Entah sudah berapa ratus jam aku habiskan untuk duduk
diam di pinggir dermaga ini. Banyak sekali penjual asongan yang aku hafal
mukanya tanpa kutahu namanya. Pada awalnya mereka selalu menawarkan dagangan
mereka padaku. Namun karena aku selalu menolak, mereka tak pernah sekali pun
menawarkannya lagi.
Ketika
fajar menyingsing adalah waktuku untuk bergegas menuju dermaga. Dan ketika
suara adzan maghrib berkumandang saatnya langkah kaki lesuku meninggalkan tempat
yang sudah aku anggap rumah ini. Aku suka menunggu kapal yang datang. Aku
langsung berdiri tegak ketika melihat kapal, walau jaraknya masih jauh dan
hanya berupa titik kecil. Aku menunggunya hingga benar-benar berlabuh.
Duduk di
pinggiran dermaga, panas, hujan, tak pernah kupedulikan. Yang kutahu aku hanya
menunggu kapal itu datang. Terjepit-jepit oleh penumpang yang berburu turun
dari kapal dan penumpang yang hendak naik ke kapal. Dan pada akhirnya selalu
tinggallah aku sendiri berdiri di sini. Kapal itu berangkat lagi.... Selalu
saja air mataku bergulir perlahan setiap kapal-kapal itu berangkat lagi tanpa
mau menawarkan dan membawaku pergi.
Hanya
satu inginku. Berharap ada kapal yang khusus datang untuk menjemputku. Tanpa
bersyarat, tanpa harus kumiliki tiket. Aku berharap kapal itu membawaku tanpa
kuminta. Hanya membawaku. Berlebihankah? Aku hanya ingin pergi, terserah ke
mana. Bawa saja aku, mau berlabuh di pulau tak berpenghuni atau tak berlabuh
sekalipun, aku mau. Aku hanya ingin pergi. Aku sudah bosan dengan segala
tingkah laku manusia di bumi. Aku terlalu lelah menyaksikan kelakuan mereka yang
membuatku muak dan ingin memuntahkan seluruh isi perut bahkan dengan
usus-ususku. Tapi itu semua tidak mungkin. Kapal hanyalah benda mati yang
dikendalikan manusia. Kapal itu bisu dan aku juga bisu.
Selalu ada perahu kertas yang aku arungkan setiap di
akhir hari perjuanganku itu. Sebagai tanda kegagalanku. Jika aku bisa
berhitung, mungkin sudah berkumpul ratusan perahu kertas membentuk armada kapal
yang besar dan kuat di lautan sana. Tapi, kata orang aku bodoh, aku tak bisa
berhitung dan aku tak pernah mengenal angka. Hanya bisa berharap perahu-perahu
itu bisa menyatu dan membesar. Lalu kembali ke dermaga ini untuk menjemput
tuannya. Karena kapal yang selama ini datang dan pergi dihadapanku tidak pernah
bisa mengerti. Ya, karena dia dikendalikan oleh manusia dan aku muak dengan
manusia.
Perahu kertas yang aku siapkan hari itu kucengkeram kuat
di balik punggungku. Karena ada yang menepuk pelan pundakku. Lelaki itu
menatapku hingga ke dasar alam sadarku. Lalu ia bertanya, “sedang menunggu
kapal? Tapi kapal itu tak kunjung datang membawamu?”
Aku masih diam. Dan aku memang hanya ingin diam. Ku pastikan
masih tertancap kokoh di benakku bahwa aku muak dengan manusia tak terkecuali
sosok di depanku ini. Dia lalu tersenyum lalu membungkuk dan mengeluarkan
sebuah perahu kertas dari balik jaketnya. Lalu melarungkan perahu kertas itu.
Aku terkejut.
“Kamu...”
“Aku juga pernah ingin pergi.”
Ia berdiri lagi dengan jarak kepala yang sangat jauh di
atasku. Tangan halusnya mengusap pelan kepalaku. “Jangan terlalu lama menunggu.
Ada saatnya kamu berhenti. Dan lihat ke sana...” lelaki itu menunjuk ke arah
kumpulan manusia, ke arah daratan, bukan laut. “kembali ke daratan.” Lalu ia
pergi.
Mungkin memang benar. Untuk gadis kecil berusia dua belas
tahun sepertiku belum mengenal dunia sesungguhnya namun aku sudah bisa muak dan
ingin pergi. Akulah si gadis kecil dengan pendirianku yang kuat dan tak
tergoyahkan. Oh, kapalku.
Tolong
bawa aku pergi...*ET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar