Jumat, 20 Maret 2015

Seperti Pluto

Kamu...
Seperti Pluto
Kecil... jauh... dan sering diperdebatan
Apakah kau termasuk planet atau bukan?
Begitulah kau,
antara ada dan tiada

Tapi aku percaya setidaknya kau pernah ada
Walau akhirnya kau dihilangkan,
Tapi tetap dikenang
Kamu si Pluto!

Jangan sembunyi, Pluto.
Jangan malu dan berkecil hati
Kau memang telah digugurkan dalam permainan
Dan aku yakin,
Aku akan sangat merindukanmu.

Dalam desiran darah ini,
Aku melantun harap
Aku ingin hijrah ke sana...
Sembunyi di balik tubuhmu
Mengendap dan melekat kuat padamu,
yang tak lagi dianggap.*ET


Manusia di Koridor

Memang...
Seketika kumerasa koridor itu begitu menyeramkan
Saat lalu lalang manusia,
Tak lagi meninggalkan bekas jejak apapun
Luka-luka yang tercurah di sana
Berlalu dihembus angin serabutan

Andai saja aku bisa menghalau
Kan kubiarkan undakan itu hanya untukmu
Hanya dilalui olehmu

Bertegur sapalah manusia
Di kala engkau saling berserempet bahu
Maka kau akan dapatkan seutas senyum
Dan janganlah kalian saling tak kenal
Padahal pori-pori terkecil di rongga dadamu pun tahu,
Kalian juga ingin bertaut*ET

Malam Rabu


Untuk kau... yang sedang duduk di seberang mejaku.

Malam ya tetap malam. Mau hujan, panas, dingin, berbintang, ada kau atau tidak, namanya tetap sama. Malam. Dan malam ini kau masih tetap sama. Kemeja kotak-kotak andalanmu yang selalu kau gulung lengannya. Jam tangan pemberianku masih lekat di pergelangan tangan kirimu. Jins yang masih itu-itu saja. Sepatu kets bertali putih dengan simpul pita yang tak kumengerti bagaimana kau membuatnya. Rambut tersisir rapi dengan polesan gel yang tampak licin. Semerbak parfum campuran aroma lime dan musk terbawa angin sepoi-sepoi. Rapi. Itu kesimpulanmu atas penampilanmu sendiri.

Ya, malam ini kita sedang dinner. Bukan, ini bukan malam Minggu. Ini malam Rabu. Salah satu hal yang masih tak kumengerti dari dirimu. Kau lebih memuliakan malam Rabu dari pada malam yang anak muda agungkan itu. Katamu, malam Rabu adalah malam terbaik yang Tuhan berikan padamu.

Aku suka menebak. Mungkin malam itu adalah malam kelahiranmu. Mungkin kau pernah mendapatkan hadiah besar di malam Rabu. Mungkin malam itu kau pernah menang lotre. Atau bahkan mungkin di malam itu kau pernah mengalami musibah terbesarmu, kecelakaan mungkin? Keluarga yang meninggal? Mungkin... ah, entahlah.

Jelas aku cemburu. Alasan apa sampai kau sangat berbahagia dengan malam Rabu? Yang pasti itu tidak ada kaitannya denganku. Malam resmi jadian kita? Tidak, itu malam Senin.

Oya, kau tak sadar bukan? Aku suka mengamatimu ketika makan. Dari dulu. Aku hafal bagaimana kau menata makanan di sendokmu. Bagaimana caramu mengunyah. Di saat-saat apa saja kau akan minum. Bagaimana caramu meneguk. Dan semua gerak-gerikmu di hadapan meja makan. Dan jujur, aku selalu jatuh cinta (lagi) di  saat kau sedang makan.
Malam ini menu di hadapan kita adalah spageti. Bumbu sausnya bercampur potongan jamur yang bentuknya mirip lumpur. Dua gelas es jeruk. Sepotong puding berhias buah ceri di samping piring spagetimu. Dan segulung es krim coklat sebesar bola kasti tertata cantik di samping piring spagetiku (kau ingatkan aku tak suka puding?).

Percakapan malam ini cukup ringan. Dimulai ketika kau menggulung spageti dengan garpu. Kau menanyakan kabar penyakit magku. Bagaimana selera makanku? Menanyakan hal-hal apa yang membuatku marah belakangan ini? Apakah aku mengganti sikat gigi? Siapa-siapa saja yang kutemui di jalan tadi? Pelayan mana di rumah makan ini yang tidak aku suka? Sampai pada, apakah Nobi (kucingku) tidak akan ganti nama selamanya? Semua sabar kujawab.

Setelah lama terdiam. Aku balas bertanya. Hanya satu pertanyaan. Apa kabar otak anehmu? Kau tergelak. Aku hanya diam. Memang tidak ada maksud buat stand up comedy di hadapanmu. Aku bertanya serius. Tapi, oke lah. Aku akhirnya tertawa juga. Dan pertanyaanku itu menguap bersama udara tanpa mendapat jawaban.

Kau memang aneh. Dan sekali lagi... aku jatuh cinta di suapan ke delapan spagetimu.

Dengan gerakan terburu, kau mendekat ke wajahku. Aku agak terkejut. Kau berbisik pelan. “Kau tahu kenapa aku suka malam Rabu?” aku menggeleng.

“Di malam Rabu, pertama kalinya aku tak sengaja melihatmu. Dan saat itu juga, diam-diam aku jatuh cinta padamu.”

Aku tak bisa menahan senyum. Rasa haru membuncah menguasai jiwaku. Meledak bersama semburan darah yang terpompa sembarangan oleh jantung. Dan aku tertawa keras sambil menjambak rambutmu.*ET

Minggu, 08 Maret 2015

Ketika Naskah Lenyap

Kali ini, ceritanya sesi curhat.

Ada sebuah kisah pada malam Senin tanggal 1 Maret 2015. Dimulai ketika alarm kerja (baca: menulis) berbunyi. Kubuka folder lock. Ya, file tulisan penting kuamankan dalam aplikasi itu. Jaga-jaga kalau ada yang curi atau baca tanpa izin. Mau lanjutkan menulis naskah novelku, ceritanya....

Tapi takdir berkata lain. Tiga file di dalamnya, HILANG!! Termasuk naskah novelku yang sudah setengah hidup saya susun dengan sepenuh jiwa raga, hidup mati, selama nyaris tiga bulan! Satu lagi kerangka kotor-kotornya dan yang satu adalah surat cinta untuk si... ehem!

Kenapa harus dengan tiga file yang itu? Kenapa?! Apa salahku Tuhan?!!

Panjang dongengnya kenapa tiga file itu bisa hilang. Yang pasti itu karena keteledoranku dan ketidaksadaranku. Keterkasihanan sekali ya saya? #efeknaskahhilang

Pasti yang ada di benak anda-anda... “Cari di recycle bin!” Tidak ada! Saya orang paling rajin bersihkan recycle bin. Terus cari ke mana? Ke tempat sampah depan lorong? Di got? Di tumpukkan pakaian kotor? Jangan ngaco! Tidak ada!

Awalnya saya merasa bingung, linglung, tulalit. Saya tidak menangis, saya tidak merasa nyesek seperti orang galau kebanyakan. Masih di depan laptop, yang saya lakukan hanya memijat-mijat kepala, menggosok-gosok muka, dan gigit jari.

Pertanyaan yang terlintas di kepala hanya berkisar antara... “apa yang terjadi?” “seriusan?” “Eh, kok bisa?” “ini ada apa ya?” “mana makanan? Woi!”
Shut down! Laptop kumatikan. Saya hanya rasa hampa, kosong. Setiap saya bergerak, tubuh terasa ringan. Melayang.

