusuk-nusuk batinku. Aku bergeming, lalu melangkahkan kaki perlahan menjauhi tubuh gempalnya menuju ladang.

Baru beberapa langkah yang berhasil kuayun, terdengar Nenek mulai memaki Nata. Sudah pasti Nata mengabaikan pekerjaan wajibnya sama sepertiku. Pekerjaan wajib yang semena-mena dibuat oleh Nenek. Beda denganku yang harus menyiangi ladang, setiap pagi Nata harus ke pasar untuk membelikannya cengkeh dan tembakau. Kulirik sebentar. Nata menancapkan kayu bergulung benang ke tanah lalu berlari kilat menjauhi Nenek.

Aku kembali jalan. Berkali-kali kuhembuskan napas berat. Batinku terus mengutuk Nenek yang mewajibkanku mengurus ladang sementara dia duduk damai di kursi goyangnya. Kenapa harus aku? mengurus ladang adalah pekerjaan laki-laki. Bukan gadis kecil sepertiku yang pasti akan tumbuh manis dan cantik dewasa nanti.

Jujur, dengan tabiatnya yang seperti itu aku tak pernah menganggapnya sebagai nenekku. Definisi keluarga bagiku adalah adanya ayah, ibu dan anak. Tidak ada kata nenek, kakek, sepupu.... Belakangan ini aku baru tahu kalau dia memang bukan nenekku. Mungkin dia hanya iseng merawatku setelah ayah dan ibu dimasukkan ke sebuah lubang lalu ditimbun dengan tanah. Sampai saat ini aku masih terus mengutuk orang-orang yang melakukan itu pada orangtuaku. Katanya itu sebuah kewajiban, katanya aku belum bisa mengerti di usiaku yang dini. Hei, aku gadis pintar! Para tetangga itu pasti berusaha memperbodohiku. Mereka bersekongkol menghilangkan orangtuaku. Ah, aku lelah mengingat itu.

Beberapa ayunan cangkul berhasil kulakukan. Terdengar suara bagai isyarat dari arah rimbunnya semak blueberry. “psstt...ssstt...” kurasa pipiku memanas. Kudapati Nata kesusahan membawa setumpuk kayu kering. Seketika udara disesaki riuhan tawaku. Kemudian hening. Aku dan Nata duduk berhadapan. Setumpuk kayu kering diletakkan antara kita. Beberapa menit berikutnya kita sibuk berbicara dengan suara pelan, lebih mirip berbisik. Terkadang menggunakan isyarat-isyarat tangan, lalu menunjuk-nunjuk ke kayu dan beralih ke tanaman ubi. Kita selalu punya misi rahasia!


Bintang besar bernama matahari itu sudah dari tadi condong ke barat. Mulai tenggelam di balik pohon asam. Satu-satunya pohon yang ada di lahan luas nenek. Sinar orange kemerah-merahannya berpendar di balik pohon. Membuat si pohon asam tampak gagah, kokoh dan... sendiri, mungkin... kesepian

Pergelangan tanganku serasa pedih dicengkeram Nata yang menarikku ke arah lapangan. Waktunya menurunkan layang-layang. Beberapa anak lain juga berlari serabutan menjemput layangan masing-masing. Kita memang tidak pernah membiarkan layang-layang tetap terbang malam hari. “Nanti dimakan Hulk!” kata si kurus Toto. Entah mengapa, kita percaya. Padahal kita hanya tahu wujud Hulk dari gambar di kaus milik Fiki. Tak ada yang tahu asal-usul Hulk. Yang kita tahu Hulk adalah raksasa berwarna hijau dan bertubuh mengerikan. Dan selalu disangkut-pautkan dengan hilangnya layang-layang yang dibiarkan pada malam hari.

Hawa dingin menusuk-nusuk kulit. Aku dan Nata sudah sampai di halaman belakang rumah nenek. Layang-layang bergambar kucing itu Nata sandarkan di pohon pisang. Dari dalam rumah terdengar gemuruh suara nenek. Terlalu panjang, cepat dan keras. Kita hanya bisa menangkap beberapa potong kata. “jangan pergi...” “...hukuman lagi...” dan “kalian juga akan dimakan Hulk!...” aku dan Nata terkekeh menahan tawa.

Sekejap saja Nata berlari ditelan pekatnya malam. Lalu muncul kembali dengan napas satu-satu. Ia membopong beberapa batang ubi kayu hasil curian di kebun nenek. Kayu kering tadi juga sudah siap. Api dinyalakan. Terciptalah api unggun ala pramuka. Satu-satu ubi curian ini kita bakar di sela-sela kayu yang membara.

Amarah nenek makin menjadi-jadi. Ocehannya belum juga berhenti. Lebih parah lagi, terdengar suara kakinya menuruni tangga. Gawat! Buru-buru Nata mengunci semua pintu dari luar. Tahu bahwa pintu telah dikunci, suara nenek makin meninggi hingga serak. Aku terpingkal-pingkal hingga perutku perih. Nata kembali, meraih ranting. Tangannya jahil mencungkil-cungkil ubi agar tidak gosong.

Membakar ubi hingga matang ternyata cukup lama. Atau hanya aku yang tidak sabaran? Kulontarkan pertanyaan yang sudah pasti membuat telinga Nata alergi, karena amat sering.

“Aku hanya mengikutinya. Itu saja.” Itu jawaban dari pertanyaanku. Jawaban yang juga membuat telingaku alergi. Aku memang selalu heran, mengapa Nata begitu patuh dengan pekerjaan wajib yang dibuat nenek. Padahal dia bukanlah cucunya, tidak pula tinggal bersama kami. Akulah yang mungkin... wajar patuh, karena katanya... aku berhutang budi telah ia rawat.

Berjam-jam berikutnya kita sibuk melahap ubi bakar hangat yang selalu nikmat melintasi kerongkongan. Aku mulai mengantuk. Sebelum kita berpisah, Nata berbisik di telingaku. “Besok kita punya misi penting! Aku punya layang-layang baru.” Nata berbicara dengan penuh semangat. Aku sempat berpikir iseng, mungkin tadi Nata sempat menelan kembang api, bicaranya sampai meledak-ledak begitu. Hihi.... Dia berlari kembali ditelan gelap malam. Dan aku berjalan menuju rumah, siap diterkam nenek.


Pagi, bagai tak bosan datang lagi. Sinar matahari yang masuk di celah-celah fentilasi menjemputku segera ke lokasi. Lokasi tempat penerbangan layang-layang. Di sana sudah ada Nata. Dia girang menyadari kedatanganku lalu menunjuk-nunjuk ke langit. Mataku mencoba mengikuti arah telunjuknya.

Yang mana punya Nata? Aku membatin. Susah menemukannya di antara puluhan layangan, apa lagi setinggi itu. Yang itu... yang itu!! Dia bersorak. Ah, indahnya! Layang-layang berbentuk naga dengan ekornya yang panjang.

Belum lama kita terkagum-kagum dengan si naga, suara nenek datang mengganggu. “Nata, cepat pergi beli tembakau di kota!” teriaknya. Kenapa harus di kota? Biasanya Nata selalu beli di pasar. Aku membatin, kuyakin Nata pasti berpikiran yang sama. Tapi dia hanya diam. Terlalu patuh. Dan Nata akhirnya pergi. Anehnya, nenek tidak lagi meneriakiku untuk menyiangi ladang atau memanen ubi. Dia hanya memelototiku lalu berlalu pergi.


Matahari mulai meninggi, keringatku bercucuran. Nata belum juga datang. Aku memutuskan untuk berteduh di bawah pohon kersen sambil menunggunya. Dan tiba-tiba... suara gemuruh itu terdengar. Memekakkan telinga. Lalu gerombolan asap pekat bergulung-gulung menuju langit. Itu dari arah kota.

Banyak warga mulai panik. Beberapa di antaranya menyebutkan satu kata dengan histeris. Bom. Ya, benda bernama bom itu diduga yang meledakkan kota. Aku tak bergerak, tak mampu. Aku masih di bawah pohon kersen, menekuk lutut, gemetar. Aku ingat Nata.

Tiba-tiba ada yang menarik tanganku. Nenek. Dia menarikku dengan paksa. Membawaku pulang. Hiruk-piuk menyengat telinga. Beberapa mobil berwarna putih memasuki kampung. Menurunkan kantung-kantung berisi manusia. Satu di antaranya dibawa ke rumah nenek.

Katanya di kantung itu berisi tubuh Nata. Rumah jadi sangat ramai dengan isakan tangis. Aku tidak mengerti. Hanya aku dan nenek yang tidak menangis. Dengan segala tahap yang ada. Sampai pada saat di mana tubuh Nata dimasukkan ke tanah yang berlubang. Aku meronta dan terus berteriak.

“Hari sudah malam! Kita harus segera menurunkan layang-layang! Nanti dimakan Hulk!!” tidak ada yang menjawab hingga lubang itu mulai ditimbun kembali dengan tanah. Aku berteriak lagi. “Dulu ayah dan ibu, sekarang Nata. Mereka bukan ubi-ubi di ladang Nenek yang selalu ditimbun tanah! Mereka milikku!”

“Mereka sudah mati!” bisikan nenek bagai hujaman tombak es di telingaku. Mati?

“Nenek membunuh Nata. Nenek membunuh Nata!” erangku.

“Siapa yang membunuhnya?!” elak nenek.

“Nenek yang menyuruhnya ke kota!” aku berlari sampai di bawah pohon kersen. Duduk memeluk lutut sambil menggigil karena dingin yang mencekam. Malam begitu pekat. Aku tak bisa melihat layang-layang naga itu lagi. Aku sangat takut akan Hulk yang segera datang.


“Nataa... ayo turunkan layang-layangnya. Nanti Hulk datang dan melahapnya.” Aku terisak. Masih di sana, dengan harapan Nata bisa bangkit dan berhasil keluar dari timbunan tanah terkutuk itu. Belakangan aku baru sadar. Aku menggigil bukan hanya karena dingin tapi juga takut. Aku berjanji akan terus menunggu dan menemani sang naga, agar ia tak takut menghadapi Hulk. Hingga malam telah larut. *ET


Dipublikasikan dalam Kendarinews.com 31 Agustus 2014

Senin, 08 September 2014

SAKITNYA ITU DI SINI!!!

Kali ini gw cuma pengen ngeracau aja. Dan mungkin akan lebih enak didengar (gw juga enak ngomong+ngetiknya) kalau pake kata ganti “lu-gw”. Kali ini gw bener-bener marah dan gak tahu harus marah ke siapa. Gak mungkin kan gw ngamuk-ngamuk sama tembok kamar gw! Akhirnya ajang marah-marah ini gw salurkan ke pembaca blog gw aja. Lu semua pasti bisa gw ajak kerja sama kan? Lu gak bakal bisa marah balik ke gw. Palingan cuma lewat komentar doang. Kalau gw gak mau gubris, yaa...selesai!

Just info! Jangan lu anggap ini tulisan humor, lawakan atau naskah stand up. Gw bener-bener serius, karena sakitnya itu di sinii!!! (gw serius! Ini bukan guyon!)

Sebagai cewek yang terkenal pendiem, jarang ngomong marah-marah maksudnya. Gw pasti gak punya bakat marah/ngamuk dong. Dan kata orang kebanyakan, ‘orang pendiem itu bahaya kalau lagi marah’. Mungkin maksudnya adalah orang pendiem itu kalau marah, dunia bakal kiamat kali!

Jadi sebenarnya gw itu marah karena apa?? Terlalu panjang prolognya ya. Ok, cus deh...

Gw ini sebenernya bukan marah, tapi lagi sakit. Sakit HATI!! Dan karena sakit hati itulah gw jadi marah (sama aja keles!). Yang namanya sakit karena ketidakadilan itu adalah salah satu jenis rasa sakit selain sakit karena penghinaan, sakit karena pengkhianatan, sakit karena luka, sakit karena ucapan, sakit karena diputusin, sakit karena cinta ditolak...halah! yang pasti gw ini lagi sakit, karena...ketidakadilan. Titik. Lanjut... *loh?

“ADIL” satu kata yang selalu dituntut oleh semua makhluk (bukan hanya manusia) di bumi ini. Dan nyatanya itu belum bisa terlaksana. Satu kata yang jika diberi imbuhan ‘tidak’ maka sakitnya itu seperti hunusan pedang es di hati gw! Menancap dalam. Membekukan. Walaupun berhasil dicabut, pasti meninggalkan lubang. Kalaupun itu berangsur sembuh, pasti akan menyisakan bekas. Tidak dapat kembali seperti semula. (busyet...kata-kata gw keren banget!)

“ANGKA” yang bisa menghancur leburkan manusia dan kehidupan. Memicu peperangan dan membuat segala macam perbedaan. Perbedaan status sosial, derajat, tingkat/label. Menentukan kaya-miskin, mahal-murah, tinggi-pendek, banyak-sedikit, besar-kecil, pintar-bodoh, hingga beruntung-tidak beruntung.

Penerimaan KHS kemaren bener-bener berhasil bikin gw nangis di depan ruang jurusan di hadapan temen-temen gw. Bukan gw aja yang nangis gara-gara selembar kertas putih berisi angka-angka memuakkan itu. Ada satu temen gw yang juga nangis karena ngerasain diskriminasi/ketidakadilan yang terjadi. Awalnya gw sempet mikir; ini Jebakan Batman kali ya? Celingak-celinguk nyari kamera tersembunyi. Tapi ternyata ini real, bro. Gw nyesek. Gw berharap ini bener-bener Jebakan Batman. Hiks!

Gw jadi mikir “Apa iya gw harus berangkat lebih subuh lagi? Apa iya gw harus begadang lebih lama lagi (atau sekalian gak tidur)? Apa iya gw harus menulis gak berhenti-berhenti dan menambahkan lebih banyak jatah uang belanja folpen bulanan gw? Apa iya gw harus BENAR-BENAR mematahkan kaki gw biar lebih parah dari hanya sekedar menggerutu ‘rasanya kakiku mau patah, beh...!’ dampak dari mondar-mandir dan naik-turun tangga?!” Gw kurang apa?? Gw tanya lu semua, gw kurang apa, haa??! Sorry, gw udah bilangkan kalau gw bener-bener lagi sakit hati. (gw mulai nangis nih. Emang dari tadi udah nangis! :/)

Memang angka (nilai) bukan segala-galanya. Lu semua bisa bilang ke gw “kuliah itu jangan cuma kejar angka (nilai), walaupun rendah yang penting ilmunya. Jangan buru-buru, cari dulu ilmu yang banyak.” Bullshit lu semua kalau gak nyari angka!! Untuk manusia sejenis gw, gak bakal munafik kalau dalam hidup gw selalu mengejar angka. Why? Karena gw sedang (dan selalu) mengejar waktu. Lembar-lembar kertas yang telah didaulat bernama uang itu gak bisa gw sia-siain. Itu pemberian ortu bro!! Bukan sekedar mengeruknya dari tanah.

Tapi apa daya, mereka semua ‘tutup mata’. Lu tahu siapa yang gw sebut ‘mereka’? Nih gw kasih huruf besar untuk sebutan selanjutnya ya. MEREKA, ya MEREKA yang tingkatannya jauh di atas kita yang selalu kita hormati dan segani (walau sering juga kita gunjingkan). Itu lo...yang selalu kita kasih kata “maaf” walau kita gak ada salah apa-apa dan “terima kasih” walau belum diberi apa-apa! Gw kesel banget. Dongkol gw.

Rasanya itu sakiiit...(makin deras aja nih air mata). Gw udah berupaya yang sebaik-baiknya, yang gw mampu, yang halal juga pastinya. Gw.............ck, gw...jalan kaki ke kampus bro, mungkin bisa disebut deket. Setahu gw, gw selalu tepat waktu dalam segala hal. Gw...gw...ngelakuin apapun yang MEREKA suruh, gw tepat waktu! Sekali lagi, gw TEPAT WAKTU!! Gw mau nyombongin diri dulu, gw gak mau mikir yang laen. Pokoknya gw adalah mahasiswa paling disiplin diantara temen-temen gw!! Buat temen-temen yang gak sengaja baca, gw minta maaf, inilah gw bro! Kali ini gw nyoba sombong.

Gw rinciin yang sejelas-jelasnya ya. Pertama, gw selalu berangkat sebelum jam tujuh, walau jadwal kuliah jam 07.30 dan gw tahu MEREKA itu gak ada yang bisa tepat waktu sesuai jadwal. Paling cepet, jam delapan kita baru masuk. Itu paling cepet! Lebih banyak dari MEREKA, ngaretnya naudzubilah... Kedua, gw selalu duduk di barisan terdepan, buat apa? Sengaja, biar muka gw sering diliat sama MEREKA dan gw bisa gampang ngikutin pelajaran, jawab pertanyaan. Ketiga, gw selalu ngikutin apa mau MEREKA. Normalnya MEREKA pengen tugas yang kita buat itu murni kerja sendiri, urusan benar/tidaknya itu belakangan. Intinya adalah gak boleh copas. Gw berusaha!! Yang laen itu banyak yang copas dan asal-asalan, tapi apa hasilnya? MEREKA gak tahu kan? Keempat, gw ini selalu jadi tempat bertanya temen-temen gw. Gw benci sebenarnya kalau ada tugas, karena itu tandanya gw bakalan diteror lagi. Gw suka nangis gara-gara tugas, gw capek ngeladenin mereka-mereka yang nanya tugas ke gw. Itulah sebabnya gw sering gonta-ganti nomor (ini air mata gak mau berhenti ya)

Di awal pertemuan, MEREKA selalu jelasin rincian bagaimana MEREKA menentukan nilai. Nilai tugas beberapa persen, nilai mid segitu persen, ditambah nilai final segini persen, plus kehadiran dan etika. Bullshit.!! Apa buktinya?? Gw ini sakit! (elus dada, hapus air di pipi).

Ada beberapa temen gw yang nanya kenapa gw nangis padahal IP gw cukup tinggi? Helloo...!! lu pikir ini cukup? Setelah semua yang gw lakuin, cuma ini doang balasannya? Segini aja hasilnya?? Lu pikir gw gak sakit? Ternyata ketidakadilan di *** bukan hanya tentang SPP, tapi juga nilai!

Jadi, akhir-akhir ini setiap gw ngampus, gw suka nyesek dan menjauh setiap ketemu atau berpapasan sama temen-temen gw yang IPnya jauuuuhhh...banget di atas gw. Padahal...aduh...gw gak bisa jelasin gimana perbedaan mereka sama gw. Ini gak adilnya blak-blakan, bro!! Sakitnya itu di sini. Gw ngejauh bukan karena gw benci sama dia, juga bukan karena dia membahas tentang nilai (dll). Gw ngejauh karena gw suka langsung kepikiran dengan ketidakadilan itu. Langsung sakit di hati. Dan gw orangnya agak susah kendaliin air mata. Jadi...gw lebih milih ngejauh dari pada nangis di depan mereka. Gw sakit!! Gw harus pulang di saat yang laen mau kuliah. Gw gak bisa program semua mata kuliah!! Wwooooooooeeeeeee.........!!! (gila! Gw ini sakit banget ya?)

Kesimpulan dari gw. Lu semua harus catet nih. Penting! Dan mungkin khusus buat lu yang kuliah di *** “Kuliah, itu cuma tentang beruntung dan tidak beruntung. This is just about LUCK!” dan kali ini gw lagi gak beruntung. Kalau lu kuliah di sini, di *** maksudnya. Lu bisa santai-santai aja, lu bisa ngelakuin sesuka lu dan lu bisa dapet nilai bagus. Yang bener-bener kuliah dengan sepenuh jiwa raga, hidup-mati (kayak gw) bisa aja nilainya bobrok. Terbukti kan? Dan jangan lu beranggapan yang pinter dan rajin akan cepat selesai duluan. Banyak kok mereka yang biasa-biasa aja malah cepet selesai. So...ini hanya tentang keberuntungan! (busyet dah, tisu gw mau abis)

Heeeeehh.... Udah cukup kayaknya bualan gw. Gw gak mau ngelanjutin tulisan beginian lagi. Perih mata gw, kering. Gw mau ngelanjutin maki-maki sama udara aja.

Oke...buat lu-lu yang ngerasa senasib sama kisah gw dari awal sampe akhir, ataupun yang sepotong-sepotong. Cheers, bro...! lu berhasil mendapatkan hadiah sebuah piring cantik (yang udah pecah) dari gw (sesuai kan dengan hati kita yang remuk?). Bonus lagi, lu semua bisa hubungi gw buat ngebentuk komunitas, geng, atau kelompok arisan bareng.

Dan akhir kata gw ngucapin ASTAGFIRULLAHHALADZIIM...atas segala kata-kata kasar gw. Bye! (ngomong-ngomong, gw masih ngerasa sakit :( )*ET

Sabtu, 16 Agustus 2014

REPUBLIK INFOTAINMENT

Gemparnya tayangan  kabar seputar dunia selebriti memang tak akan pernah  usai meramaikan jagad media massa, terutama televisi. Walaupun acara infotainment sering dianggap tidak layak tonton, namun pada kenyataannya acara inilah yang banyak ditunggu-tunggu pemirsa televisi. Ratinglah yang membuat tayangan infotainment terus bertahan meramaikan pasar media.
Durasi Tayangan Meningkat
Di Indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan infotainment yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Untuk memantau pelaksanaan penyiaran dibentuk juga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan yang berkaitan dengan perilaku wartawan yang bekerja pada bidang penyiaran diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Menurut promovendus, mengutip catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari).
Bahkan, selama penelitian dilakukan Januari-Agustus 2007, Agus Maladi Irianto mencatat penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 210 episode per minggu atau sekitar 15 jam sehari. Dengan meningkatnya frekuensi tayangan infotainment setiap tahun, bisa dibayangkan berapa banyaknya untuk tahun-tahun belakangan ini.
Berita atau Gosip(Gibhah)?
Kembali pada apa yang membuat jurnalisme itu ada? Jurnalisme itu diadakan karena hak publik untuk tahu tentang hal-hal yang dianggap penting dan mereka butuhkan. Jika infotainment ingin dianggap bagian dari jurnalisme, maka harus memenuhi Kode Etik Jurnalisme. Namun, apakah informasi yang mereka sampaikan selama ini itu benar-benar dibutuhkan dan penting bagi publik?
Perlu kita ketahui bahwa definisi gibhah menurut A. Mudjab Mahali adalah segala sesuatu yang dapat memberikan pengertian kepada orang lain yang berada di sisinya tentang cacat, cela seseorang muslim lainnya (yang diumpat), baik yang terdapat pada badannya, keluarga dan keturunannya, baik urusan agama maupun dunia, sampai kepada urusan rumah dan kebendaannya.
Dalam media massa, informasi yang disampaikan disebut dengan berita. Setidaknya ada tiga komponen penting yang membuat sebuah informasi layak disebut berita, yaitu merupakan informasi yang baru, dibutuhkan dan penting bagi publik, serta harus segera disampaikan kepada publik. Informasi yang disuguhkan dalam sebuah infotainment lebih bersifat hiburan daripada berita. Harusnya infotainment bisa menyuguhkan informasi yang mengandung tiga komponen tersebut.
Misalnya saja kabar tentang selebriti yang sedang berpacaran. Tentu itu tidak dibutuhkan dan tidak penting bagi publik. Dan jika tayangan infotainment hanya sekedar menceritakan aib para selebriti tanpa fakta yang jelas maka itulah yang disebut gosip (gibhah) yang bisa menjadi fitnah.
Ini jelas terlihat, misalnya pada tayangan infotainment Silet di RCTI. Selama satu setengah jam, Silet hadir untuk mengupas tuntas kisah dan kasus para selebritis tanah air. Dengan gaya bahasa yang puitis, Silet menjadikan hal-hal yang tabu menjadi layak dan patut diperbincangkan. Infotainment ini pernah mendapat teguran dari KPI dan diberhentikan sejak tanggal 9 November 2010 dan kemudian kembali tayang pada tahun 2011.
Dampak Infotainment
Salah satu program televisi yang mempunyai rating cukup tinggi yaitu infotainment yang berbau gosip dan menceritakan kehidupan selebritis. Infotainment memiliki nilai positif misalnya menjadikan seorang artis menjadi terkenal namun banyak juga dampak negatifnya. Dalam memberikan informasi terkadang infotainment terlalu berlebihan dan sudah begitu bebas melompati pagar etika, serta sering kali terjadi pelanggaran terhadap hak privasi dari narasumber.
Tak jarang informasi yang ditayangkan sebuah infotainment yaitu mengenai aib orang lain seperti kasus perceraian, perselingkuhan, seks dan sebagainya. Informasi yang disuguhkan pun terkadang tidak sesuai dengan fakta namun hanya sebagai mencari sensasional dan keuntungan, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran tentang isi siaran yang dilarang.
Pada umumnya, pengaruh media massa di Indonesia, terutama televisi, mirip dengan teori jarum hipodermik. Yaitu bersifat sangat kuat dan langsung kepada masyarakat. Selain itu, menurut saya, Cultivation Theory juga sangat berperan, yaitu penyajian siaran yang berulang-ulang akan mempengaruhi tingkah laku pemirsa. Dan selanjutnya akan berlakulah Teori Pembelajaran Sosial (teori pembelajaran observasi) yaitu pemirsa menafsirkan apa yang mereka lihat dari media, baru kemudian mengikutinya.
Contohnya saja dengan maraknya kasus perceraian selebriti memberikan dampak buruk pada masyarakat yang dapat dilihat dari makin tingginya tingkat perceraian di Indonesia. KPI merekomendasikan bahwa infotainment  termasuk tayangan nonfaktual, mungkin ini karena infotainment dianggap bukan produk pers/jurnalistik. Bahkan fatwa haram MUI sudah dikeluarkan untuk program acara yang kerap membeberkan gosip itu.
Jadi, diharapkan pada semua stasiun televisi untuk lebih memperhatikan kualitas acara yang ditayangakan. Jangan hanya mengejar rating. Ada baiknya jika sebuah stasiun televisi cukup memiliki satu program infotainment saja. KPI harus lebih baik lagi memantau dan menyikapi tayangan infotainment yang sudah tidak mengindahkan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dan jauh melewati batas Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat juga harus sadar dengan kepentingan media yang sebenarnya dan lebih selektif terhadap “berita” infotainment, sehingga efek negatif dari pesan yang disampaikan bisa terhindari.*ET

Kamis, 26 Juni 2014

Black Coffee


Bicara tentang Kopi. Berarti bicara tentang cita rasanya yang pahit. Kalau ingat kopi jadi pengen ke Venesia, kota perdagangan kopi di era awal masuknya kopi di Eropa. Atau ke Kafe Royal, salah satu kedai kopi pertama di London. Pengen juga menikmati kopi Nescafe, yang dikomersialkan pertama kali pada tahun 1938 di Swiss (jujur, pengen banget nyoba).
Kopi hitam, why not?
Kopi hitam. Kopi paling original yang pernah ada. Toh dari sononya yang namanya kopi itu memang berwarna hitam. Tanpa campuran susu, coklat, karamel, mocca, de el el.
Pernah ada temen yang protes. Di suatu malam pertengahan bulan April lalu, kita pergi ke kedai kopi bareng-bareng. Di sana hanya aku perempuan bersama lima orang temen cowok. Tentu di sana hanya aku yang paling cantik, dong (hehe). Dari berbagai sajian minuman kopi, aku memesan kopi hitam. Kalimat-kalimat protes dari para cowok itu mulai menerpaku silih berganti.
Tampaknya mereka agak terkejut dengan apa yang aku pesan. Jarang lho ada cewek suka minum kopi hitam, mungkin itu yang mereka pikirkan. Bahkan kata mereka, aku ini seperti bapak-bapak, seperti orang tua. Nah lho, emang salah? Emang kopi diciptain cuma buat kaum lelaki, bapak-bapak, dan orang tua? Yah, mungkin memang kopi identik seperti itu. Tapi gak ada larangan tertulis kan buat para kaum hawa? Untung aja aku gak pesan kopi hitam+pahit. Bisa-bisa aku disuruh pulang, hehe.
Banyak komentar dari para lelaki seperti tetangga, saudara, teman dan yang sok kenal, ngucapin: “kerenn...cewek suka kopi!” sambil ngacungin dua jempol (y) (y) perasaan biasa aja tuh :p menurutku ini bukan karena hasil gendernisasi lho!
Cara menikmati
Waktu itu aku sedang menyeduh kopi Tora Bika di kamar kostku. Aroma kopi semerbak ke mana-mana. Seorang tetangga yang lewat sambil nyeletuk. “Kenapa ko harus seduh kopi dengan air panas? Toh, nanti ko akan minum kalau sudah dingin.” Kata-kata yang cukup singkat. Seperti angin lalu. Yang berkata itu tadi juga seperti hanya asal nyeplos. Dia langsung pergi (memang niatnya cuma lewat).
Tapi perkataan itu tadi membuat aku termenung cukup lama. Aku memandangi asap yang meliuk anggun dari cangkir itu. Aku memang suka meminum kopi ketika nyaris dingin atau benar-benar sudah dingin. Aku tidak pernah sengaja melakukan itu, semua terjadi begitu saja. Cara menikmati kopi setiap orang tentu berbeda-beda. Menurutku mungkin kopi dan minuman panas lainnya (seperti teh) sengaja diseduh dengan air panas agar aromanya bisa keluar dan rasanya lebih nikmat.
Ada nih kutipan dari film Milli dan Nathan "Cinta itu seperti KOPI panas... paling enak diminum saat panas, tapi resikonya cepat habis. Biar gak cepat habis, ya diminumnya pelan-pelan. Tapi resikonya jadi keburu dingin..." J Ada juga kisah tentang seorang lelaki yang suka minum kopi hitam pahit. (aku lupa dari mana sumbernya). Dia sengaja melakukan itu. Dia tidak suka mencampurkan gula atau pemanis pada sesuatu yang memang sudah ditakdirkan untuk pahit. Mantap!
Masalah mau dinikmati dengan cara seperti apa itu tergantung masing-masing pribadi. Kita kan memiliki frame yang berbeda. Entah dinikmati dengan sekaleng biskuit ataupun roti. Atau...mau menikmati kopi hasil dari Pot Vakum (salah satu alat yang dapat digunakan untuk merebus biji kopi). Up to you. Yang penting kenikmatan kopi itu tetap terjaga. Tetap berasa pahit di lidah hingga meluncur lewati kerongkongan.*ET


Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kopi

Rabu, 18 Juni 2014

Ashmora Paria



Ashmora Paria (versi terbaru Garis Tepi Seorang Lesbian) karya Mbak Herlinatiens. Novel ini adalah novel pertamaku tentang gadis lesbian (entah bakal ada yang selanjutnya lagi atau gak). Ngeliat sampulnya aja aku udah kayak di sodok-sodok buat cepetan nyerobot novel itu dari raknya. Waktu itu untungnya lagi ada pesta buku murah di gramedia. Lumayanlah buat ajang nipisin dompet yang udah terlanjur tipis.

Di sini aku bukan mau ngasih sinopsis tentang novel ini. Sudah banyak soalnya yang ngasih sinopsis, search aja di mesin pencari Anda. Yang pasti novel ini menceritakan tentang sepasang kekasih bernama Ashmora Paria dan Rie Shiva Ashvagosha. Kisah cinta yang BENAR-BENAR TERLARANG! Aku akan lebih menjelaskan pada apa yang buat aku tertarik dengan kisah ini.

Dari desain sampul, ok. Dua siluet gadis berambut panjang dan sunset yang lagi-lagi buat aku klepek-klepek. Ditambah ranting-ranting pohon dan daun yang berguguran, oh, dramatis banget, (menurut aku, sih...). Ada juga bonus CD Soundtrack-nya. Nah, itu juga yang bikin aku kepincut. Maklum, demen sama yang berbonus, diskon, apa lagi gratis (hehe :D).

Ada tujuh lagu dalam CD itu. Yaitu; Seharga Dunia, Cerita Sang Malam, Sedih tak Bernama, Hari Bersamamu, Pertanda, Lamareta, dan Buatmu Kembali. Yang paling aku suka adalah Seharga Dunia. Begini nih liriknya:
           
            Kaulah yang seharga dunia, bagiku...
            Indahnya membeli hidupku
            Meski bila seluruh daun-daun
            Tulis hatiku sbagai debu
            Dan betapapun sluruh mata di dunia
            Menjadi buta karenanya
            Tak kan ada yang menyangkal
Hanya kau saja yang seharga dunia
Reff:     Tak tersangkal hatiku padamu      
            Meski langit runtuh dan menjadi debu hidupku...
            Bila musim mengganti hariku
            Smoga tak merubah putih di hatimu untukku...

Adem banget deh tuh lagu. Menurutku semua lagunya gak menjurus ke arah lesbi kok. Yang menyanyikan juga bukan sesama perempuan tapi sepasang laki-laki dan perempuan, yaitu Mohammad Syafi’i (Fi’i) dan Herlinatiens. Semuanya netral jadi jangan sungkan buat mendengarkan dan menyimpannya karena tetap bisa dinikmati bagi yang normal.

