Kamis, 26 Juni 2014

Black Coffee


Bicara tentang Kopi. Berarti bicara tentang cita rasanya yang pahit. Kalau ingat kopi jadi pengen ke Venesia, kota perdagangan kopi di era awal masuknya kopi di Eropa. Atau ke Kafe Royal, salah satu kedai kopi pertama di London. Pengen juga menikmati kopi Nescafe, yang dikomersialkan pertama kali pada tahun 1938 di Swiss (jujur, pengen banget nyoba).
Kopi hitam, why not?
Kopi hitam. Kopi paling original yang pernah ada. Toh dari sononya yang namanya kopi itu memang berwarna hitam. Tanpa campuran susu, coklat, karamel, mocca, de el el.
Pernah ada temen yang protes. Di suatu malam pertengahan bulan April lalu, kita pergi ke kedai kopi bareng-bareng. Di sana hanya aku perempuan bersama lima orang temen cowok. Tentu di sana hanya aku yang paling cantik, dong (hehe). Dari berbagai sajian minuman kopi, aku memesan kopi hitam. Kalimat-kalimat protes dari para cowok itu mulai menerpaku silih berganti.
Tampaknya mereka agak terkejut dengan apa yang aku pesan. Jarang lho ada cewek suka minum kopi hitam, mungkin itu yang mereka pikirkan. Bahkan kata mereka, aku ini seperti bapak-bapak, seperti orang tua. Nah lho, emang salah? Emang kopi diciptain cuma buat kaum lelaki, bapak-bapak, dan orang tua? Yah, mungkin memang kopi identik seperti itu. Tapi gak ada larangan tertulis kan buat para kaum hawa? Untung aja aku gak pesan kopi hitam+pahit. Bisa-bisa aku disuruh pulang, hehe.
Banyak komentar dari para lelaki seperti tetangga, saudara, teman dan yang sok kenal, ngucapin: “kerenn...cewek suka kopi!” sambil ngacungin dua jempol (y) (y) perasaan biasa aja tuh :p menurutku ini bukan karena hasil gendernisasi lho!
Cara menikmati
Waktu itu aku sedang menyeduh kopi Tora Bika di kamar kostku. Aroma kopi semerbak ke mana-mana. Seorang tetangga yang lewat sambil nyeletuk. “Kenapa ko harus seduh kopi dengan air panas? Toh, nanti ko akan minum kalau sudah dingin.” Kata-kata yang cukup singkat. Seperti angin lalu. Yang berkata itu tadi juga seperti hanya asal nyeplos. Dia langsung pergi (memang niatnya cuma lewat).
Tapi perkataan itu tadi membuat aku termenung cukup lama. Aku memandangi asap yang meliuk anggun dari cangkir itu. Aku memang suka meminum kopi ketika nyaris dingin atau benar-benar sudah dingin. Aku tidak pernah sengaja melakukan itu, semua terjadi begitu saja. Cara menikmati kopi setiap orang tentu berbeda-beda. Menurutku mungkin kopi dan minuman panas lainnya (seperti teh) sengaja diseduh dengan air panas agar aromanya bisa keluar dan rasanya lebih nikmat.
Ada nih kutipan dari film Milli dan Nathan "Cinta itu seperti KOPI panas... paling enak diminum saat panas, tapi resikonya cepat habis. Biar gak cepat habis, ya diminumnya pelan-pelan. Tapi resikonya jadi keburu dingin..." J Ada juga kisah tentang seorang lelaki yang suka minum kopi hitam pahit. (aku lupa dari mana sumbernya). Dia sengaja melakukan itu. Dia tidak suka mencampurkan gula atau pemanis pada sesuatu yang memang sudah ditakdirkan untuk pahit. Mantap!
Masalah mau dinikmati dengan cara seperti apa itu tergantung masing-masing pribadi. Kita kan memiliki frame yang berbeda. Entah dinikmati dengan sekaleng biskuit ataupun roti. Atau...mau menikmati kopi hasil dari Pot Vakum (salah satu alat yang dapat digunakan untuk merebus biji kopi). Up to you. Yang penting kenikmatan kopi itu tetap terjaga. Tetap berasa pahit di lidah hingga meluncur lewati kerongkongan.*ET


Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kopi

Rabu, 18 Juni 2014

Ashmora Paria



Ashmora Paria (versi terbaru Garis Tepi Seorang Lesbian) karya Mbak Herlinatiens. Novel ini adalah novel pertamaku tentang gadis lesbian (entah bakal ada yang selanjutnya lagi atau gak). Ngeliat sampulnya aja aku udah kayak di sodok-sodok buat cepetan nyerobot novel itu dari raknya. Waktu itu untungnya lagi ada pesta buku murah di gramedia. Lumayanlah buat ajang nipisin dompet yang udah terlanjur tipis.

Di sini aku bukan mau ngasih sinopsis tentang novel ini. Sudah banyak soalnya yang ngasih sinopsis, search aja di mesin pencari Anda. Yang pasti novel ini menceritakan tentang sepasang kekasih bernama Ashmora Paria dan Rie Shiva Ashvagosha. Kisah cinta yang BENAR-BENAR TERLARANG! Aku akan lebih menjelaskan pada apa yang buat aku tertarik dengan kisah ini.