Dengan ekspresi orang linglung, saya berjalan keluar sendirian mencari swalayan terdekat. Biasanya saya itu paling anti keluar malam, sendirian, jalan kaki. Yang saya cari di saat-saat seperti ini adalah makanan. Coca cola itu pasti, plus beraneka snack (jangan tanya berapa banyak uang saya habiskan malam itu).

Perjalanan itu bagai berkilo-kilo meter jauhnya. Jalan terseok-seok dikena terpaan lampu-lampu kendaraan bermotor. Merasa bisa tumbang kapan saja. Saya seperti mayat hidup yang sedang berjalan. Tatapan mata yang kosong, tidak memperhatikan apa yang kupijak. Sewaktu-waktu bisa diserempet mobil. Jadi merasa drama.

Langkah selanjutnya adalah mencari tempat untuk menyendiri (pastinya bukan kamar karena saya malas lihat laptop). Saya duduk di pojokan barisan kamar depan, agak becek, gelap, di bawah tali jemuran, yang ada rimbunan dahan pohon jambu, banyak nyamuk.

Saya masih ingat betul bagaimana model dan gaya kelinglungan saya saat itu. Saya makan dan minum dengan rakus. Terkadang toast juga sama nyamuk. Saya tidak berpikir tentang apa yang barusan terjadi atau apa yang harus saya lakukan setelahnya. Saya hanya heran, kok saya tidak menangis? Kok perasaan saya biasa-biasa saja? Yang itu tadi seriusan, kan?

Menangis, dong, please...!! Tetap tidak bisa. Sekilas saya bangga. Saya adalah orang paling tegar yang pernah ada. Tapi kok rasanya malah aneh kalau tidak menangis? Kemudian saya putuskan untuk meninggalkan singgasanaku sejenak. Dengan berpesan pada salah satu tetangga untuk menjagakan tempat persembunyianku. Jaga-jaga jangan sampai ada yang minum dan makan snackku.

Saya pergi mencari air wudhu. Waktu itu hampir jam sepuluh malam dan saya memang belum sholat isya. Sewaktu menggelar sejadah, rasanya itu... entahlah. Dengan penuh kesungguhan kuucapkan niat. Khusyuk sekali. Di rakaat kedua dan ketiga mataku mulai terasa hangat. Di rakaat terakhir ada banyak titik-titik air jatuh membasahi mukena. Sujud terakhirku cukup banyak menghabiskan durasi. Sholat isya ini menjadi sholat isya terlama dan terkhusyuk selama hidupku.

Memang ya, manusia (saya maksudnya) akan mencari, mengadu, dan mengingat lebih dalam pada Tuhan jika sudah terpuruk. Ketika bahagia juga bersyukur, tapi ketika sedang jatuh, kita (baca: saya) jadi lebih punya banyak waktu dan kata yang ingin disampaikan pada Tuhan.

Dengan mata yang merah bengkak saya kembali ke singgasana. Minuman dan makanan saya masih aman. Dilanjutkan lagi bengong seperti sebelumnya. Makan dan minum jadi lebih rakus. Beberapa kali para tetangga menawarkan saya untuk masuk di kamarnya. Tapi saya hanya menggeleng. Mereka silih berganti keluar kamar hanya untuk mengajakku masuk. Sampai akhirnya tidak ada lagi yang keluar. Mereka pasrah dengan sendirinya.

Mereka sama sekali tidak tahu perihal mata bengkakku. Siapa yang bisa lihat di kegelapan, di pojok, di bawah tali jemuran? Saya duduk di situ sampai entah jam berapa. Kos sudah sunyi. Pintu gerbang sudah digembok. Sampai akhirnya ada yang memberi tawaran berbeda.

“Bi, makan yuk?”

“Ayuk!”

Saya makan – lagi. Harusnya berat badanku naik, ya?

Setelah itu saya kembali ke kamar. Dan di saat itu saya merasa... masuk angin.


Note: Apa yang akan anda lakukan jika menjadi saya?


Di keesokan harinya, berbagai kalimat-kalimat bijak keluar dari kepala melalui mulutku dan bersemayam di dalam benakku.*ET