Ada juga kutipan kata-kata dari si tokoh Ashmora Paria yang aku suka banget, (mungkin karena ada hubungannya dengan kapal kali yaa.) “Buatku, lelaki tetap sama saja ibarat kapal. Mereka selalu asyik di samudra bebas. Mencari satu dermaga untuk menuju ke dermaga lain. Mereka akan menetap tinggal di satu dermaga bila telah rapuh. Ya. Jalan satu-satunya dibesituakan, bukan? Oh, kapal, mereka hilir mudik dari satu dermaga ke dermaga yang lain.” (coba tengok hal. 27-28). Ups, sorry buat para lelaki.

Satu kalimat lagi yang sering ditampilkan dalam novel ini, “Aku perempuan biasa yang terbiasa bisa.” Keren deh...

Sebenarnya tujuanku dari membaca novel ini adalah mengungkap rasa penasaranku tentang kehidupan para lesbian atau belok (sebutan lain para lesbian). Apa yang mereka rasakan dan bagaimana cara mereka menjalani dan menghadapinya. Dan ternyata... ckck, sedih banget ceritanya. Sakitnya itu lho...tertancap banget di hati. Bagai hunusan pedang es (jadi inget novel perahu kertas, sub bab: 6). Kalau udah baca novel ini baru tahu deh gimana perasaannya para lesbi yang biasa dikucilkan dengan perasaan yang “salah” menurut orang normal. Bagaimana terpuruknya mereka dengan rasa cinta itu. Mereka kan juga sebenarnya gak mau terjebak dengan rasa itu–posisi itu. Mereka jadi serba salah. Salut deh buat ketegaran Ashmora Paria. (y)

Dua jempol buat Herlinatiens yang udah mengemas novel ini dengan apik. Tersampaikan banget rasa SAKIT yang bener-bener sakit dan rasa CINTA yang benar-benar cinta... *ET

