Kali ini,
ceritanya sesi curhat.
Ada sebuah kisah
pada malam Senin tanggal 1 Maret 2015. Dimulai ketika alarm kerja (baca:
menulis) berbunyi. Kubuka folder lock. Ya, file tulisan penting kuamankan dalam
aplikasi itu. Jaga-jaga kalau ada yang curi atau baca tanpa izin. Mau lanjutkan
menulis naskah novelku, ceritanya....
Tapi takdir
berkata lain. Tiga file di dalamnya, HILANG!! Termasuk naskah novelku yang
sudah setengah hidup saya susun dengan sepenuh jiwa raga, hidup mati, selama
nyaris tiga bulan! Satu lagi kerangka kotor-kotornya dan yang satu adalah surat
cinta untuk si... ehem!
Kenapa harus
dengan tiga file yang itu? Kenapa?! Apa salahku Tuhan?!!
Panjang
dongengnya kenapa tiga file itu bisa hilang. Yang pasti itu karena
keteledoranku dan ketidaksadaranku. Keterkasihanan sekali ya saya?
#efeknaskahhilang
Pasti yang ada
di benak anda-anda... “Cari di recycle bin!”
Tidak ada! Saya orang paling rajin bersihkan recycle bin. Terus cari ke mana? Ke tempat sampah depan lorong? Di
got? Di tumpukkan pakaian kotor? Jangan ngaco!
Tidak ada!
Awalnya saya
merasa bingung, linglung, tulalit. Saya tidak menangis, saya tidak merasa nyesek seperti orang galau kebanyakan.
Masih di depan laptop, yang saya lakukan hanya memijat-mijat kepala,
menggosok-gosok muka, dan gigit jari.
Pertanyaan yang
terlintas di kepala hanya berkisar antara... “apa yang terjadi?” “seriusan?”
“Eh, kok bisa?” “ini ada apa ya?” “mana makanan? Woi!”
Shut down! Laptop
kumatikan. Saya hanya rasa hampa, kosong. Setiap saya bergerak, tubuh terasa
ringan. Melayang.
Dengan ekspresi
orang linglung, saya berjalan keluar sendirian mencari swalayan terdekat.
Biasanya saya itu paling anti keluar malam, sendirian, jalan kaki. Yang saya
cari di saat-saat seperti ini adalah makanan. Coca cola itu pasti, plus beraneka snack (jangan tanya berapa banyak uang saya habiskan malam itu).
Perjalanan itu
bagai berkilo-kilo meter jauhnya. Jalan terseok-seok dikena terpaan lampu-lampu
kendaraan bermotor. Merasa bisa tumbang kapan saja. Saya seperti mayat hidup
yang sedang berjalan. Tatapan mata yang kosong, tidak memperhatikan apa yang
kupijak. Sewaktu-waktu bisa diserempet mobil. Jadi merasa drama.
Langkah
selanjutnya adalah mencari tempat untuk menyendiri (pastinya bukan kamar karena
saya malas lihat laptop). Saya duduk di pojokan barisan kamar depan, agak becek,
gelap, di bawah tali jemuran, yang ada rimbunan dahan pohon jambu, banyak
nyamuk.
Saya masih ingat
betul bagaimana model dan gaya kelinglungan saya saat itu. Saya makan dan minum
dengan rakus. Terkadang toast juga
sama nyamuk. Saya tidak berpikir tentang apa yang barusan terjadi atau apa yang
harus saya lakukan setelahnya. Saya hanya heran, kok saya tidak menangis? Kok
perasaan saya biasa-biasa saja? Yang itu tadi seriusan, kan?
Menangis, dong, please...!! Tetap tidak bisa. Sekilas
saya bangga. Saya adalah orang paling tegar yang pernah ada. Tapi kok rasanya
malah aneh kalau tidak menangis? Kemudian saya putuskan untuk meninggalkan singgasanaku
sejenak. Dengan berpesan pada salah satu tetangga untuk menjagakan tempat
persembunyianku. Jaga-jaga jangan sampai ada yang minum dan makan snackku.
Saya pergi
mencari air wudhu. Waktu itu hampir jam sepuluh malam dan saya memang belum
sholat isya. Sewaktu menggelar sejadah, rasanya itu... entahlah. Dengan penuh
kesungguhan kuucapkan niat. Khusyuk sekali. Di rakaat kedua dan ketiga mataku
mulai terasa hangat. Di rakaat terakhir ada banyak titik-titik air jatuh
membasahi mukena. Sujud terakhirku cukup banyak menghabiskan durasi. Sholat
isya ini menjadi sholat isya terlama dan terkhusyuk selama hidupku.
Memang ya,
manusia (saya maksudnya) akan mencari, mengadu, dan mengingat lebih dalam pada
Tuhan jika sudah terpuruk. Ketika bahagia juga bersyukur, tapi ketika sedang
jatuh, kita (baca: saya) jadi lebih punya banyak waktu dan kata yang ingin
disampaikan pada Tuhan.
Dengan mata yang
merah bengkak saya kembali ke singgasana. Minuman dan makanan saya masih aman.
Dilanjutkan lagi bengong seperti sebelumnya. Makan dan minum jadi lebih rakus.
Beberapa kali para tetangga menawarkan saya untuk masuk di kamarnya. Tapi saya
hanya menggeleng. Mereka silih berganti keluar kamar hanya untuk mengajakku
masuk. Sampai akhirnya tidak ada lagi yang keluar. Mereka pasrah dengan
sendirinya.
Mereka sama
sekali tidak tahu perihal mata bengkakku. Siapa yang bisa lihat di kegelapan,
di pojok, di bawah tali jemuran? Saya duduk di situ sampai entah jam berapa.
Kos sudah sunyi. Pintu gerbang sudah digembok. Sampai akhirnya ada yang memberi
tawaran berbeda.
“Bi, makan yuk?”
“Ayuk!”
Saya makan –
lagi. Harusnya berat badanku naik, ya?
Setelah itu saya
kembali ke kamar. Dan di saat itu saya merasa... masuk angin.
Note: Apa yang
akan anda lakukan jika menjadi saya?
Di keesokan
harinya, berbagai kalimat-kalimat bijak keluar dari kepala melalui mulutku dan
bersemayam di dalam benakku.*ET