Minggu, 31 Mei 2015

Jarak dan Komunikasi





Hai...

Yang akan saya bahas kali ini adalah tentang jarak dan komunikasi, jarak tanpa komunikasi, serta komunikasi tanpa jarak. Ah, apa coba?

Memang tulisan kali ini akan lebih membahas tentang LDRan. Ya, saya lagi ngejalanin LDR sama someone special. E, cieee...

Saya persembahkan tulisan ini untuk sahabat terbaik dan terawetku (tinggal kasih medali aja, nih). Namanya Wa Ode Titi Ismawati. Panggilannya simple, Wati. Jadi inget pelajaran bahasa Indonesia waktu SD kan? haha.

Saya lagi LDRan sama dia. Sudah hampir dua tahunan tepatnya. Jangan tanya masalah jarak. Saya tinggal di depan kampus UHO dan dia di Lepo-Lepo. Saya di Fisip, dia di Fkip. Kalau anda bertanya, 'begitu doang disebut LDR?'.

Ya, memang benar. 'Alasannya?' karena kita jarang berkomunikasi, baik itu face to face maupun lewat sms, telphone, dan media sosial. 'Alasannya?' entahlah... mungkin kita sibuk dengan urusan masing-masing. Lihat saja kan? Di zaman maraknya selfie, kita bahkan belum pernah berfoto bersama selama kuliah. Untuk foto di atas itu saja saya harus bekerja sama dengan aplikasi photo grid. Hehe.

Terakhir kali saya ketemu dia kalau gak salah pertengahan April. Dia menelephone dengan sok-sok nanya "lagi di mana?" Padahal dia sudah stay di depan pintu kamar.

Senang sekali rasanya dia datang tiba-tiba. Seperti adegan ketika kekasih memberi surprise di hari ultah dengan membawa kue bertancapkan lilin dan diiringi lagu happy birthday khas suaranya yang fals.

Ada dua pembahasan utama di hari itu dengan waktu yang sangat singkat juga. Pertama, tentang kupon bazarnya. Ya, kita bertemu karena kupon bazar. Sama yang pernah saya lakukan padanya dulu. Intinya saya harus beli kupon itu. Haha. Terima kasih kupon bazar, berkatmu kami dipertemukan kembali.

Yang kedua adalah membahas perubahan-perubahan kami. Kita menjadi dua wanita yang saling bertukar penampilan. Dia yang dulu berpenampilan 'balaki' (tomboi) sekarang ke kampus harus pakai rok, kaos kaki, sepatu balet, dan baju yang tentunya wanita abieszt.. (alay dikit).

Sedangkan saya yang dulu penuh kelemah lembutan, femininisme, sekarang ke kampus harus pakai celana, anti pakai rok. Berpadu dengan kemeja, tas ransel dan sepatu kets.

Tapi kalau ditanya apakah kita nyaman? Tentu! kita bagai menemukan jati diri yang selama ini dicari-cari. Kita sama-sama sudah merasa nyaman dengan penampilan sekarang.

Sejak pertemuan hari itu, hari Sabtu 30 Mei kemarin kami baru saling menghubungi lagi, lewat chat Facebook. Ckckck....


LDR itu sebenarnya bukan masalah jarak, tapi komunikasi. Sedekat apapun jarak itu kalau tetap tak ada kabar, tentu jauh kan rasanya? Sedangkan yang jaraknya jauh tapi kalau mereka memanfaatkan dengan maksimal berbagai media modern ini, tentu rasanya dekat kan?

Intinya adalah kami memang jarang berkomunikasi. Tapi tanpa perlu diikrarkan dan diingatkan berulang-ulang, kami adalah SAHABAT tanpa perlu dipertanyakan kadarnya, apakah berkurang atau bertambah.*ET

Sabtu, 30 Mei 2015

Janji yang Tertunaikan





Jum’at kemarin – tepatnya tanggal 29 Mei 2015 – satu janji lagi telah tertunaikan. Janji yang saya buat dengan asal ceplos (tapi sungguh-sungguh berniat) sejak bulan Februari lalu. Tepatnya di hari Ulang Tahunku. Teman-teman menuntut untuk membuat sebuah perayaan. Dengan jurus andalanku, saya menjanjikan akan memasak nasi goreng (hanya ini keahlianku) untuk semua anak TupTup (sekedar memberikan janji untuk membungkam mereka agar tak banyak permintaan lagi). Tanda tanya besar menggantung, kapan tepatnya acara itu akan dilaksanakan? Kapan janji itu dilunasi?

Merasa belum ada waktu yang cocok, berkali-kali saya menunda. Berbagai alasan kusemburkan pada teman-teman yang getol menagih janji. Di bulan ini lah saya baru bisa menepatinya. Lama ya jaraknya? Tak apa, setidaknya bisa terlaksana, Alhamdulillah...

Setelah selesai mata kuliah Produksi Media Humas, saya dan beberapa member girlband TupTup berencana langsung cuus... ke kosku. Saya sampai harus rela sambil menelan ludah untuk mengatakan ‘tidak’ atas tawaran seorang teman untuk ngopi di kantin.

Pekerjaan besar menyapa. Mencuci piring, menyiapkan bumbu, iris mengiris, menggoreng kerupuk, tempe dan telur. Lalu lanjut yang paling utama: NASI GORENG. Untungnya bukan hanya saya yang bisa memasak, member lain mulai mengeluarkan bakat memasaknya. Akhirnya masak berombongan ini selesai. Tepat setelah sholat Jum’at usai, member boyband TupTup berdatangan – walau ada saja yang terlambat jauh.

Semua rasa lelah memudar bersama tawa yang mendominasi di setiap kegiatan mengunyah. Seru sekali. Saya rindu masa-masa ini, batinku. Tak bisa kutebak, kapan terakhir kali kita berkumpul di kamarku yang berukuran kurang-lebih 3x4 ini. Mereka dengan suka rela duduk berdesakan, berjejalan mengambil posisi dekat kipas angin, baring dengan badan yang tertekuk-tekuk sambil berebutan bantal ataupun kaki untuk alas kepala, sabar menghirupi bau kaus kaki dan keringat. Ini semua demi sebuah... kebersamaan nasi goreng!

Makan dengan lahap telah selesai. Piring kotor ditumpuk dan disingkirkan – semua enggan mencuci. Kami kekenyangan. Kembalilah ke posisi semula, ada yang saling sandar menyandar, baring sambil berdesakan dalam satu bantal, ada pula yang sibuk memperebutkan cas hp.

Sebuah ide brilian nan unik muncul di saat-saat itu. Silo yang memprakarsainya. Dia yang tadinya berbaring langsung duduk tegak. Ia hendak mendongengkan kami semua dengan bahasa Tolaki. Saya – dan tentunya kita semua – menyambut dengan semangat ide itu. Tapi kita perlu penterjemah, kita di sini multi suku, hanya beberapa saja yang tahu bahasa Tolaki.

Jadilah Ita sebagai translator kita ke dalam bahasa Indonesia. Dilanjutkan dengan tawaran Yoel untuk kembali menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Tak mau kalah, saya menawarkan bahasa Jawa! Yang tadinya saya berniat menjadi pendengar sekaligus sebagai orang yang didongengkan, malah ingin ikut terlibat. Lengkap sudah. Dongeng dimulai dari Silo sebagai pemegang kunci jalan cerita. Kami para penerjemah hanya mengikuti.

Sambil tunggu giliran, saya jadi mikir, ini sebenarnya mau dongengin siapa sih? Nah, yang tadi niatnya mau tidur malah tergelak-gelak ketawa. Hancur-hancuran bahasa yang kami lontarkan, ada saja salahnya. Pengamatanku hanya Yoel yang lurus-lurus saja. Selebihnya, Saya, Silo dan Ita adalah yang paling banyak salah. Sebenarnya saya tidak begitu menguasai bahasa Jawa (karena lama tidak bercakap), tapi untungnya tidak ada satu pun di antara mereka yang paham betul dengan bahasa Jawa, jadi saya PD-PD saja mengucapkan walau sebenarnya saya tahu, ada kata lain yang lebih tepat dari pada apa yang saya ucapkan. Hihihi...

Kebanyakan juga kita tidak fokus dengan kalimat baru apa yang diucapkan, alhasil kelabakan berkata-kata ketika tiba giliran. Ujung-ujungnya baru tahu bahwa dongeng tentang ‘monyet dan buaya’ yang berasal dari Silo adalah murni hasil karangan otaknya. Dan cerita itu tidak ber-ending karena dia tidak tahu melanjutkan bagaimana lagi. Jadilah kita mengambil topik dongeng tentang film 3 Hati (film pendek pertama produksi TupTup). Cerita itu berhasil kami tuntaskan hingga ending. Saya tertawa sampai terbatuk-batuk.

Tak habis akal, keseruan berikutnya datang dari Trio Gondrong. Siapa lagi kalau bukan Putra, Silo dan Aca? Dengan struktur dan tekstur rambut yang berbeda (apaaa coba?) mereka tetap sama-sama spesies gondrong. Lihat deh fotonya!


Saya merasa mereka adalah makhluk dari Planet Pluto. Saking jauh dan kecilnya, apalagi sekarang sudah tidak dianggap sebagai planet, mereka hijrah ke bumi, dan begitulah wujudnya. Awalnya saya duga mereka nyungsep ke bumi dengan bentuk Alien yang meninggalkan jejak crop circle sembarangan. Tapi trio ini tetap temanku yang hebat di bidangnya masing-masing. Yang kiri ‘bassis metal’, yang tengah ‘sutradara abal-abal’, yang kanan ‘Rangers Corel’. Saya patut berbangga!

Detik-detik kepulangan para member TupTup, ada beberapa yang berurusan dengan mading. Silo menancapkan kartu mahasiswanya di mading (sebenarnya tujuannya itu menambah koleksi foto kawan-kawan dengan gaya foto KTP, tapi karena tidak ada, jadilah kartu mahasiswa yang terpampang). Putra juga menuliskan kutipan di mading. Disusul Silo dan Pute. Begini tulisannya:

“Berseru seperti Nabi, kelakuannya seperti Anjing.” – Putra.

“I’m young and I’m free.” – Silo.

“Always be positive thingking!” – Pute.

Ah, bijak sekali teman-temanku ini.

Selesai sudah. Mereka berdiri, mengemasi barang-barang, melangkahkan kaki, keluar satu per satu lewat pintu kamar, memakai sepatu, menyalakan mesin motor, lalu melambai (bilang ‘pulang’ saja susah!).

Mereka sudah lenyap dari pandangan. Saya menghirup dan menghembuskan napas lebih dalam dan lama sambil melihat ke sekitar kamar. Bukan masalah bagaimana tragis penampakannya, tapi rasa sunyi yang tiba-tiba menyergap. Bukan masalah tak suka sunyi, saya ‘pemuja’ sunyi. Tapi ini tentang mengenang betapa lamanya kamar ini tak pernah sehiruk pikuk tadi. Baru saja beberapa menit yang lalu, kamar ini berhenti menjadi area teriakan, gelak tawa, dan racauan yang menggemparkan kamar tetangga.

Bagaimana wahai para tetanggaku, tidakkah engkau rindu dengan suara berisik di kamarku??*ET

Minggu, 24 Mei 2015

Yang Menyapa Pagi-Pagi


Ini adalah objek pertama yang saya lihat ketika pertama kali mata terbuka bangun tidur. Itu adalah penampakan layar TV. Satu-satunya sumber penerangan di kamar. Lampu mati bukan karena listrik mati. Tapi saya yang menghendakinya.

Kebiasaan tidurku adalah mematikan lampu, menyalakan televisi. Fungsinya ada dua, pertama sebagai alat penerang, karena kalau gelap gulita juga terkadang suka parno, imajinasi liar. Kedua, suara televisi bagaikan dongeng sebelum tidur, walaupun sunyi senyap di luar kamar, kamarku tetap berisik. Suara televisi seolah jelmaan makhluk bernyawa yang terus mengobrol hingga pagi. Menjadi temanku, membuatku seolah-olah tidak sendirian di kamar.

Fungsi bonusnya adalah sebagai penambah pengetahuanku. Sebelum tidur, saat lampu mati dan tv menyala, saya selalu stay di channel Metro. Satu-satunya channel di televisiku yang isinya bermerek. Itung-itung biar saya pintar juga, tahu banyak hal. Saya tidak mau channel lain, saya kan mau mendengarkan yang berkualitas saat hendak dan bangun tidur.

Tujuan televisi dinyalakan bukan untuk ditonton, melainkan untuk dua fungsi tadi. Sambil memejamkan mata, saya suka mendengarkan topik yang dibahas. Kalau saya tertarik, saya akan terjaga sebentar untuk menonton hingga tak sadarkan diri.

Sering kali saya hanya tahu topik apa yang dibahas. Berita apa yang dikabarkan. Tanpa tahu bagaimana jalan ceritanya. Terkadang hanya sepotong. Tapi lumayanlah...

Bangun pagi, telingaku disambut dengan kalimat-kalimat berita pagi. Mataku mengerjap silau ke arah televisi. Biasanya saya langsung memfokuskan mata melihat ke sudut kiri bawah layar TV. Di metro selalu menampilkan jam, saya tinggal menyesuaikan dari WIB ke WITA. Bayangkan saja, pagi-pagi dengan muka kucel, saya disambut sama presenter metro yang sudah cantik dan cakep itu. Kalau ada waktu dan lagi ingin, saya menyimak berita yang dikabarkan. Saya sudah mengunyah beberapa berita pagi-pagi, menu sarapanku. Tapi itu tidak setiap hari. Sering kali juga saya gak up to date.

Itulah ceritaku di Minggu pagi ini.*ET