Dari desain sampul, ok. Dua siluet gadis berambut panjang dan sunset yang lagi-lagi buat aku klepek-klepek. Ditambah ranting-ranting pohon dan daun yang berguguran, oh, dramatis banget, (menurut aku, sih...). Ada juga bonus CD Soundtrack-nya. Nah, itu juga yang bikin aku kepincut. Maklum, demen sama yang berbonus, diskon, apa lagi gratis (hehe :D).

Ada tujuh lagu dalam CD itu. Yaitu; Seharga Dunia, Cerita Sang Malam, Sedih tak Bernama, Hari Bersamamu, Pertanda, Lamareta, dan Buatmu Kembali. Yang paling aku suka adalah Seharga Dunia. Begini nih liriknya:
           
            Kaulah yang seharga dunia, bagiku...
            Indahnya membeli hidupku
            Meski bila seluruh daun-daun
            Tulis hatiku sbagai debu
            Dan betapapun sluruh mata di dunia
            Menjadi buta karenanya
            Tak kan ada yang menyangkal
Hanya kau saja yang seharga dunia
Reff:     Tak tersangkal hatiku padamu      
            Meski langit runtuh dan menjadi debu hidupku...
            Bila musim mengganti hariku
            Smoga tak merubah putih di hatimu untukku...

Adem banget deh tuh lagu. Menurutku semua lagunya gak menjurus ke arah lesbi kok. Yang menyanyikan juga bukan sesama perempuan tapi sepasang laki-laki dan perempuan, yaitu Mohammad Syafi’i (Fi’i) dan Herlinatiens. Semuanya netral jadi jangan sungkan buat mendengarkan dan menyimpannya karena tetap bisa dinikmati bagi yang normal.

Ada juga kutipan kata-kata dari si tokoh Ashmora Paria yang aku suka banget, (mungkin karena ada hubungannya dengan kapal kali yaa.) “Buatku, lelaki tetap sama saja ibarat kapal. Mereka selalu asyik di samudra bebas. Mencari satu dermaga untuk menuju ke dermaga lain. Mereka akan menetap tinggal di satu dermaga bila telah rapuh. Ya. Jalan satu-satunya dibesituakan, bukan? Oh, kapal, mereka hilir mudik dari satu dermaga ke dermaga yang lain.” (coba tengok hal. 27-28). Ups, sorry buat para lelaki.

Satu kalimat lagi yang sering ditampilkan dalam novel ini, “Aku perempuan biasa yang terbiasa bisa.” Keren deh...

Sebenarnya tujuanku dari membaca novel ini adalah mengungkap rasa penasaranku tentang kehidupan para lesbian atau belok (sebutan lain para lesbian). Apa yang mereka rasakan dan bagaimana cara mereka menjalani dan menghadapinya. Dan ternyata... ckck, sedih banget ceritanya. Sakitnya itu lho...tertancap banget di hati. Bagai hunusan pedang es (jadi inget novel perahu kertas, sub bab: 6). Kalau udah baca novel ini baru tahu deh gimana perasaannya para lesbi yang biasa dikucilkan dengan perasaan yang “salah” menurut orang normal. Bagaimana terpuruknya mereka dengan rasa cinta itu. Mereka kan juga sebenarnya gak mau terjebak dengan rasa itu–posisi itu. Mereka jadi serba salah. Salut deh buat ketegaran Ashmora Paria. (y)

Dua jempol buat Herlinatiens yang udah mengemas novel ini dengan apik. Tersampaikan banget rasa SAKIT yang bener-bener sakit dan rasa CINTA yang benar-benar cinta... *ET

KADO DARI LAUTAN

Mama sedang sibuk bolak-balik menyiapkan makan malam di rumah sederhana itu. Makanannya juga sederhana, ada nasi, sambal, sayur asam dan yang mama hidangkan terakhir adalah ikan lure goreng.
“Nah, semua sudah siap, ayo makan.” Kata Mama.
 Semua anggota keluarga yang terdiri dari tujuh orang sudah siap duduk bersila di tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka semua melingkari makan malam mereka, bagaikan sedang melakukan ritual api unggun pada perkemahan. Dengan adil Mama memberikan satu sendok nasi ke setiap piring, sepucuk sendok sambal, dua sendok sayur asam, dan beberapa ekor ikan lure.
“Ma, kenapa setiap hari kita hanya makan ini? Semua warga disini adalah nelayan, Bapa juga nelayan. Tidak adakah ikan lajang, ikan bandeng, udang, cumi-cumi, kepiting, lobster...”
“Alif.!!” Mama menyela ucapan Alif. Baru kali ini Alif memprotes makanan yang disajikan Mamanya.
“Makan saja apa yang ada, jangan menuntut terlalu banyak, syukurilah.” Papa ikut berbicara. “Lihat adik-adikmu, mereka makan dengan lahap, kau juga makanlah.”
Alif melirik ke keempat adiknya. Perlahan ia mulai menyendokkan nasi ke mulut. Tangannya gemetar, ia sedang menahan air di pelupuk matanya. Entah mengapa dadanya terasa sesak. Ia tidak bisa menutupi lagi keluh hatinya. Sungguh miris hatinya, ia adalah anak seorang nelayan, ia tinggal di pesisir pantai, dan ia tahu bahwa laut ini menyimpan kekayaan. Namun ia hidup dalam kemiskinan. Dan impian terbesarnya adalah bisa menikmati jenis ikan yang lain, bukan hanya ikan lure.
Bunyi hewan-hewan malam mulai terdengar. Alif dan Bapa sedang duduk berdua di beranda rumah yang menghadap langsung ke pantai. Suara ombak berpadu dengan hembusan angin, kolaborasi yang sangat merdu–lagu alam paling indah.
“Alif... berapa umurmu sekarang, nak?” Bapa berbicara dengan lembut, pandangannya tak lepas dari pantai.
“Dua hari lagi umur Alif empat belas tahun.” Alif juga terus memandang pantai.
“Kamu sudah semakin besar ya. Apa keinginanmu, Alif?”
“Alif ingin makan ikan yang lain, Bapa. Alif sangat ingin.” Mata Alif berkaca-kaca.
“Bapa tahu, kita semua juga ingin itu. Sekarang Bapa tanya Alif, bagaimana caranya kita bisa sampai di tengah lautan untuk mendapatkan ikan?”
“Tentu saja dengan perahu.”
“Nah, Bapa belum punya perahu sendiri. Bapa juga tidak bisa membeli ikan dari nelayan lainnya, harganya sangat mahal.”
“Lalu, kenapa Bapa tidak membeli perahu sendiri?”
“Harga sebuah perahu tidaklah murah, nak.”
Alif terdiam, tak tahu hendak berkata apa lagi. Bapa tahu, sudah lama Alif ingin mereka mempunyai perahu sendiri, tidak lagi harus menyewa perahu. Dengan perahu itu mereka bisa mencari ikan tanpa batas waktu dan Alif bisa juga menggunakannya untuk pergi ke sekolah yang letaknya ada di seberang pulau. Hening kembali menyerbu. Suara ombak dan hembusan angin kini kembali terdengar dengan jelas tanpa terhalang obrolan bapa dan Alif.
***
            Adzan subuh sudah terdengar dari tadi. Seperti biasa, suara merdu Pak Mahmud yang mendayu dari sebuah surau dengan lampu minyak yang menempel di dindingnya. Cahaya di langit belum terang betul. Namun, perahu kecil tanpa mesin mulai didorong menjauhi pantai. Enam orang anak berseragam SMP siap menaiki perahu itu.
            Beberapa kelompok anak juga mulai menyerbu pantai. Mereka menyiapkan perahu yang biasa mereka tumpangi. Setiap perahu biasanya dipenuhi oleh enam sampai tujuh anak dengan empat buah dayung yang siap mereka gunakan mengarungi lautan demi sekolah. Sekolah mereka ada di seberang pulau, oleh karenanya setiap selesai sholat subuh mereka mulai bersiap mendayung perahu kecil mereka.
            Enam anak dalam satu perahu kecil sangatlah tidak nyaman. Seharusnya setiap perahu hanya bisa ditumpangi oleh empat orang anak saja. Namun karena jumlah perahu yang terbatas, mereka terpaksa berdesak-desakan. Keseimbangan perahupun sering terganggu. Semua perahupun sudah tak layak pakai. Bocor di sana-sini dan kayu-kayunya mulai lapuk.
            Alif dan Eko–teman satu perahunya–sibuk menguras air yang masuk ke perahu melalui celah-celah kecil perahu yang bocor. Tangan-tangan kecil yang memegang potongan botol plastik bekas itu tak henti-hentinya bekerja agar perahu mereka tidak tenggelam karena air yang masuk.
            Sembari melakukan aktivitas itu, Alif juga sedang sibuk mengkhayal. Fikirannya melayang seolah waktu sedang berputar ke obrolan bersama Bapa semalam. Alif ingat bagaimana Bapa bercerita, jika dia ingin makan jenis ikan yang lain maka ia harus memiliki perahu sendiri agar bisa mencari ikan sepuasnya. Mendadak keinginan terbesar Alif–yang tadinya ingin makan jenis ikan yang lain–berubah menjadi ingin memiliki perahu sendiri. Alif tersentak kaget ketika Eko mengoyang-goyangkan bahunya.
            “Apa yang kau lamunkan Alif?”
            “Aku mengkhayal punya perahu, Ko. Dengan perahu itu aku bisa mendapatkan ikan yang banyak. Dan perahu itu juga akan aku pakai untuk ke sekolah. Kita tidak perlu berdesak-desakkan seperti ini lagi” Cerita Alif.
            “Memangnya Bapa kau punya uang, Alif? Harga perahu kan tidak seperti harga lure.” Kata Eko.
            “Bapa memang tidak punya uang. Kan tadi aku bilang, aku cuma mengkhayal saja. Sudahlah, ayo cepat dayung perahunya nanti kita terlambat.” Komando Alif dituruti semua teman-temannya.
***
            Jam dinding berbentuk kotak persegi dengan kaca retak itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Bapa belum pulang-pulang juga. Bapa tidak ada di rumah, entah ke mana tak ada yang tahu. Alif cemas menunggu kedatangan beliau. Berkali-kali ia mondar-mandir dari dalam ke beranda rumah. Tidak seperti biasanya Bapa seperti ini.
            Jarum jam terus berputar menunjukkan sekarang sudah tengah malam. Remang-remang dari arah laut tampak siluet Bapa berjalan terburu-buru menuju rumah.
            “Bapa dari mana?” sergap Alif duluan bahkan ketika Bapa belum sempat menginjak beranda rumah.
            “Alif? Kenapa keluar rumah? Harusnya kau sudah tertidur, ini sudah tengah malam. Pergilah tidur, nak. Besok kau harus bangun pagi-pagi, besok hari terindahmu kan? Semoga lautan memberikan kado untukmu.” Bapa melangkah masuk dan melepaskan topinya.
            Alif jadi teringat, besok adalah hari ulang tahunnya yang ke empat belas. Tapi apa maksud Bapa dengan ‘semoga lautan memberikan kado untukmu’? Alif tak ingin bertanya apa-apa lagi. Bapa terlihat sangat lelah. Akhirnya Alif memutuskan untuk tidur.
***
            Suara adzan terdengar lagi di hari yang baru ini. Warna jingga di langit mulai tampak dengan berani. Aktivitas di pantai mulai terlihat, para nelayan sibuk dengan kegiatan masing-masing.
            Sepagi itulah Alif biasa bangun. Hari ini hari ulang tahunnya. Ia begitu semangat dan langsung menuju pantai. Bagaimanapun juga ia masih ingat ucapan Bapa semalam. Alif tak bisa bohong, dia memang penasaran apakah ada kado dari lautan yang diberikan untuknya? Kado semacam apakah itu?
            Langkah-langkah kakinya terlihat memburu. Dengan cepat ia sudah sampai di pantai. Disana terdapat sebuah perahu berukuran sama dengan perahu di pantai itu pada umumnya. Perahu itu baru pertama kalinya ia lihat dan masih tampak baru. Senyum Alif mengembang.
            “Kau suka, Alif? Selamat ulang tahun, nak” suara Bapa terdengar dari arah belakang Alif.
            “Perahu siapa itu Bapa?” tanya Alif tidak sabar.
            “Itu perahumu, perahu kita. Kado dari lautan.”
            “Benarkah?” tanya Alif tak percaya.
            “Tentu. Nah, sekarang mari kita mencobanya.” Ajak Bapa.
            “Tapi Bapa, kenapa perahunya dicat warna merah, putih dan biru? Kenapa bukan merah dan putih saja? Itu akan terlihat lebih nasionalisme.”
            “Sudahlah, yang penting ada merah putihnya, warna bendera Indonesia.”
            “Tidak bisa begitu! Warnanya merah, putih dan biru, itu bendera Belanda, Bapa!” protes Alif.
            “Hal kecil seperti itu jangan dipermasalahkan. Bersyukurlah kita sudah punya perahu. Mari kita berburu ikan.”

            Mendengar kata ‘ikan’ Alif segera luluh hatinya. Dan dengan bahagia Ayah dan Anak itu mendayung perahu mereka ke tengah lautan–berburu ikan. Ribuan ekor ikan telah menunggu mereka. Inilah... kado dari lautan.*ET

Selasa, 17 Juni 2014

Pita Merah Leony

             Suara angin menggoyangkan daun-daun jambu yang dipadukan dengan kicauan burung di sekitarnya adalah alunan musik merdu yang tersaji alami sore itu. Gynan sangat menikmatinya. Duduk didahan pohon jambu air sambil sesekali ujung jarinya menyentuh sayap kupu-kupu yang lalu lalang dipandangannya. Kupu-kupu yang berasal dari kebun bunga matahari itu memang satu-satunya teman Gynan kala itu.
            Gynan menyandarkan punggungnya di dahan sedikit condong. Kupu-kupu tadi tak kunjung berhenti lalu lalang dipandangannya. Seolah ingin mengajaknya bermain, bagai sudah akrab dengan Gynan yang baru saja kembali mengunjungi tempat itu setelah selama 3 tahun menghilang entah tak tahu rimbanya.
            Gynan masih sangat ingat bagaimana peristiwa ‘serangan badai salju’ itu terjadi. Semua itu bermula dari kejahilannya sendiri yang curang dengan mengambil secara diam-diam buah jambu yang sudah dipetikkan oleh salah satu sahabatnya. Dan ternyata dia mendapatkan balasan berupa serangan badai salju itu. Serangan itu berupa guguran jambu-jambu air karena dahan pohonnya digoyang-goyangkan oleh sahabatnya itu. Tapi anehnya, sahabatnya itu menganggap jambu-jambu yang jatuh itu adalah salju.
            Saat itu Gynan cukup panik. Tapi dia tak kehabisan akal untuk kembali membalas. Gynan yang terlihat ketakutan mengambil posisi tiarap sampai akhirnya badai salju itupun berhenti. Sahabat gadisnya itu sangat terlihat panik dan merasa bersalah. Gynan ingat betul bagaimana ekspresi wajah lucu sahabatnya itu.
            Tanpa disadari, Gynan tersenyum sendiri mengingat kejadian menggelikan itu. Heeehh. . .rasa rindu begitu menjalari seluruh peredaran darahnya. Tapi, sekarang sudah berbeda.
            “Berbeda sekali…semuanya sekarang beda…banyak yang berubah…semoga kamu tidak…” Kata-kata beruntun yang terucap begitu tenang. Perlahan. Terbata-bata. Ada sesuatu yang menyesakkan di setiap jedanya. Kata-kata itu tidak berlanjut, Gynan menelan ludahnya yang tawar. Terasa sakit sekali didadanya. Gynan merasakan perihnya kembali. Perpisahan 3 tahun yang lalu adalah perpisahan terberatnya. Gynan masih sangat ingat, perpisahan itu bukanlah perpisahan yang baik melainkan perpisahan yang buruk, karena berpisah dalam hubungan yang tidak baik dan dibumbui pertengkaran hebat.
 Lalu Gynan memilih untuk memejamkan matanya, menahan perih. Sementara itu, tangannya menggenggam kotak kecil berwarna merah. Menggenggamnya semakin erat. Tak terduga ada bulir bening yang meleleh di sudut matanya.
***
            Tangan kanan yang melentang itu menyentuh rimbunan kelopak bunga matahari. Sambil memejamkan matanya, Alika sibuk menciumi ini-itu.
            “Hm..aroma bunga matahari plus aroma segar jambu air…” Alika menempelkan segerombol jambu air yang ia bawa ke hidungnya.

            “Di tambah lagi aroma kuaci yang sadaap..! hm…nyam-nyam…” tambah Alika sambil menutup matanya dan masih mengendus-endus. Dia begitu menikmati perpaduan bau-bau itu.
Keberadaannya di tengah-tengah kebun bunga matahari membuatnya sulit terlihat. Karena dia memakai dress warna kuning-orange dan menggunakan pernak-pernik bunga matahari. Seperti jepit rambut bunga matahari, gambar dibajunya, gelangnya, hingga sepatu yang ia pakai berhiaskan aksesoris bunga matahari. Gadis ini memang sangat menyukai bunga matahari.
***
            Langkah itu tergesa-gesa, namun kemudian menjadi sangat pelan dan hati-hati. Kedua kaki yang menggunakan sepatu balet berwarna putih itu terus melangkah menuju kearah selatan. Gadis yang memakai sepatu itu tampak ceria, sesekali langkahnya berjingkat. Memandangi jutaan bunga matahari yang bertebaran di tanah luas itu. Matanya makin berbinar ketika disambut dengan puluhan kupu-kupu yang beterbangan disekitarnya. Entah mengapa gadis ini terlihat sangat rindu pada tempat itu.
            Kunjungannya kali ini akan digunakan sebagai pengobat rasa rindunya…rasa rindu yang telah terkubur 3 tahun yang lalu. Tapi, disela-sela keceriannya saat itu, terselip raut wajah yang datar. Entah merasa kecewa, menyesal atau prihatin. Yang ia tahu, semuanya sangat berubah… gadis bernama Leony itu menghentikan langkahnya lalu menatap lama ke arah jutaan bunga matahari yang mekar dengan semangatnya.
            Leony sangat ingat bagaimana kondisi 3 tahun yang lalu di saat perpisahan itu. Tanah luas ini dulu adalah tanah lapang yang hanya terdapat jutaan bunga ilalang yang putih bersih bersebaran dimana-mana. Kini tak ada lagi yang tersisa. Hanya bunga-bunga matahari setinggi bahu orang dewasa yang tumbuh dengan suburnya dan kupu-kupu yang terkadang hinggap dikepalanya.
            Leony meneruskan langkahnya yang tadi sempat terhenti. Berjalan tenang dengan senyum yang terbit diwajahnya. Namun dalam fikirannya, terus berkejaran mengingat kembali saat-saat 3 tahun silam. Bernostalgia dengan tempat itu.
            Tak lama ia melangkah, Leony kembali berhenti. Pandangannya kini tertuju kearah 10 meter didepannya, dimana di sanalah tumbuh dan berdirinya pohon jambu air. Raut wajahnya berubah menjadi ragu. Akankah ia meneruskan langkahnya? Menuju pohon jambu air yang penuh dengan berjuta kenangan masa lalunya, tempat dimana perpisahan itu terjadi??
            Namun kakinya tetap kukuh melangkah walau perlahan.
            “Agen Neptunus…??” kata-kata itu terucap begitu saja dari mulut Leony ketika melihat seseorang sedang berbaring di atas pohon jambu. Walau suaranya pelan, namun seseorang di atas pohon itu cukup jelas mendengar suara itu.
            Gynan…ya, dia mendengar dengan jelas suara Leony. Seketika matanya terbuka dan jantungnya berdegub kencang. Namun dia belum yakin kalau itu suara Leony yang menyapanya dengan sebutan ‘agen neptunus’. Nama panggilan mereka dulu. Tapi, entah apakah Leony sengaja memanggilnya atau hanya kata yang keluar tanpa bisa dikontrol?
            “Serangan badai salju…??” mata Leony masih belum berkedip mengamati sesuatu di atas pohon itu. Kata-kata yang ia ucapkanpun keluar begitu saja dan belum ia sadari.
            Mendengar suara yang kedua kalinya, Gynan makin yakin. Ia menegakkan duduknya. Karena saking kagetnya, Gynan hamper jatuh. Untung saja tangannya cekatan memegang dahan disampingnya sehingga menggoyangkan seluruh dahan yang lainnya. Belum sempat dia membenarkan posisi duduknya, pandanganya tertumbuk pada sosok indah yang berdiri dengan mata beningnya tak jauh dari pohon jambu.
            “Agen Neptu…nus…??” kata-kata yang sama terulang lagi. Tapi kali ini bukan dari Leony. Dari Gynan…
            Rasanya Leony ingin mengambil aba-aba ‘balik kanan grak.!!’ Lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu sambil nangis-nangis nggak jelas. Namun ternyata dia tak bisa melakukan itu. Kaki Leony bagai tertancap erat di tanah itu. Dan dia hanya bisa diam terpaku pada posisi ‘siap grak..!’
            “Leony.? Tunggu-tunggu…!” Gynan berucap dengan terburu-buru sambil merosot turun dari pohon jambu dengan tergesa. Padahal seharusnya walaupun Gynan turun dari pohon itu menghabiskan waktu yang lama tanpa mengharapkan Leony menunggunya, Leony tidak akan pergi. Karena ia tak mampu melangkahkan kakinya.
            “Ka…kamu sejak kapan ada di sini?” kalimat itu ayng terucap dari Gynan setelah mengumpulkan tenaga dan berhasil berdiri dengan tegak dihadapan Leony yang masih bungkam.
            “A…a-ku.?” Leony menunjuk dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa benar dirinya yang dimaksud gynan.
            “Iya…kamu…” Gynan memberikan kepastian dengan nada canggung.
            “Owh…baru saja.” Senyum tulus mengembang diwajah Leony.
            “Kamu kok bisa ada di sini?”
            “Radar neptunus mungkin..?” Leony membentuk jari kedua tangannya seperti antena dan ia letakkan diatas kepalanya. Gynan refleks langsung mengikuti gerakan Leony. Dia juga membentuk antena sebagai gerak isyarat yang menandakan radar Neptunus.
            Dulu, sewaktu mereka masih kecil, mereka mempunyai gank beranggotakan 3 orang. Gank itu diberi nama Aquarius, karena mereka semua berzodiak Aquarius. Dan dulu mereka yakin dengan adanya dewa Neptunus sang dewa air.
            “Bukan…bukan mungkin. Ini memang radar Neptunus.” Sahut Gynan mantap.
            Beberapa detik kosong. Masing-masing hanya saling diam dan hanya mata yang berpandangan. Bagai menemukan oasis yang pernah hilang selama 3 tahun ini. Lalu Gynan menarik tangan Leony. Menuntunnya duduk di bawah pohon jambu itu. Leony hanya menurut tanpa protes apapun. Tak cukup tenaganya untuk sekedar menolak ajakan lelaki yang pernah menjadi sahabat sekaligus kekasihnya itu.
            Lama Leony terdiam menahan pelupuk matanya yang berat dan hangat. Banyak detik ia lalui dengan menatap kesekeliling, ke arah lain. Menyembunyikan raut wajahnya yang berubah.
            “Ini…” kata yang terucap dari Gynan itu terdengar menggantung.
            Leony mengereyipkan matanya ketika melihat kotak kecil berwarna merah yang Gynan tunjukkan. Apa lagi ketika Gynan membuka kotak itu, Leony makin terkejut. Benda itu sangat bersejarah baginya. Namun sudah tak bersamanya lagi sejak bertahun-tahun silam.


