Selasa, 17 Juni 2014

Bawa Aku Pergi

            Entah sudah berapa ratus jam aku habiskan untuk duduk diam di pinggir dermaga ini. Banyak sekali penjual asongan yang aku hafal mukanya tanpa kutahu namanya. Pada awalnya mereka selalu menawarkan dagangan mereka padaku. Namun karena aku selalu menolak, mereka tak pernah sekali pun menawarkannya lagi.
            Ketika fajar menyingsing adalah waktuku untuk bergegas menuju dermaga. Dan ketika suara adzan maghrib berkumandang saatnya langkah kaki lesuku meninggalkan tempat yang sudah aku anggap rumah ini. Aku suka menunggu kapal yang datang. Aku langsung berdiri tegak ketika melihat kapal, walau jaraknya masih jauh dan hanya berupa titik kecil. Aku menunggunya hingga benar-benar berlabuh.
            Duduk di pinggiran dermaga, panas, hujan, tak pernah kupedulikan. Yang kutahu aku hanya menunggu kapal itu datang. Terjepit-jepit oleh penumpang yang berburu turun dari kapal dan penumpang yang hendak naik ke kapal. Dan pada akhirnya selalu tinggallah aku sendiri berdiri di sini. Kapal itu berangkat lagi.... Selalu saja air mataku bergulir perlahan setiap kapal-kapal itu berangkat lagi tanpa mau menawarkan dan membawaku pergi.
            Hanya satu inginku. Berharap ada kapal yang khusus datang untuk menjemputku. Tanpa bersyarat, tanpa harus kumiliki tiket. Aku berharap kapal itu membawaku tanpa kuminta. Hanya membawaku. Berlebihankah? Aku hanya ingin pergi, terserah ke mana. Bawa saja aku, mau berlabuh di pulau tak berpenghuni atau tak berlabuh sekalipun, aku mau. Aku hanya ingin pergi. Aku sudah bosan dengan segala tingkah laku manusia di bumi. Aku terlalu lelah menyaksikan kelakuan mereka yang membuatku muak dan ingin memuntahkan seluruh isi perut bahkan dengan usus-ususku. Tapi itu semua tidak mungkin. Kapal hanyalah benda mati yang dikendalikan manusia. Kapal itu bisu dan aku juga bisu.
Selalu ada perahu kertas yang aku arungkan setiap di akhir hari perjuanganku itu. Sebagai tanda kegagalanku. Jika aku bisa berhitung, mungkin sudah berkumpul ratusan perahu kertas membentuk armada kapal yang besar dan kuat di lautan sana. Tapi, kata orang aku bodoh, aku tak bisa berhitung dan aku tak pernah mengenal angka. Hanya bisa berharap perahu-perahu itu bisa menyatu dan membesar. Lalu kembali ke dermaga ini untuk menjemput tuannya. Karena kapal yang selama ini datang dan pergi dihadapanku tidak pernah bisa mengerti. Ya, karena dia dikendalikan oleh manusia dan aku muak dengan manusia.
Perahu kertas yang aku siapkan hari itu kucengkeram kuat di balik punggungku. Karena ada yang menepuk pelan pundakku. Lelaki itu menatapku hingga ke dasar alam sadarku. Lalu ia bertanya, “sedang menunggu kapal? Tapi kapal itu tak kunjung datang membawamu?”
Aku masih diam. Dan aku memang hanya ingin diam. Ku pastikan masih tertancap kokoh di benakku bahwa aku muak dengan manusia tak terkecuali sosok di depanku ini. Dia lalu tersenyum lalu membungkuk dan mengeluarkan sebuah perahu kertas dari balik jaketnya. Lalu melarungkan perahu kertas itu. Aku terkejut.
“Kamu...”
“Aku juga pernah ingin pergi.”
Ia berdiri lagi dengan jarak kepala yang sangat jauh di atasku. Tangan halusnya mengusap pelan kepalaku. “Jangan terlalu lama menunggu. Ada saatnya kamu berhenti. Dan lihat ke sana...” lelaki itu menunjuk ke arah kumpulan manusia, ke arah daratan, bukan laut. “kembali ke daratan.” Lalu ia pergi.
Mungkin memang benar. Untuk gadis kecil berusia dua belas tahun sepertiku belum mengenal dunia sesungguhnya namun aku sudah bisa muak dan ingin pergi. Akulah si gadis kecil dengan pendirianku yang kuat dan tak tergoyahkan. Oh, kapalku.

            Tolong bawa aku pergi...*ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar