Jumat, 20 Maret 2015

Malam Rabu


Untuk kau... yang sedang duduk di seberang mejaku.

Malam ya tetap malam. Mau hujan, panas, dingin, berbintang, ada kau atau tidak, namanya tetap sama. Malam. Dan malam ini kau masih tetap sama. Kemeja kotak-kotak andalanmu yang selalu kau gulung lengannya. Jam tangan pemberianku masih lekat di pergelangan tangan kirimu. Jins yang masih itu-itu saja. Sepatu kets bertali putih dengan simpul pita yang tak kumengerti bagaimana kau membuatnya. Rambut tersisir rapi dengan polesan gel yang tampak licin. Semerbak parfum campuran aroma lime dan musk terbawa angin sepoi-sepoi. Rapi. Itu kesimpulanmu atas penampilanmu sendiri.

Ya, malam ini kita sedang dinner. Bukan, ini bukan malam Minggu. Ini malam Rabu. Salah satu hal yang masih tak kumengerti dari dirimu. Kau lebih memuliakan malam Rabu dari pada malam yang anak muda agungkan itu. Katamu, malam Rabu adalah malam terbaik yang Tuhan berikan padamu.

Aku suka menebak. Mungkin malam itu adalah malam kelahiranmu. Mungkin kau pernah mendapatkan hadiah besar di malam Rabu. Mungkin malam itu kau pernah menang lotre. Atau bahkan mungkin di malam itu kau pernah mengalami musibah terbesarmu, kecelakaan mungkin? Keluarga yang meninggal? Mungkin... ah, entahlah.

Jelas aku cemburu. Alasan apa sampai kau sangat berbahagia dengan malam Rabu? Yang pasti itu tidak ada kaitannya denganku. Malam resmi jadian kita? Tidak, itu malam Senin.

Oya, kau tak sadar bukan? Aku suka mengamatimu ketika makan. Dari dulu. Aku hafal bagaimana kau menata makanan di sendokmu. Bagaimana caramu mengunyah. Di saat-saat apa saja kau akan minum. Bagaimana caramu meneguk. Dan semua gerak-gerikmu di hadapan meja makan. Dan jujur, aku selalu jatuh cinta (lagi) di  saat kau sedang makan.
Malam ini menu di hadapan kita adalah spageti. Bumbu sausnya bercampur potongan jamur yang bentuknya mirip lumpur. Dua gelas es jeruk. Sepotong puding berhias buah ceri di samping piring spagetimu. Dan segulung es krim coklat sebesar bola kasti tertata cantik di samping piring spagetiku (kau ingatkan aku tak suka puding?).

Percakapan malam ini cukup ringan. Dimulai ketika kau menggulung spageti dengan garpu. Kau menanyakan kabar penyakit magku. Bagaimana selera makanku? Menanyakan hal-hal apa yang membuatku marah belakangan ini? Apakah aku mengganti sikat gigi? Siapa-siapa saja yang kutemui di jalan tadi? Pelayan mana di rumah makan ini yang tidak aku suka? Sampai pada, apakah Nobi (kucingku) tidak akan ganti nama selamanya? Semua sabar kujawab.

Setelah lama terdiam. Aku balas bertanya. Hanya satu pertanyaan. Apa kabar otak anehmu? Kau tergelak. Aku hanya diam. Memang tidak ada maksud buat stand up comedy di hadapanmu. Aku bertanya serius. Tapi, oke lah. Aku akhirnya tertawa juga. Dan pertanyaanku itu menguap bersama udara tanpa mendapat jawaban.

Kau memang aneh. Dan sekali lagi... aku jatuh cinta di suapan ke delapan spagetimu.

Dengan gerakan terburu, kau mendekat ke wajahku. Aku agak terkejut. Kau berbisik pelan. “Kau tahu kenapa aku suka malam Rabu?” aku menggeleng.

“Di malam Rabu, pertama kalinya aku tak sengaja melihatmu. Dan saat itu juga, diam-diam aku jatuh cinta padamu.”

Aku tak bisa menahan senyum. Rasa haru membuncah menguasai jiwaku. Meledak bersama semburan darah yang terpompa sembarangan oleh jantung. Dan aku tertawa keras sambil menjambak rambutmu.*ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar