Minggu, 08 Maret 2015

Ketika Naskah Lenyap

Kali ini, ceritanya sesi curhat.

Ada sebuah kisah pada malam Senin tanggal 1 Maret 2015. Dimulai ketika alarm kerja (baca: menulis) berbunyi. Kubuka folder lock. Ya, file tulisan penting kuamankan dalam aplikasi itu. Jaga-jaga kalau ada yang curi atau baca tanpa izin. Mau lanjutkan menulis naskah novelku, ceritanya....

Tapi takdir berkata lain. Tiga file di dalamnya, HILANG!! Termasuk naskah novelku yang sudah setengah hidup saya susun dengan sepenuh jiwa raga, hidup mati, selama nyaris tiga bulan! Satu lagi kerangka kotor-kotornya dan yang satu adalah surat cinta untuk si... ehem!

Kenapa harus dengan tiga file yang itu? Kenapa?! Apa salahku Tuhan?!!

Panjang dongengnya kenapa tiga file itu bisa hilang. Yang pasti itu karena keteledoranku dan ketidaksadaranku. Keterkasihanan sekali ya saya? #efeknaskahhilang

Pasti yang ada di benak anda-anda... “Cari di recycle bin!” Tidak ada! Saya orang paling rajin bersihkan recycle bin. Terus cari ke mana? Ke tempat sampah depan lorong? Di got? Di tumpukkan pakaian kotor? Jangan ngaco! Tidak ada!

Awalnya saya merasa bingung, linglung, tulalit. Saya tidak menangis, saya tidak merasa nyesek seperti orang galau kebanyakan. Masih di depan laptop, yang saya lakukan hanya memijat-mijat kepala, menggosok-gosok muka, dan gigit jari.

Pertanyaan yang terlintas di kepala hanya berkisar antara... “apa yang terjadi?” “seriusan?” “Eh, kok bisa?” “ini ada apa ya?” “mana makanan? Woi!”
Shut down! Laptop kumatikan. Saya hanya rasa hampa, kosong. Setiap saya bergerak, tubuh terasa ringan. Melayang.

Dengan ekspresi orang linglung, saya berjalan keluar sendirian mencari swalayan terdekat. Biasanya saya itu paling anti keluar malam, sendirian, jalan kaki. Yang saya cari di saat-saat seperti ini adalah makanan. Coca cola itu pasti, plus beraneka snack (jangan tanya berapa banyak uang saya habiskan malam itu).

Perjalanan itu bagai berkilo-kilo meter jauhnya. Jalan terseok-seok dikena terpaan lampu-lampu kendaraan bermotor. Merasa bisa tumbang kapan saja. Saya seperti mayat hidup yang sedang berjalan. Tatapan mata yang kosong, tidak memperhatikan apa yang kupijak. Sewaktu-waktu bisa diserempet mobil. Jadi merasa drama.

Langkah selanjutnya adalah mencari tempat untuk menyendiri (pastinya bukan kamar karena saya malas lihat laptop). Saya duduk di pojokan barisan kamar depan, agak becek, gelap, di bawah tali jemuran, yang ada rimbunan dahan pohon jambu, banyak nyamuk.

Saya masih ingat betul bagaimana model dan gaya kelinglungan saya saat itu. Saya makan dan minum dengan rakus. Terkadang toast juga sama nyamuk. Saya tidak berpikir tentang apa yang barusan terjadi atau apa yang harus saya lakukan setelahnya. Saya hanya heran, kok saya tidak menangis? Kok perasaan saya biasa-biasa saja? Yang itu tadi seriusan, kan?

Menangis, dong, please...!! Tetap tidak bisa. Sekilas saya bangga. Saya adalah orang paling tegar yang pernah ada. Tapi kok rasanya malah aneh kalau tidak menangis? Kemudian saya putuskan untuk meninggalkan singgasanaku sejenak. Dengan berpesan pada salah satu tetangga untuk menjagakan tempat persembunyianku. Jaga-jaga jangan sampai ada yang minum dan makan snackku.

Saya pergi mencari air wudhu. Waktu itu hampir jam sepuluh malam dan saya memang belum sholat isya. Sewaktu menggelar sejadah, rasanya itu... entahlah. Dengan penuh kesungguhan kuucapkan niat. Khusyuk sekali. Di rakaat kedua dan ketiga mataku mulai terasa hangat. Di rakaat terakhir ada banyak titik-titik air jatuh membasahi mukena. Sujud terakhirku cukup banyak menghabiskan durasi. Sholat isya ini menjadi sholat isya terlama dan terkhusyuk selama hidupku.

Memang ya, manusia (saya maksudnya) akan mencari, mengadu, dan mengingat lebih dalam pada Tuhan jika sudah terpuruk. Ketika bahagia juga bersyukur, tapi ketika sedang jatuh, kita (baca: saya) jadi lebih punya banyak waktu dan kata yang ingin disampaikan pada Tuhan.

Dengan mata yang merah bengkak saya kembali ke singgasana. Minuman dan makanan saya masih aman. Dilanjutkan lagi bengong seperti sebelumnya. Makan dan minum jadi lebih rakus. Beberapa kali para tetangga menawarkan saya untuk masuk di kamarnya. Tapi saya hanya menggeleng. Mereka silih berganti keluar kamar hanya untuk mengajakku masuk. Sampai akhirnya tidak ada lagi yang keluar. Mereka pasrah dengan sendirinya.

Mereka sama sekali tidak tahu perihal mata bengkakku. Siapa yang bisa lihat di kegelapan, di pojok, di bawah tali jemuran? Saya duduk di situ sampai entah jam berapa. Kos sudah sunyi. Pintu gerbang sudah digembok. Sampai akhirnya ada yang memberi tawaran berbeda.

“Bi, makan yuk?”

“Ayuk!”

Saya makan – lagi. Harusnya berat badanku naik, ya?

Setelah itu saya kembali ke kamar. Dan di saat itu saya merasa... masuk angin.


Note: Apa yang akan anda lakukan jika menjadi saya?


Di keesokan harinya, berbagai kalimat-kalimat bijak keluar dari kepala melalui mulutku dan bersemayam di dalam benakku.*ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar