Jumat, 19 Juni 2015

INVISIBLE

#Klop


  
(Catatan harian 08 Juni 2015 - malam)
 
So your confidence is quiet…

To them quiet looks like weakness but you don’t have to fight it…


Mataku masih mengerjap-ngerjap dalam keremangan ruang kamar. Entah waktu itu sudah pukul berapa, tengah malam kah atau menjelang dini hari. Televisi menyala tanpa suara, menampilkan gambar bergerak yang bisu. Atau saya yang tidak mendengar? Kupingku tersumpal earphone. Sebuah lagu sedang melantun menguasai ruang pendengaran. Saya sedang hanyut dalam keindahan liriknya yang lemah gemulai.

Begitu indahnya terdengar hingga rasanya mirip menusuk-nusuk dadaku. Thanks Lisa yang sudah merekomendasikan lagu ini kepada makhluk awam berwujud saya. Salam Aquarius!

Masih jelas di ingatan, beberapa jam yang lalu kita sedang ada di rumahnya Wulan, ada Yunar juga di sana #PaksaSebut. Agendanya adalah mengedit tugas Promosi dan Periklanan, tapi pembahasan malah ngetan-ngulon. Di sela-sela obrolan, saya mempunyai ide, saya ingin memperbarui playlist-ku. Siapa tahu ada lagu yang cocok untuk masuk di playlist yang sudah ada.

Banyak yang kau kirimkan, Lisa. Tapi ada satu yang sangat kamu sarankan, Invisible. Buru-buru kucari lirik dan translatenya. Dengan teliti saya membaca dan meresapinya hingga kau menegurku untuk jangan terlalu menghayati. Ah, saya memang begitu.

Satu kesimpulanku saat itu juga, lagu ini akan masuk di playlist berjudul ‘Berlayar Jauh’, padahal tadinya saya berniat memasukkannya ke playlist ‘Naik-Naik ke Puncak Gunung’ tapi gak jadi.

Invisible ada di urutan kedua dalam playlist itu. Urutan pertama masih Maliq D’essential – Semesta. Kalau Lisa merekomendasikan Invisible, saya menyarankan lagu Semesta untuk di dengarkan saat pagi hari, di pinggir laut, ataupun ke puncak gunung, pokoknya semua aktivitas di outdoor. Listen and feel it!

Sudahlah, jangan terlalu banyak kata dulu. Selamat menikmati musik anda (mungkin bisa dinikmati dengan setangkup roti isi sari kurma).*ET

Senin, 08 Juni 2015

Di Bahumu Aku Tertawa




Lihatkan sampulnya? Mungkin kamu bertanya, sisi apanya yang bagus tentang novel itu? Jadi begini, novel mungil setebal 222 halaman ini saya beli 18 Mei lalu dengan harga 15.000. Maklum ada pesta buku murah di Gramedia waktu itu. Novel ini karya Rini Veronica.

Yang bikin saya naksir bukan tentang judul besarnya yaitu 'Jogja' tapi caption di bawahnya 'di bahumu aku tertawa'. Widih... asyik, jadi gak sabar bacanya, apa lagi setelah baca sinopsis di sampul belakang, sepertinya menarik.

Begitu baca prolognya saya langsung tahu. Ini novel genrenya teenlit!! Ampun, dah. Sedikit menyesal juga (saya tidak pernah benar-benar menyesal membeli buku apapun). Bagi yang seusia remaja, novel ini bolehlah. Tapi untuk saya juga masih cocok kok, kan masih remaja. Hihihi... Tapi sumpah, saya sebenarnya anti teenlit!

Tapi anehnya, saya masih juga terus membaca. Terkadang saya enek juga sih kalau mulai ada kata atau kalimat ababilnya. Secara gitu, saya selalu bandingin dengan tulisannya Dee. Hehe, maap mba Rini.

Tapi (lagi), saya merasa ada sesuatu yang lumayan menarik dari kisahnya. Tokohnya yaitu Renata, Nino, Santiago, Prima, Piko, Eliana, Joey, Jonathan, Ben, Mami Ndut, dan lainnya.

Saya ceritakan sesingkat-singkatnya saja, ya. Re (Renata) sahabatan sama Nino. Karena suatu kondisi, Re terpaksa tinggal serumah sama San (Santiago). Re merahasiakan itu dari Nino, Prima dan Piko. Re mengaku kalau dia tinggal serumah sama Santi (cewek). Itu dilakukan karena Re terikat janji sama ayah San untuk menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya San itu gay!

Tapi ternyata, dari awal Re jatuh cinta sama San. Dan dari awal pula Nino sangat mencintai Re. Re sangat merasa bersalah pada Nino karena tidak bisa membalas cintanya. Dan Re dilema karena dia mencintai laki-laki yang 'salah'. San pacaran sama Ben.

Rahasia itu terbongkar lewat Eliana, si gadis centil yang suka ngember. Persahabatan Nino dan Re hancur, begitu pula dengan Prima dan Piko. San malah terjerumus narkoba akibat ulah Ben dengan Mami Ndut sebagai bandarnya. Apa lagi lewat sekenario murahannya, Nino ketahuan malah pacaran sama Eliana.

Di saat seperti itulah Re menjalani kehidupan baru. Dia kini lebih sering bersama Joey si lelaki kaku dan misterius, dia menceritakan semua keluh kesahnya. Bahkan tinggal di rumah Joey. Mereka berdua jadi rekan kerja dalam bidang fotografi.

Eits! Ada hal lain yang membuat saya lebih greget. Dari awal cerita sampai ending, hal ini lah yang saya tunggu-tunggu kepastiannya. Apa hayo? Selain curhat ke Nino, San sampai pada Joey, Re punya teman curhat lain di dunia maya. Nama akunnya <DemitGanteng>. Wiih...

DemitGanteng inilah yang bikin saya penasaran. Di awal cerita saya menebak dia adalah Nino. Mendekati pertengahan saya balik menduganya jadi San. Tapi itu tidak lama. Saya jadi menuduh Joey! Dan setelah Re tinggal serumah bareng Joey, saya malah menerka si DemitGanteng itu adalah Jonathan (kakak Joey). Dari pertengahan sampai nyaris akhir, Joey dan Jonathan berada di posisi seimbang. Saya betul-betul tidak bisa menebaknya!

Di empat lembar terakhir adalah masa-masa menegangkan yang akan membongkar identitas DemitGanteng. Di situlah chat terpanjang antara <DemitGanteng> dan <ThinkerBell> (Re). Chat di mana Re berusaha mengungkap siapa sebenarnya teman curhatnya itu?

Halaman demi halaman saya lalui dengan was-was, penasaran, gak sabaran. Semakin jauh kalimat-kalimat itu saya baca, semakin banyak saya berseru, "tuh kan, tuh kan!" atau "ih, seriusan?!" padahal belum ketahuan itu siapa orangnya. Hahaha....

Sampai akhir chatnya masih belum juga disebutkan siapa namanya. Sama denganku, di obrolan itu Re awalnya menebak nama Nino kemudian Joey. Tapi semuanya salah. Re kemudian mengakhiri chating itu dengan senyum. Dia sudah tahu orangnya. Sama Re, saya juga sudah tahu. Hihihi....

Begini nih cuplikan setelah chating diakhiri:

Aku tiba di rumah sudah malam, kulihat Joey ketiduran di sofa, pastilah dia kelelahan, aku berhenti di depan kamar Jonathan, dan melihat ke dalam. Manusia kumuh berkacamata itu sedang sibuk mengetik, aku melihat layar komputernya, kemudian aku tersenyum, tak mau mengganggu keasyikannya.


"Aku hidup di masa kini, bukan masa lalu atau masa datang, tapi aku tidak tahu kamu hidup di mana..." gumamku.


Jonathan menoleh padaku, tersenyum kecil sambil mengedipkan sebelah matanya. Isyarat kecil itu sudah cukup bagiku untuk menemukan kunci rumah mayanya yang tak tertembus itu. Jonathan berpaling pada layar komputernya seolah aku tidak berada di luar kamarnya, menunggu sapaannya.

Oh Tuhan... saya sampai klepek-klepek. Karena saking gak nyangkanya, saya sampai memekik terkejut, lalu ketawa-ketawa konyol sambil nepuk-nepukin tangan di kasur.

Itulah kerennya novel ini. Bikin pembaca menebak-nebak. Memang sih gaya penulisannya belum begitu bagus. Tapi kalau disaring sampai yang paling inti, kisah ini luar biasa. I love it!

Eh, tapi ngomong-ngomong, mana nyambungnya sama caption 'di bahumu aku tertawa'? Nah, itu yang saya pertanyakan. Tidak ada secuil pun yang menyinggung itu. Saya juga tidak mengerti. Atau mungkin saya yang tidak jeli?

It's ok lah... jadi gak nyesel beli. Hehe....*ET

Sabtu, 06 Juni 2015

Mulai Nakal, Katanya...



 (Catatan Harian 05 Juni 2015)

Saya belum merasa berada di puncak kenakalan. Tapi sudah terlanjur banyak teman yang bilang bahwa sekarang saya mulai 'nakal'. Nakal dalam hal apa sih? Kuliah! Malas kuliah! Malas kerja tugas! Malas bangun pagi! Malas tepat waktu! dan malas-malas lainnya. Saya tahu itu tak patut untuk dipelihara. Tapi wajarkan ketika manusia berada di titik ketermalasan?

Menurut hasil survei, saya dikatain ‘mulai nakal’ pasca keluar dari rumah sakit. Sekitaran 3 minggu yang lalu. Apa benar ini memang karena faktor break? Semuanya jadi malas. Ke mana Eby yang dulu? Atau jangan-jangan inilah Eby yang sebenarnya?

Hari ini sebenarnya gak ada kuliah, tapi tetap harus datang karena ada rapat di komunitas fotografi (Fragma Komunikasi). Apakah saya datang? Oh, tidak…saya hanya menghabiskan waktu untuk tidur, membaca, menulis dan nonton. Nah! Ada yang aneh, nih. Saya memang sadar, saya mulai malas akut pasca sakit, tapi kegiatan membaca dan menulisku makin lancar. Buktinya sekarang saya posting tulisan tiap hari. Buku sudah saya baca sebanyak 6 buah (dengan genre yang berbeda). Walaupun saya malas di bidang kampus, kuliah dan tugas. Tapi kegiatan membaca dan menulisku malah sangat positif kan?

Pikiran ngaco mulai menghantui. “saya kayaknya emang sudah klop di membaca dan nulis, deh. Ada buktinya kan?” Dan saya juga sudah terlalu sering saya membatin seperti ini, “kapan ya seluruh waktuku dalam sehari itu hanya untuk membaca dan menulis? Tanpa harus memikirkan hal-hal lain? Ah, andai saya sudah selesai kuliah, andai saya gak kuliah, andai saya sudah jadi penulis best seller, andai saya kerja jadi penulis tok nanti. Pengen deh jadi penulis seutuhnya. Kapan ya?” Ituu… terus yang bolak-balik saya pikirkan.

Merasa harus keluar dari gua persembunyianku. Sore ini saya pergi ke kota lama, ke pinggir laut tepatnya. Sudah lama kebiasaanku ini saya tinggalkan. Begitu sampai ceritanya mau nulis di kertas calon perahu kertasku. Tapi sayang, komponen pentingnya lupa bawa, pulpen. Akhirnya saya bikin list lagu untuk saya dengarkan. Waktu itu lagunya Maliq D’essential – Semesta, sejuk sekali di telinga sambil memandangi laut, segala aktivitas pelabuhan, kapal-kapal yang hilir mudik. Tak menghiraukan sekelompok orang yang tengah memancing di samping kananku. Mengabaikan hiruk pikuk anak-anak di samping kiriku.

Lama-lama saya tertarik juga. Kulihat samping kiriku, sekitar 5 anak laki-laki sedang sibuk meributkan sesuatu. Ternyata tali layang-layangnya tersangkut di pohon dan layangan itu jatuh di laut. Heboh sekali mereka berusaha menariknya. Begitu berhasil, mereka bersorak senang sekali. Saya tersenyum, bahagia itu memang sederhana, ya? (bahagianya anak-anak, hehe).

 
layangan yang sudah berhasil diangkat dari air tapi talinya masih tersangkut di pohon.

Lalu si anak yang paling gendut bernyanyi dengan keras. Saya terkejut. Saya sampai harus melepas headset untuk mendengarkan dengan seksama lagu apa yang dinyanyikannya. “… Pelangi, pelangi… ciptaan Tuhan…” senyumku makin merekah. Si anak itu mengulangi lagi lagunya. Saya terharu sekali. Baru kali ini di kota saya mendapatkan anak seusia 10 tahun menyanyikan lagu Pelangi, bukan lagu dewasa, apalagi yang jedag-jedug gak jelas. Saya terkikik menahan tawa mendengar ada yang salah liriknya. Tapi anak itu santai saja dan terus bernyanyi dengan riang. Kalau gak salah, sebanyak 3 kali lagu itu dia nyanyikan.

Pandanganku kembali ke laut, headset kembali terpasang. Waktu itu lagunya Glenn Fredly ft. Monica & Is ‘Payung Teduh’ yang judulnya Filosofi dan Logika. Tiba-tiba… Braakk!! Saya langsung menoleh refleks karena kaget. Suara itu tepat di belakangku. Ternyata ada mobil yang mau parkir tapi ban depannya malah masuk ke lobang. Para gerombolan lelaki yang sedang memancing tadi langsung datang membantu. Si pemilik mobil lalu memberikan uang 25.000 untuk mereka.


Awalnya mereka sok-sok gak enak, tapi diterima juga. Salah seorang bertanya, “anaknya kita kah ini pak?” sambil nunjuk saya. Saya kaget! Tepi, belum sempat berkata-kata, si om pemilik mobil langsung menyahut.

“Iya, anak saya ini, mau saya jemput.” Ujarnya mantap sambil mengangguk-angguk.

Saya makin kaget. Lalu tertawa ceria… sekali. Mungkin kalau orang lain akan berkata, ‘bukan, bukan! Saya bukan anaknya.’ Tapi saya biarkan saja, nikmati saja, sudah terlanjur. Hahaha…

“Oh, anaknya…” gumam yang bertanya tadi. Mereka percaya pemirsa! Hahaha… saya makin heboh tertawa.

Setelah mereka pergi, Om itu duduk di sampingku. “Tidak apa-apa kan, saya bilang tadi anakku? Ya biar saja mereka tahu begitu.”

“Hehe, nda apa-apa ji om.” Kemudian kita saling menyebutkan nama. Bertanya hal-hal yang standar, seperti ‘kuliah di mana?’ ‘jurusan apa?’ ‘semester berapa?’ ‘tinggal di mana?’ dan sebagainya.

Awalnya kita duduk berhadapan, formal sekali suasananya. Lama kelamaan kita sama-sama menghadap ke laut. Percakapan mulai mirip curhat. Kita bagai teman seusia. Dengan pandangan mata yang sama-sama lurus ke depan, entah sedang melihat warna kuning kemerahan di langit, kapal yang hilir mudik, air laut, daratan di seberang, atau hanya tatapan kosong. Saya malah curhat sama om itu. Tentang alasanku datang kemari, tentang semua ketermalasanku, tentang membaca dan menulis, tentang tanggung jawab….

Si om mulai menanggapi, dia menceritakan tentang anak-anaknya. “Saya punya anak tiga ekor, jantan semua…” belum selesai ucapannya saya malah tertawa, hilang sudah suasana dramatis tadi. “Benarkan?” om itu bicara lagi karena melihatku merespon ucapannya dengan tawa. Saya mengangguk.

Jadi, inti ceritanya adalah si om ini mendidik anak-anaknya untuk tidak tergiur jadi PNS. Usahakan jangan jadi bawahan orang, jangan dikasih gaji tapi kamu yang memberi gaji. Si Om semangat membimbing anak-anaknya menjadi pemimpin. Memberi pelajaran tentang membedakan isi otak, pemikiran, ucapan dan tingkah laku antara pemimpin dan buruh. Dan yang pasti, tentang tanggung jawab.

Lalu dia bertanya, saya berapa bersaudara dan anak ke berapa. “Saya punya adik laki-laki, saya anak pertama…” jeda sebentar, saya menelan ludah yang rasa sakitnya bagai menelan sebutir bakso yang belum terkunyah, “…tanggung jawabnya besar…” lanjutku pelan sekali, mataku sudah berkaca-kaca.

Om itu lalu memberikan kata-kata untuk menguatkan. Dia tiba-tiba jadi motivator. Waktu itu ada kapal yang datang, “kapal ferry kah itu?” tanyanya tiba-tiba. Saya menggeleng tidak tahu. Di hari yang mulai remang-remang, si om berusaha membaca tulisan di badan kapal. Saya lupa apa yang dia baca, ada tiga kata kayaknya. “Betul?” dia memintaku mengoreksi apa yang dia baca.

Saya menggeleng lagi, “saya tidak bisa baca om.” Eh, dia malah bingung. “Maksudku, tidak bisa jelas lihat jarak sejauh itu.”

Dia lalu tertawa, “berarti kamu kalah dong sama saya, umurku 54 tahun tapi mataku malah lebih bagus. Jaga baik-baik mata itu, apalagi sampai tua nanti…”

Jleeb!! Saya langsung mengkerut. Obrolan itu masih berlanjut hingga malam benar-benar sudah pekat. Lampu-lampu kapal sudah menyala dari tadi, menampilkan warna-warna indah di permukaan air. Ada ungu dan kuning, indaah… sekali. Telapak kaki dan tangan mulai berkerut-kerut kedinginan. Kami berpisah.

Tunggu, tarik napas dulu. Heeeeehh…. Apakah saya sudah nyaman? Entahlah, saya hanya merasa sedikit lebih baik. Sampai kapan saya mau nakal terus? Entahlah, masih terlalu banyak yang berkecamuk dan mengambang tak tentu rimbanya. Inilah namanya puncak galau (saya ingin cari teman senasib).*ET

Jumat, 05 Juni 2015

Berlayar Bersama Rindu






Rindu. Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

Bagaimana dengan sedikit sinopsis di atas? Menarik kan? Awal saya tahu novel terbaru Tere Liye ini, kalau dilihat dari judul dan sinopsisnya, saya menyangka bahwa novel ini akan sangat mendalam membahas tentang sepasang kekasih, perjalanan cinta dan tentunya RINDU.

Tapi ternyata kurang tepat, sangat kurang tepat. Ada yang membuat saya terkejut dengan setting tempat kisah itu. Sebuah kapal! Bernama Blitar Holland, kapal yang membawa para penumpang haji. Mana bisa pembaca menebak bahwa kisahnya akan seperti itu coba?

Perjalanan yang panjang, kisah yang panjang. Dulu, di tahun 1938, jamaah haji melaksanakan ibadah haji selama 9 bulan. Ya, selama itu lah. Di atas kapal - yang berubah menjadi nusantara mungil - itu ada 5 pertanyaan mendapatkan jawaban pasangannya.

Saya perkenalkan para tokohnya. Ahmad Karaeng (Gurutta - ulama besar yang sangat disegani), Daeng Andipati (ayah Elsa dan Anna), Bonda Upe (guru mengaji), Ambo Uleng (kelasi tangguh), pasangan Mbah Kakung dan Mbah Putri. Serta tokoh pendukung lain seperti Kapten Philips, Istri Daeng Andipati, Sergeant Lucas, Ruben si Boatswain, Gori penjagal, Chef Lars, Elsa dan Anna. Dan masih banyak lagi. Begitu tahu ada dua gadis kecil Elsa dan Anna (kakak-adik) mengingatkanku pada film Frozen. Kok bisa sama ya? Mungkinkah Tere Liye terinspirasi dari sana? Entahlah… hanya dia yang tahu.

Pertanyaan pertama dari Bonda Upe. Masa lalunya yang kelam membuatnya tidak bebas menjalani hidup yang sekarang. Kesalahan dan aib itu terus menghantui. Gurutta-lah yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Berikutnya dari Daeng Andipati. Orang yang selalu terlihat cukup dan bahagia. Tidak ada satu pun kekurangan dalam hidupnya. Tapi siapa sangka dia menyimpan dendam yang begitu sangat besar untuk orang yang seharusnya dia sayangi - sang Ayah. Gurutta menjawab pertanyaanya.

Ambo Uleng, pelaut tangguh dari Makassar yang punya banyak pengalaman di lautan luas. Ikut berlayar Blitar Holland hanya untuk pergi jauh, berusaha melupakan sang kekasih hati. Tapi ia patut malu pada Gurutta yang memiliki kisah cinta lebih pahit. Gurutta kembali memberi nasihat terbaiknya.

Ada sepasang manusia - Mbah Kakung dan Mbah Putri. Lambang cinta sejati yang tersuguh tiap hari di kapal itu. Sampai ketika Mbah Putri meninggal dalam sujud sholat Subuhnya di perairan Samudra Hindia, jenazahnya terpaksa dikuburkan ala pelaut (ditenggelamkan dalam laut). Ini langsung jleb!! banget di hatiku. Sesak membayangkan tubuh itu diikat bandul-bandul logam sebagai pemberat, bunyi berdebam di permukaan laut, lalu perlahan semakin turun dan menghilang. Oh, bagaimana perasaan kekasih hatinya? Mbah Kakung dilanda kesedihan. Janjinya untuk menginjak tanah suci, menghadap Allah bersama tak bisa diwujudkan. Gurutta kembali hadir sebagai penyejuk hati, penjawab pertanyaan.

Pertanyaan terakhir malah datang dari Gurutta sendiri. Selama ini dia yang menjawab keluhan dan pertanyaan, yang menunjukkan jalan terang, justru dia dilanda pertanyaan besar yang tak bisa ia jawab. Sungguh kemunafikan atas dirinya sendiri, bukan? Peristiwa kapal diserang perompak, membuat Ambo Uleng menyadarkan sang Gurutta.

Oke, itulah sedikit potongan kisahnya.

Dari semua tokohnya, saya sangat mengidolakan Anna. Gadis periang, pintar, dan selalu banyak tanya. Dia sangat membantu menghidupkan jalan cerita. Di paragraf penutup pun yang dibahas juga Anna, gadis kecil dengan wajah bulat menggemaskan.

Novel yang cerdas. Membuat emosi naik-turun. Saya kagum dengan data-data dan hasil surveinya (entah benar atau tidak, tapi menurutku pasti ada surveinya, sih). Tapi ada beberapa adegan yang diulang-ulang, membuat pembaca bosan. Ya, wajar, sih. Berminggu-minggu di kapal, aktivitasnya ya itu-itu saja.

Tapi kalau dipikir-pikir, di mana hubungannya dengan Rindu? Tetap ada, walau sebenarnya tidak begitu terlalu diperlihatkan jelas. Mungkin sengaja, biar pembaca bisa menarik makna dan kesimpulan sendiri. Yang pasti, novel ini sudah banya memberiku pelajaran tentang kehidupan. Tapi selain itu, pelajaran tentang segala aktivitas, peralatan dan semua komponen kapal lah yang sangat saya banggakan. Saya jadi jauh lebih banyak tahu.

Jadi rindu melayarkan perahu kertas di laut. Pelayaran yang panjang, membawa keluh-kesahku, rasa syukurku, dan RINDUku, untuk mereka… yang jauh di seberang sana. Dan untuk seseorang lagi yang sampai saat ini bahkan belum pernah saya kenal. (cie… puitis).*ET