Suara angin
menggoyangkan daun-daun jambu yang dipadukan dengan kicauan burung di
sekitarnya adalah alunan musik merdu yang tersaji alami sore itu. Gynan sangat
menikmatinya. Duduk didahan pohon jambu air sambil sesekali ujung jarinya
menyentuh sayap kupu-kupu yang lalu lalang dipandangannya. Kupu-kupu yang
berasal dari kebun bunga matahari itu memang satu-satunya teman Gynan kala itu.
Gynan menyandarkan punggungnya di dahan sedikit condong.
Kupu-kupu tadi tak kunjung berhenti lalu lalang dipandangannya. Seolah ingin
mengajaknya bermain, bagai sudah akrab dengan Gynan yang baru saja kembali
mengunjungi tempat itu setelah selama 3 tahun menghilang entah tak tahu
rimbanya.
Gynan masih sangat ingat bagaimana peristiwa ‘serangan
badai salju’ itu terjadi. Semua itu bermula dari kejahilannya sendiri yang
curang dengan mengambil secara diam-diam buah jambu yang sudah dipetikkan oleh
salah satu sahabatnya. Dan ternyata dia mendapatkan balasan berupa serangan
badai salju itu. Serangan itu berupa guguran jambu-jambu air karena dahan
pohonnya digoyang-goyangkan oleh sahabatnya itu. Tapi anehnya, sahabatnya itu
menganggap jambu-jambu yang jatuh itu adalah salju.
Saat itu Gynan cukup panik. Tapi dia tak kehabisan akal
untuk kembali membalas. Gynan yang terlihat ketakutan mengambil posisi tiarap
sampai akhirnya badai salju itupun berhenti. Sahabat gadisnya itu sangat
terlihat panik dan merasa bersalah. Gynan ingat betul bagaimana ekspresi wajah
lucu sahabatnya itu.
Tanpa disadari, Gynan tersenyum sendiri mengingat kejadian
menggelikan itu. Heeehh. . .rasa rindu begitu menjalari seluruh peredaran
darahnya. Tapi, sekarang sudah berbeda.
“Berbeda sekali…semuanya sekarang beda…banyak yang
berubah…semoga kamu tidak…” Kata-kata beruntun yang terucap begitu tenang.
Perlahan. Terbata-bata. Ada sesuatu yang menyesakkan di setiap jedanya.
Kata-kata itu tidak berlanjut, Gynan menelan ludahnya yang tawar. Terasa sakit
sekali didadanya. Gynan merasakan perihnya kembali. Perpisahan 3 tahun yang
lalu adalah perpisahan terberatnya. Gynan masih sangat ingat, perpisahan itu
bukanlah perpisahan yang baik melainkan perpisahan yang buruk, karena berpisah
dalam hubungan yang tidak baik dan dibumbui pertengkaran hebat.
Lalu Gynan memilih untuk memejamkan matanya,
menahan perih. Sementara itu, tangannya menggenggam kotak kecil berwarna merah.
Menggenggamnya semakin erat. Tak terduga ada bulir bening yang meleleh di sudut
matanya.
***
Tangan kanan yang melentang itu menyentuh rimbunan
kelopak bunga matahari. Sambil memejamkan matanya, Alika sibuk menciumi
ini-itu.
“Hm..aroma bunga matahari plus aroma segar jambu air…”
Alika menempelkan segerombol jambu air yang ia bawa ke hidungnya.
“Di tambah lagi aroma kuaci yang sadaap..! hm…nyam-nyam…”
tambah Alika sambil menutup matanya dan masih mengendus-endus. Dia begitu
menikmati perpaduan bau-bau itu.
Keberadaannya
di tengah-tengah kebun bunga matahari membuatnya sulit terlihat. Karena dia
memakai dress warna kuning-orange dan menggunakan pernak-pernik bunga matahari.
Seperti jepit rambut bunga matahari, gambar dibajunya, gelangnya, hingga sepatu
yang ia pakai berhiaskan aksesoris bunga matahari. Gadis ini memang sangat
menyukai bunga matahari.
***
Langkah itu tergesa-gesa, namun kemudian menjadi sangat
pelan dan hati-hati. Kedua kaki yang menggunakan sepatu balet berwarna putih
itu terus melangkah menuju kearah selatan. Gadis yang memakai sepatu itu tampak
ceria, sesekali langkahnya berjingkat. Memandangi jutaan bunga matahari yang
bertebaran di tanah luas itu. Matanya makin berbinar ketika disambut dengan
puluhan kupu-kupu yang beterbangan disekitarnya. Entah mengapa gadis ini
terlihat sangat rindu pada tempat itu.
Kunjungannya kali ini akan digunakan sebagai pengobat
rasa rindunya…rasa rindu yang telah terkubur 3 tahun yang lalu. Tapi,
disela-sela keceriannya saat itu, terselip raut wajah yang datar. Entah merasa
kecewa, menyesal atau prihatin. Yang ia tahu, semuanya sangat berubah… gadis
bernama Leony itu menghentikan langkahnya lalu menatap lama ke arah jutaan
bunga matahari yang mekar dengan semangatnya.
Leony sangat ingat bagaimana kondisi 3 tahun yang lalu di
saat perpisahan itu. Tanah luas ini dulu adalah tanah lapang yang hanya
terdapat jutaan bunga ilalang yang putih bersih bersebaran dimana-mana. Kini
tak ada lagi yang tersisa. Hanya bunga-bunga matahari setinggi bahu orang
dewasa yang tumbuh dengan suburnya dan kupu-kupu yang terkadang hinggap
dikepalanya.
Leony meneruskan langkahnya yang tadi sempat terhenti.
Berjalan tenang dengan senyum yang terbit diwajahnya. Namun dalam fikirannya,
terus berkejaran mengingat kembali saat-saat 3 tahun silam. Bernostalgia dengan
tempat itu.
Tak lama ia melangkah, Leony kembali berhenti.
Pandangannya kini tertuju kearah 10 meter didepannya, dimana di sanalah tumbuh
dan berdirinya pohon jambu air. Raut wajahnya berubah menjadi ragu. Akankah ia
meneruskan langkahnya? Menuju pohon jambu air yang penuh dengan berjuta
kenangan masa lalunya, tempat dimana perpisahan itu terjadi??
Namun kakinya tetap kukuh melangkah walau perlahan.
“Agen Neptunus…??” kata-kata itu terucap begitu saja dari
mulut Leony ketika melihat seseorang sedang berbaring di atas pohon jambu.
Walau suaranya pelan, namun seseorang di atas pohon itu cukup jelas mendengar suara itu.
Gynan…ya, dia mendengar dengan jelas suara Leony.
Seketika matanya terbuka dan jantungnya berdegub kencang. Namun dia belum yakin
kalau itu suara Leony yang menyapanya dengan sebutan ‘agen neptunus’. Nama
panggilan mereka dulu. Tapi, entah apakah Leony sengaja memanggilnya atau hanya
kata yang keluar tanpa bisa dikontrol?
“Serangan badai salju…??” mata Leony masih belum berkedip
mengamati sesuatu di atas pohon itu. Kata-kata yang ia ucapkanpun keluar begitu
saja dan belum ia sadari.
Mendengar suara yang kedua kalinya, Gynan makin yakin. Ia
menegakkan duduknya. Karena saking kagetnya, Gynan hamper jatuh. Untung saja
tangannya cekatan memegang dahan disampingnya sehingga menggoyangkan seluruh
dahan yang lainnya. Belum sempat dia membenarkan posisi duduknya, pandanganya
tertumbuk pada sosok indah yang berdiri dengan mata beningnya tak jauh dari
pohon jambu.
“Agen Neptu…nus…??” kata-kata yang sama terulang lagi.
Tapi kali ini bukan dari Leony. Dari Gynan…
Rasanya Leony ingin mengambil aba-aba ‘balik kanan
grak.!!’ Lalu lari secepatnya meninggalkan tempat itu sambil nangis-nangis
nggak jelas. Namun ternyata dia tak bisa melakukan itu. Kaki Leony bagai
tertancap erat di tanah itu. Dan dia hanya bisa diam terpaku pada posisi ‘siap
grak..!’
“Leony.? Tunggu-tunggu…!” Gynan berucap dengan
terburu-buru sambil merosot turun dari pohon jambu dengan tergesa. Padahal
seharusnya walaupun Gynan turun dari pohon itu menghabiskan waktu yang lama
tanpa mengharapkan Leony menunggunya, Leony tidak akan pergi. Karena ia tak
mampu melangkahkan kakinya.
“Ka…kamu sejak kapan ada di sini?” kalimat itu ayng
terucap dari Gynan setelah mengumpulkan tenaga dan berhasil berdiri dengan
tegak dihadapan Leony yang masih bungkam.
“A…a-ku.?” Leony menunjuk dirinya sendiri, berusaha
meyakinkan bahwa benar dirinya yang dimaksud gynan.
“Iya…kamu…” Gynan memberikan kepastian dengan nada
canggung.
“Owh…baru saja.” Senyum tulus mengembang diwajah Leony.
“Kamu kok bisa ada di sini?”
“Radar neptunus mungkin..?” Leony membentuk jari kedua
tangannya seperti antena dan ia letakkan diatas kepalanya. Gynan refleks
langsung mengikuti gerakan Leony. Dia juga membentuk antena sebagai gerak
isyarat yang menandakan radar Neptunus.
Dulu, sewaktu mereka masih kecil, mereka mempunyai gank
beranggotakan 3 orang. Gank itu diberi nama Aquarius, karena mereka semua berzodiak
Aquarius. Dan dulu mereka yakin dengan adanya dewa Neptunus sang dewa air.
“Bukan…bukan mungkin. Ini memang radar Neptunus.” Sahut
Gynan mantap.
Beberapa detik kosong. Masing-masing hanya saling diam
dan hanya mata yang berpandangan. Bagai menemukan oasis yang pernah hilang
selama 3 tahun ini. Lalu Gynan menarik tangan Leony. Menuntunnya duduk di bawah
pohon jambu itu. Leony hanya menurut tanpa protes apapun. Tak cukup tenaganya
untuk sekedar menolak ajakan lelaki yang pernah menjadi sahabat sekaligus
kekasihnya itu.
Lama Leony terdiam menahan pelupuk matanya yang berat dan
hangat. Banyak detik ia lalui dengan menatap kesekeliling, ke arah lain.
Menyembunyikan raut wajahnya yang berubah.
“Ini…” kata yang terucap dari Gynan itu terdengar
menggantung.
Leony mengereyipkan matanya ketika melihat kotak kecil
berwarna merah yang Gynan tunjukkan. Apa lagi ketika Gynan membuka kotak itu,
Leony makin terkejut. Benda itu sangat bersejarah baginya. Namun sudah tak
bersamanya lagi sejak bertahun-tahun silam.
“Ini…aku berikan lagi untuk kamu…”
“Tapi…ini…”
“Ini milikmu..!” potong Gynan dengan nada yang tak tahu
mengapa bisa berubah tegas.
Napas
Leony jadi tak menentu, sesak sekali rasanya. Dadanya masih naik turun dan
terdengar isakan kecil.
“Ini
aku berikan untuk yang kedua kalinya…dan tak akan pernah ada untuk yang ketiga
kalinya, jadi ku mohon terimalah…” ucap Gynan dengan lembut dan berbisik.
Butir
yang ketiga jatuh meluncur di pipi Leony. Bergetar tangannya ketika menyentuh
benda itu lagi. Pita merah yang dulu pernah menjadi miliknya. Namun dulu harus
berpisah dan ia kembalikan pada Gynan.
“Nah,
kamu cantik seperti itu…” puji Gynan tulus sambil mengusap air mata di pipi
Leony setelah pita merah itu kembali dikenakan di rambut Leony.
“Aku
kangen sama kamu yang dulu, kita yang dulu, semua yang dulu…” Gynan berucap
sambil memandang bunga-bunga matahari. Sementara Leony masih belum mampu
berkata-kata.
“Tapi…kenapa
tempat ini jadi kebun bunga matahari ya? Padahal, dulu yang kita lihat hanyalah
bunga-bunga ilalang putih.”
“Ku
rasa, semuanya memang berubah bersama berjalannya waktu. Mungkin pemilik semua
lahan ini bosan melihat ilalang yang itu-itu saja. Ingin mencari yang baru…”
jawab Leony sekenanya.
“Hm…Alika.
Ya, dia yang dulu paling heboh ingin memiliki semua lahan ini. Agar kita bisa
bermain di sini sepuasnya. Kalau sekarang dia ada di sini pasti dia senang
melihat bunga matahari sebanyak ini.”
“Dia
di mana ya.?” Ada rasa sesak di dada Leony ketika melontarkan pertanyaan itu.
Dia tahu bahwa Alikalah dalang dari perpisahan tragis antara dirinya dan Gynan.
Tak
disadari oleh keduanya. Dari rimbunan pohon bunga matahari ada seseorang yang
mengamati. Dia menarik dan menghembuskan napas berat untuk mengumpulkan seluruh
tenaganya sebelum memberanikan diri keluar dari rimbunan.
“Haii…!!
Kejutaan…!!”
Sontak
Gynan dan Leony benar-benar terkejut. Lalu menatap aneh pada makhluk yang
keluar dari kebun bunga matahari.
“Peri
bunga matahari…??” Tanya Gynan, entah pada dirinya sendiri, pada Leony atau
pada makhluk itu.
Yah…mirip…”
tambah Leony yang matanya tak berhenti mengamati gadis yang pakaiannya dari
atas sampe bawah penuh dengan pernak-perbik bunga matahari.
“Tapi
kok nggak ada sayapnya..?”
“Sialan
kalian…!! Bukannya disambut dengan ceria malah diejekin…” omel Alika. Gadis
itu.
“Itu
bukan ejekan, itu pujian…” gelak tawa seketika pecah diantara Gynan dan Leony.
Sedangkan Alika masih bersungut kesal.
“Kalian
kok bisa ada di sini?” Tanya Alika.
“Radar
Neptunus..!!” Gynan dan Leony kompak menjawab sambil membentuk antenna
dikepalanya.
“Wah,
jadi kita bertemu karena radar Neptunus…?” Alika ikut-ikutan membentuk antenna.
Alika
lalu berjalan mendekat kearah Gynan dan Leony. Berpelukan dengan Leony dan
saling mengucapkan rasa rindu serta kata-kata lainnya. Terlepas dari pelukan
Leony. Gynan kemudian memeluk Alika sembari berkata…
“Kamu
cantik banget, beneran kayak peri bunga matahari. Kamu kuat, tegar dan kokoh
seperti bunga matahari itu. Tumbuh tinggi tanpa ragu dan memunculkan bunga yang
begitu mengagumkan…aku bangga sama kamu…” Gynan mengucapkan kata-kata itu
sangat pelan dan seolah tulus dari hatinya. Alika mendengarnya dengan jelas.
Bahkan napas Gynan terasa berhembus ditelinganya dan suara itu bergetar.
Alika
sangat bahagia saat itu. Ia sungguh tak menyangka dapat bertemu dengan kedua
sahabatnya itu. Dan terlebih Gynan mengucapkan kalimat yang membuat perasaannya
tenang itu.
Namun,
baru saja Alika merasakan bahagia, tiba-tiba ia malah terkejut. Pita merah itu.
. .telah tersemat kembali di rambut Leony. Sesak sekali. Alika hanya bisa
menelan ludahnya yang bagai menelan sebutir bakso yang belum sempat terkunyah.
Sakit sekali.
“Woe…!
Apaan nih.??”
Alika
terkejut sadar dari lamunanya ketika mendengar teriakan Gynan. Dan ternyata
tangan kanannya yang memegang buah jambu air dan sekantong kuaci sudah diangkat
tinggi-tinggi di udara oleh Gynan.
“Eiit…ok
ok, aku jelasin, jadi aku harap kalian duduk yang manis ya…” gaya berbicara
Alika sudah benar-benar mirip dengan peri yang akan memberikan petuah pada dua
sejoli itu. Setelah Gynan dan Leony duduk, Alika mulai menjelaskan.
“Ini
buah jambu air yang paling merah, paling besar, paling manis, paling segar,
paling…”
“Paling
bohong.!!” Potong Leony sambil cekikikan.
“Hu-uh,
dengerin dulu.!” Kesal Alika.
“Leony
sayang…dengerin aja dulu, nurut sama peri, kasian tuh perinya ngambek…” ujar
Gynan yang juga ikut cekikikan.
Deegg..!!
Jantung
Alika serasa copot mendengar dua kata pertama yang diucapkan Gynan. “Leony
sayang…??” ulangnya dalam hati. Sakit lagi yang ia rasakan. Alika sadar, ia
terlalu cemburu pada kedua sahabatnya itu. Tapi ia tak bisa bohong. Sampai saat
ini, rasa itu masih sama pada Gynan. Rasa cinta.
Alika
juga ingat, dialah yang menyebabkan pertengkaran diantara Gynan dan Leony saat
perpisahan kala itu. Gynan dan Leony mungkin juga tahu tentang itu. Tapi mereka
bersikap biasa saja saat ini. Itu yang membuatAlika sedikit merasa lega.
“Woe.!
Kok bengong sih? Lanjut dong.” Ujar Gynan dengan mata berbinar. Alika merasakan
obat penenang hatinya dari tatapan mata Gynan. Alika langsung bersemangat untuk
cerita lagi.
“Nah,
yang ini adalah kuaci, snack untuk hari ini…”
“Eh,
tunggu-tunggu. Dari mana kamu dapat jambu air? Kan sekarang nggak berbuah.”
Tanya Leony sambil mendongakkan kepalanya kearah rimbunnya daun jambu.
“Owh,
begini, buah jambu ini aku ambil dari neri peri khusus buat kalian
sahabat-sahabatku. Dan aku sebagai peri bunga matahari, makanya aku udah
siapain kuaci paling lezat untuk tamu-tamu terhormatku yang sudah mau singgah
di kebunku…”
“Haa??
Kebun kamu?? Maksudnya? Kok aku jadi nggak ngerti sih?” pertanyaan beruntun
dari Gynan.
“Begini
kawan-kawanku…perhatikan ya, jangan sampai satu katapun yang kalian lewatkan.
Ini…dari sini ke sana, dari sana ke sana lagi, semuanya milikku, kebunku…
taraa…!!” jelas Alika dengan bersemangat dan berakhir dengan posisi kedua
tangan melentang, kaki kanan ditekuk ke atas dan tampang wajah unyu.
“Ha?
Beneran??” Gynan langsung loncat dan memeluk Alika. Leony terperanjat, Alika
pun kaget.
“Gak
nyangka keinginan kamu kesampaian juga, selamat yaa…berarti kita bisa sepuasnya
di sini dong.??” Ujar Gynan dengan ceria.
“Em,
eh, iya.” Alika melepaskan pelukan itu ketika melihat perubahan raut wajah
Leony dan pita merah yang menyesakkan dadanya itu.
“Udah
deh, ayo kita nikmati makanan yang tersedia dari kebunku ini, dibawain peri
cantik lagi, haha…” Alika terkekeh sendiri disusul Leony dan Gynan.
Alika
buru-buru meletakkan jambu air yang sudah ia gigit dan langsung membentuk
antenna dikepalanya lalu berteriak, “Radar Neptunuuus…!!”
Gynan
dan Leony mengikuti gerakannya dan juga sama-sama mengucapkan “Radar
Neptunuuss…!!”
Begitulah
ketiga sahabat Aquarius itu bisa bersama lagi, ceria algi. Dengan bersama-sama
membentuk antenna radar Neptunus, bersatulah kembali ketiga sahabat Aquarius
itu.
Namun
ada satu yang tak bisa merasakan kebahagian sepenuhnya. Alika…ia harus menutupi
lagi semua rasanya, semua cintanya. Demi persahabatan yang jauh lebih indah
dari segalanya. Karena bagaimanapun juga, pita merah lambing cinta Gynan pada
Leony, pita merah yang sangat ia inginkan bisa merekat dirambutnya telah
tersemat abadi dan kembali pada pemiliknya…Leony...*ET
Eby, diedit lagi. masih banyak kata-kata yang salah ketik.
BalasHapusokeeh... :)
Hapus