KADO DARI LAUTAN

Mama sedang sibuk bolak-balik menyiapkan makan malam di rumah sederhana itu. Makanannya juga sederhana, ada nasi, sambal, sayur asam dan yang mama hidangkan terakhir adalah ikan lure goreng.
“Nah, semua sudah siap, ayo makan.” Kata Mama.
 Semua anggota keluarga yang terdiri dari tujuh orang sudah siap duduk bersila di tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka semua melingkari makan malam mereka, bagaikan sedang melakukan ritual api unggun pada perkemahan. Dengan adil Mama memberikan satu sendok nasi ke setiap piring, sepucuk sendok sambal, dua sendok sayur asam, dan beberapa ekor ikan lure.
“Ma, kenapa setiap hari kita hanya makan ini? Semua warga disini adalah nelayan, Bapa juga nelayan. Tidak adakah ikan lajang, ikan bandeng, udang, cumi-cumi, kepiting, lobster...”
“Alif.!!” Mama menyela ucapan Alif. Baru kali ini Alif memprotes makanan yang disajikan Mamanya.
“Makan saja apa yang ada, jangan menuntut terlalu banyak, syukurilah.” Papa ikut berbicara. “Lihat adik-adikmu, mereka makan dengan lahap, kau juga makanlah.”
Alif melirik ke keempat adiknya. Perlahan ia mulai menyendokkan nasi ke mulut. Tangannya gemetar, ia sedang menahan air di pelupuk matanya. Entah mengapa dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa menutupi lagi keluh hatinya. Sungguh miris hatinya, ia adalah anak seorang nelayan, ia tinggal di pesisir pantai, dan ia tahu bahwa laut ini menyimpan kekayaan. Namun ia hidup dalam kemiskinan. Dan impian terbesarnya adalah bisa menikmati jenis ikan yang lain, bukan hanya ikan lure.
Bunyi hewan-hewan malam mulai terdengar. Alif dan Bapa sedang duduk berdua di beranda rumah yang menghadap langsung ke pantai. Suara ombak berpadu dengan hembusan angin, kolaborasi yang sangat merdu–lagu alam paling indah.
“Alif... berapa umurmu sekarang, nak?” Bapa berbicara dengan lembut, pandangannya tak lepas dari pantai.
“Dua hari lagi umur Alif empat belas tahun.” Alif juga terus memandang pantai.
“Kamu sudah semakin besar ya. Apa keinginanmu, Alif?”
“Alif ingin makan ikan yang lain, Bapa. Alif sangat ingin.” Mata Alif berkaca-kaca.
“Bapa tahu, kita semua juga ingin itu. Sekarang Bapa tanya Alif, bagaimana caranya kita bisa sampai di tengah lautan untuk mendapatkan ikan?”
“Tentu saja dengan perahu.”
“Nah, Bapa belum punya perahu sendiri. Bapa juga tidak bisa membeli ikan dari nelayan lainnya, harganya sangat mahal.”
“Lalu, kenapa Bapa tidak membeli perahu sendiri?”
“Harga sebuah perahu tidaklah murah, nak.”
Alif terdiam, tak tahu hendak berkata apa lagi. Bapa tahu, sudah lama Alif ingin mereka mempunyai perahu sendiri, tidak lagi harus menyewa perahu. Dengan perahu itu mereka bisa mencari ikan tanpa batas waktu dan Alif bisa juga menggunakannya untuk pergi ke sekolah yang letaknya ada di seberang pulau. Hening kembali menyerbu. Suara ombak dan hembusan angin kini kembali terdengar dengan jelas tanpa terhalang obrolan bapa dan Alif.
***
            Adzan subuh sudah terdengar dari tadi. Seperti biasa, suara merdu Pak Mahmud yang mendayu dari sebuah surau dengan lampu minyak yang menempel di dindingnya. Cahaya di langit belum terang betul. Namun, perahu kecil tanpa mesin mulai didorong menjauhi pantai. Enam orang anak berseragam SMP siap menaiki perahu itu.
            Beberapa kelompok anak juga mulai menyerbu pantai. Mereka menyiapkan perahu yang biasa mereka tumpangi. Setiap perahu biasanya dipenuhi oleh enam sampai tujuh anak dengan empat buah dayung yang siap mereka gunakan mengarungi lautan demi sekolah. Sekolah mereka ada di seberang pulau, oleh karenanya setiap selesai sholat subuh mereka mulai bersiap mendayung perahu kecil mereka.
            Enam anak dalam satu perahu kecil sangatlah tidak nyaman. Seharusnya setiap perahu hanya bisa ditumpangi oleh empat orang anak saja. Namun karena jumlah perahu yang terbatas, mereka terpaksa berdesak-desakan. Keseimbangan perahupun sering terganggu. Semua perahupun sudah tak layak pakai. Bocor di sana-sini dan kayu-kayunya mulai lapuk.
            Alif dan Eko–teman satu perahunya–sibuk menguras air yang masuk ke perahu melalui celah-celah kecil perahu yang bocor. Tangan-tangan kecil yang memegang potongan botol plastik bekas itu tak henti-hentinya bekerja agar perahu mereka tidak tenggelam karena air yang masuk.
            Sembari melakukan aktivitas itu, Alif juga sedang sibuk mengkhayal. Fikirannya melayang seolah waktu sedang berputar ke obrolan bersama Bapa semalam. Alif ingat bagaimana Bapa bercerita, jika dia ingin makan jenis ikan yang lain maka ia harus memiliki perahu sendiri agar bisa mencari ikan sepuasnya. Mendadak keinginan terbesar Alif–yang tadinya ingin makan jenis ikan yang lain–berubah menjadi ingin memiliki perahu sendiri. Alif tersentak kaget ketika Eko mengoyang-goyangkan bahunya.
            “Apa yang kau lamunkan Alif?”
            “Aku mengkhayal punya perahu, Ko. Dengan perahu itu aku bisa mendapatkan ikan yang banyak. Dan perahu itu juga akan aku pakai untuk ke sekolah. Kita tidak perlu berdesak-desakkan seperti ini lagi” Cerita Alif.
            “Memangnya Bapa kau punya uang, Alif? Harga perahu kan tidak seperti harga lure.” Kata Eko.
            “Bapa memang tidak punya uang. Kan tadi aku bilang, aku cuma mengkhayal saja. Sudahlah, ayo cepat dayung perahunya nanti kita terlambat.” Komando Alif dituruti semua teman-temannya.
***
            Jam dinding berbentuk kotak persegi dengan kaca retak itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Bapa belum pulang-pulang juga. Bapa tidak ada di rumah, entah ke mana tak ada yang tahu. Alif cemas menunggu kedatangan beliau. Berkali-kali ia mondar-mandir dari dalam ke beranda rumah. Tidak seperti biasanya Bapa seperti ini.
            Jarum jam terus berputar menunjukkan sekarang sudah tengah malam. Remang-remang dari arah laut tampak siluet Bapa berjalan terburu-buru menuju rumah.
            “Bapa dari mana?” sergap Alif duluan bahkan ketika Bapa belum sempat menginjak beranda rumah.
            “Alif? Kenapa keluar rumah? Harusnya kau sudah tertidur, ini sudah tengah malam. Pergilah tidur, nak. Besok kau harus bangun pagi-pagi, besok hari terindahmu kan? Semoga lautan memberikan kado untukmu.” Bapa melangkah masuk dan melepaskan topinya.
            Alif jadi teringat, besok adalah hari ulang tahunnya yang ke empat belas. Tapi apa maksud Bapa dengan ‘semoga lautan memberikan kado untukmu’? Alif tak ingin bertanya apa-apa lagi. Bapa terlihat sangat lelah. Akhirnya Alif memutuskan untuk tidur.
***
            Suara adzan terdengar lagi di hari yang baru ini. Warna jingga di langit mulai tampak dengan berani. Aktivitas di pantai mulai terlihat, para nelayan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
            Sepagi itulah Alif biasa bangun. Hari ini hari ulang tahunnya. Ia begitu semangat dan langsung menuju pantai. Bagaimanapun juga ia masih ingat ucapan Bapa semalam. Alif tak bisa bohong, dia memang penasaran apakah ada kado dari lautan yang diberikan untuknya? Kado semacam apakah itu?
            Langkah-langkah kakinya terlihat memburu. Dengan cepat ia sudah sampai di pantai. Disana terdapat sebuah perahu berukuran sama dengan perahu di pantai itu pada umumnya. Perahu itu baru pertama kalinya ia lihat dan masih tampak baru. Senyum Alif mengembang.
            “Kau suka, Alif? Selamat ulang tahun, nak” suara Bapa terdengar dari arah belakang Alif.
            “Perahu siapa itu Bapa?” tanya Alif tidak sabar.
            “Itu perahumu, perahu kita. Kado dari lautan.”
            “Benarkah?” tanya Alif tak percaya.
            “Tentu. Nah, sekarang mari kita mencobanya.” Ajak Bapa.
            “Tapi Bapa, kenapa perahunya dicat warna merah, putih dan biru? Kenapa bukan merah dan putih saja? Itu akan terlihat lebih nasionalisme.”
            “Sudahlah, yang penting ada merah putihnya, warna bendera Indonesia.”
            “Tidak bisa begitu! Warnanya merah, putih dan biru, itu bendera Belanda, Bapa!” protes Alif.
            “Hal kecil seperti itu jangan dipermasalahkan. Bersyukurlah kita sudah punya perahu. Mari kita berburu ikan.”

            Mendengar kata ‘ikan’ Alif segera luluh hatinya. Dan dengan bahagia Ayah dan Anak itu mendayung perahu mereka ke tengah lautan–berburu ikan. Ribuan ekor ikan telah menunggu mereka. Inilah... kado dari lautan.*ET