            “Ini…aku berikan lagi untuk kamu…”
            “Tapi…ini…”
            “Ini milikmu..!” potong Gynan dengan nada yang tak tahu mengapa bisa berubah tegas.
Napas Leony jadi tak menentu, sesak sekali rasanya. Dadanya masih naik turun dan terdengar isakan kecil.
“Ini aku berikan untuk yang kedua kalinya…dan tak akan pernah ada untuk yang ketiga kalinya, jadi ku mohon terimalah…” ucap Gynan dengan lembut dan berbisik.
Butir yang ketiga jatuh meluncur di pipi Leony. Bergetar tangannya ketika menyentuh benda itu lagi. Pita merah yang dulu pernah menjadi miliknya. Namun dulu harus berpisah dan ia kembalikan pada Gynan.
“Nah, kamu cantik seperti itu…” puji Gynan tulus sambil mengusap air mata di pipi Leony setelah pita merah itu kembali dikenakan di rambut Leony.
“Aku kangen sama kamu yang dulu, kita yang dulu, semua yang dulu…” Gynan berucap sambil memandang bunga-bunga matahari. Sementara Leony masih belum mampu berkata-kata.
“Tapi…kenapa tempat ini jadi kebun bunga matahari ya? Padahal, dulu yang kita lihat hanyalah bunga-bunga ilalang putih.”
“Ku rasa, semuanya memang berubah bersama berjalannya waktu. Mungkin pemilik semua lahan ini bosan melihat ilalang yang itu-itu saja. Ingin mencari yang baru…” jawab Leony sekenanya.
“Hm…Alika. Ya, dia yang dulu paling heboh ingin memiliki semua lahan ini. Agar kita bisa bermain di sini sepuasnya. Kalau sekarang dia ada di sini pasti dia senang melihat bunga matahari sebanyak ini.”
“Dia di mana ya.?” Ada rasa sesak di dada Leony ketika melontarkan pertanyaan itu. Dia tahu bahwa Alikalah dalang dari perpisahan tragis antara dirinya dan Gynan.
Tak disadari oleh keduanya. Dari rimbunan pohon bunga matahari ada seseorang yang mengamati. Dia menarik dan menghembuskan napas berat untuk mengumpulkan seluruh tenaganya sebelum memberanikan diri keluar dari rimbunan.
“Haii…!! Kejutaan…!!”
Sontak Gynan dan Leony benar-benar terkejut. Lalu menatap aneh pada makhluk yang keluar dari kebun bunga matahari.
“Peri bunga matahari…??” Tanya Gynan, entah pada dirinya sendiri, pada Leony atau pada makhluk itu.
Yah…mirip…” tambah Leony yang matanya tak berhenti mengamati gadis yang pakaiannya dari atas sampe bawah penuh dengan pernak-perbik bunga matahari.
“Tapi kok nggak ada sayapnya..?”
“Sialan kalian…!! Bukannya disambut dengan ceria malah diejekin…” omel Alika. Gadis itu.

“Itu bukan ejekan, itu pujian…” gelak tawa seketika pecah diantara Gynan dan Leony. Sedangkan Alika masih bersungut kesal.
“Kalian kok bisa ada di sini?” Tanya Alika.
“Radar Neptunus..!!” Gynan dan Leony kompak menjawab sambil membentuk antenna dikepalanya.
“Wah, jadi kita bertemu karena radar Neptunus…?” Alika ikut-ikutan membentuk antenna.
Alika lalu berjalan mendekat kearah Gynan dan Leony. Berpelukan dengan Leony dan saling mengucapkan rasa rindu serta kata-kata lainnya. Terlepas dari pelukan Leony. Gynan kemudian memeluk Alika sembari berkata…
“Kamu cantik banget, beneran kayak peri bunga matahari. Kamu kuat, tegar dan kokoh seperti bunga matahari itu. Tumbuh tinggi tanpa ragu dan memunculkan bunga yang begitu mengagumkan…aku bangga sama kamu…” Gynan mengucapkan kata-kata itu sangat pelan dan seolah tulus dari hatinya. Alika mendengarnya dengan jelas. Bahkan napas Gynan terasa berhembus ditelinganya dan suara itu bergetar.
Alika sangat bahagia saat itu. Ia sungguh tak menyangka dapat bertemu dengan kedua sahabatnya itu. Dan terlebih Gynan mengucapkan kalimat yang membuat perasaannya tenang itu.
Namun, baru saja Alika merasakan bahagia, tiba-tiba ia malah terkejut. Pita merah itu. . .telah tersemat kembali di rambut Leony. Sesak sekali. Alika hanya bisa menelan ludahnya yang bagai menelan sebutir bakso yang belum sempat terkunyah. Sakit sekali.
“Woe…! Apaan nih.??”
Alika terkejut sadar dari lamunanya ketika mendengar teriakan Gynan. Dan ternyata tangan kanannya yang memegang buah jambu air dan sekantong kuaci sudah diangkat tinggi-tinggi di udara oleh Gynan.
“Eiit…ok ok, aku jelasin, jadi aku harap kalian duduk yang manis ya…” gaya berbicara Alika sudah benar-benar mirip dengan peri yang akan memberikan petuah pada dua sejoli itu. Setelah Gynan dan Leony duduk, Alika mulai menjelaskan.
“Ini buah jambu air yang paling merah, paling besar, paling manis, paling segar, paling…”
“Paling bohong.!!” Potong Leony sambil cekikikan.
“Hu-uh, dengerin dulu.!” Kesal Alika.
“Leony sayang…dengerin aja dulu, nurut sama peri, kasian tuh perinya ngambek…” ujar Gynan yang juga ikut cekikikan.
Deegg..!!
Jantung Alika serasa copot mendengar dua kata pertama yang diucapkan Gynan. “Leony sayang…??” ulangnya dalam hati. Sakit lagi yang ia rasakan. Alika sadar, ia terlalu cemburu pada kedua sahabatnya itu. Tapi ia tak bisa bohong. Sampai saat ini, rasa itu masih sama pada Gynan. Rasa cinta.

