(Catatan Harian 05 Juni 2015)
Saya belum merasa berada di
puncak kenakalan. Tapi sudah terlanjur banyak teman yang bilang bahwa sekarang
saya mulai 'nakal'. Nakal dalam hal apa sih? Kuliah! Malas kuliah! Malas kerja
tugas! Malas bangun pagi! Malas tepat waktu! dan malas-malas lainnya. Saya tahu
itu tak patut untuk dipelihara. Tapi wajarkan ketika manusia berada di titik
ketermalasan?
Menurut hasil survei, saya
dikatain ‘mulai nakal’ pasca keluar dari rumah sakit. Sekitaran 3 minggu yang
lalu. Apa benar ini memang karena faktor break?
Semuanya jadi malas. Ke mana Eby yang dulu? Atau jangan-jangan inilah Eby yang
sebenarnya?
Hari ini sebenarnya gak ada
kuliah, tapi tetap harus datang karena ada rapat di komunitas fotografi (Fragma
Komunikasi). Apakah saya datang? Oh, tidak…saya hanya menghabiskan waktu untuk
tidur, membaca, menulis dan nonton. Nah! Ada yang aneh, nih. Saya memang sadar,
saya mulai malas akut pasca sakit, tapi kegiatan membaca dan menulisku makin
lancar. Buktinya sekarang saya posting
tulisan tiap hari. Buku sudah saya baca sebanyak 6 buah (dengan genre yang
berbeda). Walaupun saya malas di bidang kampus, kuliah dan tugas. Tapi kegiatan
membaca dan menulisku malah sangat positif kan?
Pikiran ngaco mulai menghantui. “saya
kayaknya emang sudah klop di membaca dan nulis, deh. Ada buktinya kan?” Dan
saya juga sudah terlalu sering saya membatin seperti ini, “kapan ya seluruh
waktuku dalam sehari itu hanya untuk membaca dan menulis? Tanpa harus
memikirkan hal-hal lain? Ah, andai saya sudah selesai kuliah, andai saya gak
kuliah, andai saya sudah jadi penulis best
seller, andai saya kerja jadi penulis tok
nanti. Pengen deh jadi penulis seutuhnya. Kapan ya?” Ituu… terus yang
bolak-balik saya pikirkan.
Merasa harus keluar dari gua
persembunyianku. Sore ini saya pergi ke kota lama, ke pinggir laut tepatnya.
Sudah lama kebiasaanku ini saya tinggalkan. Begitu sampai ceritanya mau nulis
di kertas calon perahu kertasku. Tapi sayang, komponen pentingnya lupa bawa,
pulpen. Akhirnya saya bikin list lagu untuk saya dengarkan. Waktu itu lagunya
Maliq D’essential – Semesta, sejuk sekali di telinga sambil memandangi laut,
segala aktivitas pelabuhan, kapal-kapal yang hilir mudik. Tak menghiraukan
sekelompok orang yang tengah memancing di samping kananku. Mengabaikan hiruk
pikuk anak-anak di samping kiriku.
Lama-lama saya tertarik juga.
Kulihat samping kiriku, sekitar 5 anak laki-laki sedang sibuk meributkan
sesuatu. Ternyata tali layang-layangnya tersangkut di pohon dan layangan itu
jatuh di laut. Heboh sekali mereka berusaha menariknya. Begitu berhasil, mereka
bersorak senang sekali. Saya tersenyum, bahagia itu memang sederhana, ya?
(bahagianya anak-anak, hehe).
 |
layangan yang sudah berhasil diangkat dari air tapi talinya masih tersangkut di pohon. |
Lalu si anak yang paling gendut
bernyanyi dengan keras. Saya terkejut. Saya sampai harus melepas headset untuk mendengarkan dengan
seksama lagu apa yang dinyanyikannya. “… Pelangi, pelangi… ciptaan Tuhan…”
senyumku makin merekah. Si anak itu mengulangi lagi lagunya. Saya terharu
sekali. Baru kali ini di kota saya mendapatkan anak seusia 10 tahun menyanyikan
lagu Pelangi, bukan lagu dewasa, apalagi yang jedag-jedug gak jelas. Saya terkikik menahan tawa mendengar ada
yang salah liriknya. Tapi anak itu santai saja dan terus bernyanyi dengan
riang. Kalau gak salah, sebanyak 3 kali lagu itu dia nyanyikan.
Pandanganku kembali ke laut,
headset kembali terpasang. Waktu itu lagunya Glenn Fredly ft. Monica & Is ‘Payung
Teduh’ yang judulnya Filosofi dan Logika. Tiba-tiba… Braakk!! Saya langsung menoleh refleks karena kaget. Suara itu
tepat di belakangku. Ternyata ada mobil yang mau parkir tapi ban depannya malah
masuk ke lobang. Para gerombolan lelaki yang sedang memancing tadi langsung datang
membantu. Si pemilik mobil lalu memberikan uang 25.000 untuk mereka.
Awalnya mereka sok-sok gak enak,
tapi diterima juga. Salah seorang bertanya, “anaknya kita kah ini pak?” sambil
nunjuk saya. Saya kaget! Tepi, belum sempat berkata-kata, si om pemilik mobil
langsung menyahut.
“Iya, anak saya ini, mau saya
jemput.” Ujarnya mantap sambil mengangguk-angguk.
Saya makin kaget. Lalu tertawa
ceria… sekali. Mungkin kalau orang lain akan berkata, ‘bukan, bukan! Saya bukan
anaknya.’ Tapi saya biarkan saja, nikmati saja, sudah terlanjur. Hahaha…
“Oh, anaknya…” gumam yang
bertanya tadi. Mereka percaya pemirsa! Hahaha… saya makin heboh tertawa.
Setelah mereka pergi, Om itu
duduk di sampingku. “Tidak apa-apa kan, saya bilang tadi anakku? Ya biar saja
mereka tahu begitu.”
“Hehe, nda apa-apa ji om.”
Kemudian kita saling menyebutkan nama. Bertanya hal-hal yang standar, seperti ‘kuliah
di mana?’ ‘jurusan apa?’ ‘semester berapa?’ ‘tinggal di mana?’ dan sebagainya.
Awalnya kita duduk berhadapan,
formal sekali suasananya. Lama kelamaan kita sama-sama menghadap ke laut.
Percakapan mulai mirip curhat. Kita bagai teman seusia. Dengan pandangan mata
yang sama-sama lurus ke depan, entah sedang melihat warna kuning kemerahan di langit,
kapal yang hilir mudik, air laut, daratan di seberang, atau hanya tatapan
kosong. Saya malah curhat sama om itu. Tentang alasanku datang kemari, tentang
semua ketermalasanku, tentang membaca dan menulis, tentang tanggung jawab….
Si om mulai menanggapi, dia
menceritakan tentang anak-anaknya. “Saya punya anak tiga ekor, jantan semua…”
belum selesai ucapannya saya malah tertawa, hilang sudah suasana dramatis tadi.
“Benarkan?” om itu bicara lagi karena melihatku merespon ucapannya dengan tawa.
Saya mengangguk.
Jadi, inti ceritanya adalah si om
ini mendidik anak-anaknya untuk tidak tergiur jadi PNS. Usahakan jangan jadi
bawahan orang, jangan dikasih gaji tapi kamu yang memberi gaji. Si Om semangat
membimbing anak-anaknya menjadi pemimpin. Memberi pelajaran tentang membedakan
isi otak, pemikiran, ucapan dan tingkah laku antara pemimpin dan buruh. Dan
yang pasti, tentang tanggung jawab.
Lalu dia bertanya, saya berapa
bersaudara dan anak ke berapa. “Saya punya adik laki-laki, saya anak pertama…”
jeda sebentar, saya menelan ludah yang rasa sakitnya bagai menelan sebutir
bakso yang belum terkunyah, “…tanggung jawabnya besar…” lanjutku pelan sekali,
mataku sudah berkaca-kaca.
Om itu lalu memberikan kata-kata
untuk menguatkan. Dia tiba-tiba jadi motivator. Waktu itu ada kapal yang datang,
“kapal ferry kah itu?” tanyanya tiba-tiba. Saya menggeleng tidak tahu. Di hari
yang mulai remang-remang, si om berusaha membaca tulisan di badan kapal. Saya
lupa apa yang dia baca, ada tiga kata kayaknya. “Betul?” dia memintaku
mengoreksi apa yang dia baca.
Saya menggeleng lagi, “saya tidak
bisa baca om.” Eh, dia malah bingung. “Maksudku, tidak bisa jelas lihat jarak
sejauh itu.”
Dia lalu tertawa, “berarti kamu
kalah dong sama saya, umurku 54 tahun tapi mataku malah lebih bagus. Jaga
baik-baik mata itu, apalagi sampai tua nanti…”
Jleeb!! Saya langsung mengkerut. Obrolan
itu masih berlanjut hingga malam benar-benar sudah pekat. Lampu-lampu kapal
sudah menyala dari tadi, menampilkan warna-warna indah di permukaan air. Ada
ungu dan kuning, indaah… sekali. Telapak kaki dan tangan mulai berkerut-kerut
kedinginan. Kami berpisah.
Tunggu, tarik napas dulu.
Heeeeehh…. Apakah saya sudah nyaman? Entahlah, saya hanya merasa sedikit lebih
baik. Sampai kapan saya mau nakal terus? Entahlah, masih terlalu banyak yang
berkecamuk dan mengambang tak tentu rimbanya. Inilah namanya puncak galau (saya
ingin cari teman senasib).*ET