Sudah sekitar 5 menit aku duduk di akar pohon mahoni ini. Pohon yang terletak tepat di depan kelasku. Dengan membawa kamera, aku memotret berbagai aktivitas di sekelilingku. Apapun yang terlihat segera aku abadikan. Hobiku memang memotret dan aku bercita-cita ingin jadi fotografer ternama.
Sejak 5 menit yang lalu, aku telah memotret banyak hal.
Sekitar 20-30 foto telah ku dapatkan. Sambil melihat-lihat hasil jepretanku,
aku suka senyum-senyum sendiri. Foto yang satu ini sangat lucu, aku memotret
teman sekelasku, Aris yang sedang tertawa terbahak-bahak sambil memegang
perutnya dan masih ada beberapa foto konyol lainnya. Foto berikutnya adalah
ketika Danar sang pemain basket berhasil memasukkan bola ke ring dengan
sempurna.
Tak ketinggalan, aku juga mendapatkan foto gank centil
yang sedang asyik menggosip di taman depan kelas. Ada juga foto pak guru yang
sedang marah-marah dan Andi yang sedang dihukum push-up 50 kali. Dan masih
banyak lagi, aku bangga dengan foto-foto yang aku dapat ini.
Kini aku kembali bersiap hendak memotret sesuatu.
Kepalaku berputar dari arah yang satu ke arah yang lainnya. Aku belum menemukan
sasaran yang tepat. Hingga saatnya pandanganku tertumbuk pada suatu objek dan aku
tak ingin berpaling mencari objek yang lainnya. Aku bersiap membidik
dan...jepreet...! aku mendapatkan foto Elsa yang sedang duduk menyendiri sambil
melihat pertandingan basket dengan wajah datar namun tetap tersirat ceria.
Entah mengapa aku bisa memotretnya. Dia biasa-biasa saja,
tidak ada yang unik, tidak ada yang menarik. Dia tidak menonjol, dia tenggelam
di tengah eksisnya teman-teman yang lainnya. Dia jarang sekali berbicara, dia
hanya suka tersenyum jika bertemu dengan teman-teman. Dia juga tidak terlalu
pintar, biasa saja. Teman dekat pun sepertinya dia tidak punya. Sepertinya tak
banyak yang mengenalinya atau mengetahui bahwa dia sekolah di sini. Dan aku
dengar, dia hanya tinggal seorang diri di gubuk mungilnya yang tak jauh dari
rumah pamanku di kaki bukit, itu kata pamanku ketika aku menelfonnya kemarin.
Di sekolah ia hanya terus-terusan menyendiri, sepertinya
dai bukan orang yang supel, mungkin dia kuper. Itu sungguh tak asyik menurutku
yang setiap hari selalu berada di tengah keramaian dan glamour kehidupan. Tak
habis-habisnya aku memikirkan dan menilai Elsa. Bagaimanapun juga aku sering
melihatnya karena kita berada dalam satu kelas dan bangkunya tepat ada di depan
bangkuku.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk
menyimpan foto gadis yang rambutnya selalu di kuncir itu. Memang, semenjak aku
mendapatkan kamera sebagai hadiah ulang tahun dari ayahku, hampir semua murid
di sekolah ini telah ku potret berulang-ulang, dan saat ini adalah pertama
kalinya aku memotret Elsa.
Sejak saat itu jugalah aku jadi sering memperhatikan
Elsa. Semua gerak-geriknya, apapun yang dilakukannya, diam-diam ku potret.
Tentu saja tak ada yang tahu dengan apa yang aku lakukan ini. Dan aku mulai
tertarik untuk terus mengamatinya hingga suatu saat nanti aku bisa mendapatkan
sebuah potret yang menarik menurutku.
Satu minggu berlalu. Aku sudah mendapatkan sekitar 30
lebih foto Elsa. Tapi semua nampak sama saja. Ekspresinya sama saja, datar.
Posisinya tidak pernah berubah, hanya di bangkunya atau duduk di taman sambil
menonton pertandingan basket. Yang dilakukannya pun belum ada yang menarik.
Hanya merenung, sedang menulis, sedang memperhatikan guru yang sedang
menjelaskan dan satu lagi yang ku dapat, ketika dia tersenyum. Ekspresi yang
terakhir itu yang menurutku paling memuaskan dan aku berharap akan mendapatkan
potret yang lebih bagus lagi.
***
Aku
masih menapaki lorong-lorong kecil dan jalan setapak yang becek pasca terguyur
hujan semalam. Aku baru saja pulang dari sekolah, masih lengkap dengan baju seragamku,
kamera yang tergantung di leherku dan ransel yang melekat di punggung aku
menuju rumah paman Rahman.
Setibaku
di sana, aku langsung disambut bahagia oleh Bibi Eti dan sepupu kecilku, Tania.
Bagaimana tidak? Aku hanya berkungjung ke sana setiap libur semester. Dan
sekarang tiba-tiba aku datang di saat libur semester masih 2 bulan lagi.
Sekarang
aku masih ada di teras depan rumah pamanku. Aku enggan untuk masuk bahkan
ketika Bibi Eti mempersilahkanku masuk. Aku gelisah dan terus mengedarkan
pandanganku kesekeliling. Tak banyak yang bisa ku lihat. Rumah pamanku terletak
di kaki bukit, di pinggir sawah-sawah. Tak banyak rumah yang ada di sana. Yang
ku tahu ada rumah Pak Haji dan Pak Toni di sebelah timur rumah paman, yang lain
hanya padi-padi dan pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Tapi, tunggu. Ada gubuk kecil di pinggir sawah itu, gubuk
reot yang tak berjendela. Mungkin itu tempat perisitrahatan para petani,
fikirku. Terus, di mana rumah Elsa yang pernah paman ceritakan? Ah, lamunanku
terpecah ketika Bibi Eti menggoyang-goyangkan badanku.
“Um, paman ke mana ya Bi? Kok gak kelihatan dari tadi?”
tanyaku.
“Dia sedang ke rumah pak lurah, ada urusan sebentar. Ayo
masuk.” Ajaknya dengan hangat.
“Em, saya di sini saja deh, Bi. Enak duduk-duduk di sini,
padinya juga bagus-bagus, pengen foto-foto dulu.” Ungkapku jujur.
Bibi Eti mengerti, dia meninggalkanku di teras depan
setelah ia menyuguhkanku setumpuk rambutan hasil kebunnya.
Kini aku hanya ditemani Tania yang masih berusia 10
tahun. Mungkin aku harus bertanya padanya saja, karena ku lihat belum ada
tanda-tanda paman akan datang.
“Tania tahu di mana rumah kak Elsa? Katanya ada di dekat
sini.”
“Itu rumahnya...” dengan cekatan dan riang,Tania menunjuk
ke arah gubuk kecil reot di pinggir sawah yang ku lihat tadi.
Terkejutku bukan kepalang. Bagaimana mungkin gubuk kecil
itu disebut rumah? Dan Elsa tinggal sendirian didalamnya. Sungguh tak terduga
bahwa beginilah rumah tempat kembali Elsa ketika pulang dari sekolah.
“Dimana dia sekarang?” tanyaku lagi, penasaran.
“Biasanya, kalau pulang dari sekolah, kak Elsa langsung
pergi lagi.”
“Kemana?” aku makin penasaran.
“Cari kangkung, terkadang juga cari keong di rawa. Dan
kalau sore kak Elsa akan pergi ke kompleks perumahan untuk mencari
barang-barang bekas yang masih bagus.” Jelas Tania.
Hem...apakah benar begitu pekerjaan sehari-hari yang
dilakukan oleh Elsa? Aku semakin ingin banyak tahu tentangnya. Untuk itu aku
segera pamit sebentar untuk pergi menuju rawa yang dimaksud oleh Tania.
Jalan-jalan berukuran kecil yang ada di tengah-tengah
sawah ini sangat licin. Beberapa kali aku nyaris terpeleset. Tapi, ini tak akan
menyurutkan niatku. Dari tempatku berdiri, aku sudah dapat melihat rawa yang
membentang luas, sepertinya ada seseorang di sana. Ku harap dia adalah Elsa,
karena aku akan memotretnya.
Ketika aku makin mendekat, ya, itu benar, dia Elsa. Aku
tak melanjutkan mendekatinya, aku justru bersembunyi di
semak-semak...jepreet...jepreet...aku berhasil mendapatkan fotonya. Tapi
sebenarnya apa yang sedang dia cari? Oh, mungkin kangkung dan beberapa keong
seperti yang Tania katakan tadi.
Lama aku mengamati, akhirnya Elsa keluaar dari kubangan
rawa dan ia mulai berjalan, mungkin ia akan pulang dan aku hendak memotretnya.
Tapi tiba-tiba...auugh...
Elsa terpeleset tepat ketika aku berhasil memotretnya dan
aku mendapatkan ekspresi dan gambar yang menarik. Sebenarnya aku sangat ingin
menolongnya, tapi biarlah, aku segera pulang ke rumah paman. Belum waktunya dia
tahu bahwa aku mengikutinya.
Sejak aku selesai mandi, aku sudah duduk di teras depan
sambil mengusap-usap rambutku yang basah dengan sebuah handuk. Kamera
kesayanganku tetap ada di dekatku, kalau-kalau saja ada yang harus ku potret.
Sedari tadi juga aku terus mengamati rumah Elsa yang pintunya masih tertutup
rapat. Aku berharap dapat melihatnya pulang sebelum magrib tiba. Aku memang
akan menginap di rumah paman untuk malam ini.
Ada yang datang! Itu Elsa, pekikku. Aku segera melepas
handuk yang tadi ku pegang dan tanganku kini sudah memegang kamera dan siap
membidik. Elsa datang dengan membawa banyak kangkung, beberapa kardus dan botol
minuman bekas. Tapi apa yang ia pegang? Dari tadi Elsa terus memandangi sesuatu
yang ia pegang.
Ah, entahlah...aku tak pernah berhenti memikirkannya,
betapa tak berwarnanya kehidupan Elsa. Tapi, selama aku melihatnya, ia nampak
baik-baik saja. Raut wajahnya bahkan selalu ceria, hampir tak pernah aku
melihatnya murung atau bersedih. Mungkin hanya aku yang begitu
memperhatikannya, karena aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dihidupnya.
Aku bertekad, suatu hari nanti, entah besok atau lusa, aku ingin mengajaknya
ngobrol. Walaupun entah harus ku mulai dari mana.
Malam ini begitu dingin, mungkin karena letak rumah paman
berada di kaki bukit. Namun tak membuatku hanya diam mendengkur di dalam rumah,
justru aku sangat ingin sekali keluar rumah, walau hanya di teras saja. Tentu
tak ada yang dapat mencuri pandanganku selain gubuk kecil tak jauh dari
tempatku berada. Nampak gelap, aku hanya bisa melihat sekilas, dari celah-celah
papan gubuk itu aku dapat melihat sebuah cahaya dari lampu pelita.
Heeh...aku mendesah, alangkah tak berwarna hidupnya, itu
yang ada di fikiranku selama ini, dan belum berubah.
***
Perutku
kenyang sekali setelah dijejalkan nasi goreng, pisang rebus dan teh hangat buatan
Bibi Eti. Kini aku sudah bersiap di teras hendak berangkat ke sekolah. Aku
terhenyak ketika melihat Elsa melewati rumah paman lalu menuju ke rumahnya. Oh,
aku kaget sekali. Apakah tadi ia melihatku? Ah, itu tidak penting, karena ada
yang lebih penting dari itu. Dari mana dia pagi-pagi begini? Dan apa yang di
bawanya? Seperti kaleng-kaleng cat yang berukuran kecil, beberapa cat air dan
kardus-kardus bekas. Untuk apa itu? Aku penasaran sekali. Ingin rasanya ikut
melangkahkan kaki mengikutinya dan bertanya untuk apa semua barang-barang itu?
Tahan, tahan! Pasti ada waktunya. Ujarku pada diriku sendiri.
Pelajaran
pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia. Bu Siti datang lebih cepat dari
biasanya dan langsung menyampaikan pelajaran hari ini. Beliau menyuruh kami
menceritakan pengalaman menarik yang pernah terjadi sepanjang hidup di depan
kelas. Aku merasa saat ini sangat beruntung. Aku tak sabar ingin mendengar
cerita Elsa. Penasaran akan hal menarik apakah yang akan dia ceritakan?
Setahuku hidupnya biasa-biasa saja dan begitu-begitu saja.
Mia
orang pertama yang menceritakan kisah menariknya. Dia begitu antusias
menceritakan ketika ia berlibur bersama keluarga besarnya ke Singapura. Dan
bagaimana dia berfoto di patung singa yang menyemburkan air dari mulutnya. Oky,
orang kedua yang ditunjuk Bu Siti. Dia menceritakan pengalamannya ketika
pertama kali ia datang ke Jakarta, melihat Monas dan mencoba segala wahana yang
ada di Dufan, bla bla bla...
“Elsa...” terkejutku tak sabar ketika Bu Siti menyebut
nama Elsa dan diapun berjalan ke depan kelas dengan antusias.
“Aku akan menceritakan ketika aku mendapatkan seekor
keong yang unik...” tuturnya dalam pembukaan kisahnya itu. Gelak tawa
menghujani kelas. Beberapa siswa ada yang mengejek. Mereka menganggap cerita itu
sangat jauh dari kata menarik. Namun Bu Siti segera menenangkan. Dan aku
mengerenyitkan keningku, banyak pertanyaan yang berkejaran difikiranku. Apanya
yang menarik? Mengapa dia bisa menceritakan hal itu? Bukankah hal menarik yang
harus diceritakan?
Tapi aku terus dan bahakn menambah ketajaman
pendengaranku agar tetap bisa mendengarkan suara Elsa ditengah ramainya kelas
yang menertawakannya. Elsa bercerita, kemarin dia menemukan keong yang sangat
unik. Ia mendapatkan hewan bercangkang itu tanpa sengaja, ketika ia terpeleset
di rawa. Aku langsung ingat kejadian kemarin, ketika ia terpeleset di sana. Ya,
mungkin peristiwa waktu itu yang ia ceritakan saat ini.
Elsa melanjutkan ceritanya. Dia menjelaskan betapa
cantiknya keong itu. Hitam, coklat dan ada garis putih adalah corak di
cangkangnya yang berbentuk kerucut yang tinggi dan tajam dibagian ujungnya.
Corak itu sangat berbeda dibandingkan keong lainnya. Ukurannyapun lumayan
besar. Dia begitu bahagia bisa menemukan hewan seunik itu. Dia juga bilang,
keong itu kini ia pelihara di rumah mungilnya.
“Bagi teman-teman yang ingin melihatnya, silahkan datang
saja ke rumahku, aku akan senang menyambut kedatangan kalian...” Elsa menutup
cerita.
Gelak tawa riuh rendah memenuhi seluruh ruang kelas. Dan
tak ada hentinya, ada saja yang mengejek. Elsa terlihat berjalan kembali
kebangkunya dengan puas dan sebuah senyuman. Gelak tawa itu tak berlangsung
lama. Semuanya langsung diam, beku, ketika aku memebrikan tepuk tangan yang
meriah. Semua orang memandangku, Elsa pun ikut menoleh. Tak lama kemudian,
atmosfer ruang kelas kembali normal seiring semakin banyaknya murid lain yang
bergantian menceritakan kisah menariknya.
***
Sepulang
sekolah aku kembali menyusuri jalan setapak seperti yang aku lakukan kemarin.
Tapi, hari ini aku tidak berniat mengunjungi rumah paman lagi. Melainkan hendak
menemui Elsa. Aku berencana menceritakan semuanya pada Elsa hari ini. Aku akan
meminta maaf karena diam-diam aku memotretnya dan aku selalu mengikuti serta
memperhatikannya. Lebih dari itu, aku juga ingin melihat keong yang unik
menurut Elsa itu.
Kini
langkahku semakin mendekat dan penasaran. Ada sebuah mobil mewah terpakir di
depan rumah Elsa. Ddari posisiku berdiri, aku dapat melihat Elsa sedang
memberikan beberapa gulung kanvas ke orang asing itu.
Aku tiba
tepat di depan rumah Elsa, bersamaan dengan mobil mewah itu pergi menjauh. Elsa
masih di sana, di depan rumahnya dan kita saling berpandangan.
“Hei...!
mau lihat keongku.?” Sapanya penuh ceria dan mungkin terkejut dengan kedatanganku
yang tiba-tiba. Aku hanya mengangguk membenarkan ucapannya.
“Apa
yang kamu berikan ke orang tadi?” tanyaku ragu.
“Oh, itu
lukisan...” jawabnya dengan tenang.
“Lukisan??”
bisikku pelan, bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku salah dengar?
Bagaimana Elsa bisa memberikan lukisan ke orang asing itu?
Elsa
hanya mengangguk dan tersenyum sambil membimbingku masuk ke dalam gubuknya.
Baru saja selangkah aku memasuki rumah itu, kerongkonganku langsung tercekat.
Bahkan aku sempat tak bernapas beberapa detik. Sungguh aku tak bisa
mendeskripsikan isi rumah ini. Sungguh jauh dari apa yang pernah aku bayangkan.
Rumahnya
terang, begitu berwarna. Perpaduan cat warna kuning-orange, biru langit, hijau
daun dan sedikit ungu melekat di dinding-dinding papan. Begitu rapi.! Mataku
seakan tak berkedip, dan terus berkeliling menyapu seluruh sisi ruangan yang
penuh dengan ornamen-ornamen dan pernak-pernik yang indah dan unik.
Ada
beberapa origami dari kertas warna-warni yang bergelantungan. Motif-motif jejak
kaki di dinding papan, bunga-bunga yang tebruat dari pipet, kaleng bekas dan
botol minuman bekas. Boneka-boneka yang terbuat dari sabut kelapa tersusun rapi
di rak-rak kecil yang juga erselip beberapa buku-buku dan novel.
“Buku
ini berisi tulisan-tulisanku...” Elsa menjelaskan.
Beberapa
kerajinan dan anyaman dari barang-barang bekas tersusun rapi di setiap sudut
ruangan. Di kursi kayu itu ada kain rajutan yang belum jadi dan di atas meja
ada alat-alat sulam serta taplak meja yang belum selesai di buat. Beberapa
lukisan yang berukuran kecil dan medium terpajang rapi di dinding. Aku kemudian
menengok ke sudut yang lain. Di sana ada cangkang-cangkang keong yang berjajar,
cangkang-cangkang itu sudah di cat dengan motif yang berbeda-beda, sungguh
menarik.
Aku juga
melihat sesuatu di sudut yang lain. Ada seperangkat alat-alat untuk melukis,
kuas-kuas, cat air dan kanvas yang sudah tidak berwarna putih lagi. Nampaknya
lukisan itu belum selesai. Aku sungguh tertegun. Tanpa sengaja, aku telah
mengitari seisi ruangan ini, bagai berada dalam sebuah galery seni yang sedang
mengadakan pameran seniman ternama.
“Kamu
anak seni...” ujarku begitu saja dengan pandangan yang tak lepas dari sebuah
lukisan. Aku merasa Elsa menepuk pundakku.
“Ini
baru sebagian, kamu belum melihat apa yang menjadi tujuanmu datang kemari kan?”
Elsa menuntunku kesebuah kotak persegi yang terbuat dari kaca, seperti akuarium
mini. Didalamnya ada seekor keong yang berada di atas pasir dan sedikit
genangan air. Elsa membuatnya seperti akuarium sungguhan. Ia menambahkan
beberapa tumbuhan-tumbuhan kecil dan batu-batu kerikil yang terlebih dahulu
dicat agar warnanya menarik.
Keong
itu adalah keong yang Elsa ceritakan di depan kelas tadi. Sungguh beruntungnya
aku bisa melihat semua ini. Aku kembali melangkah ke sebuah pigura yang
dipasang menyendiri.
“Pak
Rendra? Seniman ternama yang memiliki galery terbesar di kota ini? Bagaimana
bisa kamu mengenaalnya?” aku terkejut bukan main. Foto dalam pigura itu mirip
seperti foto keluarga. Pak Rendra dan keluarganya serta...Elsa juga ada di foto
itu.
“Ya,
tentu! Dia ayahku...”
Aku
terbengong dengan mulut menganga lebar.
“Aku
sengaja tinggal menyendiri di sini, tak ada alasan yang pasti, tapi aku senang.
Aku tahu kamu banyak memotretku diam-diam dan mengikutiku.”
“Ka-kamu
tahu? Ma-maafkan aku...selama ini aku selalu beranggapan hidupmu sama sekali
tak berwarna...” sungguh sulit ku berkata-kata.
“Tak
apa. Mungkin kamu bertanya-tanya, hendak dibawa ke mana lukisan tadi. Setiap
lukisanku yang sudah jadi, akan ada orang suruhan ayah yang mengambilnya untuk
disimpan digaleri, yang suatu waktu akan dipamerkan.” Jelasnya.
Aku
tidak bisa merespon apa-apa. Hanya bisa mengangguk tanda mengerti. Tanpa
sengaja aku mendongak ke atas, menatap ke langit-langit rumah. Luar biasa.!
Disana terdapat gambar helai-helaian daun yang penuh dengan embun, nampak
segar. Indah, dengan warna cat yang sesuai dan sebuah tulisan yang membuatku
terpana.
“Embun
tak Perlu Berwarna...”
Ingin
rasanya aku menangis saat itu juga. Aku sangat terharu. Bagaimana bisa, sebuah
gubuk reot yang di dalamnya menyimpan berjuta keindahan ini. Sungguh tak pantas
disebut gubuk reot, melainkan galery seni yang luar biasa.
Saat itu
aku menyimpulkan...
“Embun
tak perlu berwarna untuk menjadikan daun itu segar. Sama seperti halnya Elsa,
hidupnya tak perlu berwarna untuk dapat disebut indah. . .”
Salam Sejuk Embun...*ET

Tidak ada komentar:
Posting Komentar