Alika juga ingat, dialah yang menyebabkan pertengkaran diantara Gynan dan Leony saat perpisahan kala itu. Gynan dan Leony mungkin juga tahu tentang itu. Tapi mereka bersikap biasa saja saat ini. Itu yang membuatAlika sedikit merasa lega.
“Woe.! Kok bengong sih? Lanjut dong.” Ujar Gynan dengan mata berbinar. Alika merasakan obat penenang hatinya dari tatapan mata Gynan. Alika langsung bersemangat untuk cerita lagi.
“Nah, yang ini adalah kuaci, snack untuk hari ini…”
“Eh, tunggu-tunggu. Dari mana kamu dapat jambu air? Kan sekarang nggak berbuah.” Tanya Leony sambil mendongakkan kepalanya kearah rimbunnya daun jambu.
“Owh, begini, buah jambu ini aku ambil dari neri peri khusus buat kalian sahabat-sahabatku. Dan aku sebagai peri bunga matahari, makanya aku udah siapain kuaci paling lezat untuk tamu-tamu terhormatku yang sudah mau singgah di kebunku…”
“Haa?? Kebun kamu?? Maksudnya? Kok aku jadi nggak ngerti sih?” pertanyaan beruntun dari Gynan.
“Begini kawan-kawanku…perhatikan ya, jangan sampai satu katapun yang kalian lewatkan. Ini…dari sini ke sana, dari sana ke sana lagi, semuanya milikku, kebunku… taraa…!!” jelas Alika dengan bersemangat dan berakhir dengan posisi kedua tangan melentang, kaki kanan ditekuk ke atas dan tampang wajah unyu.
“Ha? Beneran??” Gynan langsung loncat dan memeluk Alika. Leony terperanjat, Alika pun kaget.
“Gak nyangka keinginan kamu kesampaian juga, selamat yaa…berarti kita bisa sepuasnya di sini dong.??” Ujar Gynan dengan ceria.
“Em, eh, iya.” Alika melepaskan pelukan itu ketika melihat perubahan raut wajah Leony dan pita merah yang menyesakkan dadanya itu.
“Udah deh, ayo kita nikmati makanan yang tersedia dari kebunku ini, dibawain peri cantik lagi, haha…” Alika terkekeh sendiri disusul Leony dan Gynan.
Alika buru-buru meletakkan jambu air yang sudah ia gigit dan langsung membentuk antenna dikepalanya lalu berteriak, “Radar Neptunuuus…!!”
Gynan dan Leony mengikuti gerakannya dan juga sama-sama mengucapkan “Radar Neptunuuss…!!”
Begitulah ketiga sahabat Aquarius itu bisa bersama lagi, ceria algi. Dengan bersama-sama membentuk antenna radar Neptunus, bersatulah kembali ketiga sahabat Aquarius itu.

Namun ada satu yang tak bisa merasakan kebahagian sepenuhnya. Alika…ia harus menutupi lagi semua rasanya, semua cintanya. Demi persahabatan yang jauh lebih indah dari segalanya. Karena bagaimanapun juga, pita merah lambing cinta Gynan pada Leony, pita merah yang sangat ia inginkan bisa merekat dirambutnya telah tersemat abadi dan kembali pada pemiliknya…Leony...*ET

SUARA

Adakah manusia yang tidak suka suara?

Adakah salah satu sudut dunia yang tak punya suara?

Ini kisahku...kisahku tentang satu jenis suara yang entah mengapa aku lebih memilih untuk tak mendengarnya lagi.

Bukan suara deruman kendaraan bermotor yang terus-terusan memuntahkan asap tak berguna. Bukan suara tukang ojek yang berkoar-koar menawarkan jasanya. Bukan suara burung-burung di udara yang kalah merdu dengan palu besi yang menghantam bongkahan batu. Bukan suara claksound yang saling bersahutan di sela suara puluhan anak pengamen jalanan. Bukan suara para penjajak koran. Bukan suara dari balik toa yang sedang berorasi. Bukan...!!

Suara itu tak lain adalah suara yang keluar dari seorang lelaki. Suaranya tidak merdu juga tidak fals. Entah suara itu bagaimana, aku tak bisa menjelaskan apapun tentang suaranya.

Apakah kau pernah rasa? Betapa hebatnya hal yang satu ini, ketika kau mendengar orang yang kau suka untuk pertama kalinya menyebut namamu. Ya, suara pertama darinya yang pernah aku dengar adalah ketika ia menyebut namaku. Saat itu ku tahu aku langsung jatuh hati pada suaranya dan saat itu pula aku berani bertaruh bahwa aku tak ingin mendengar suaranya lagi.

Cukup sekali itu saja. Jika diucapkan berulang kali, maka berulang kali pula hatiku akan jatuh. Dan semakin sering aku jatuh, maka itu akan sangat sakit dan bahkan menimbulkan luka. Jadi, dengan sederhana aku menyimpulkan, bahwa... aku tak ingin mendengar suaranya lagi.*ET