![]() |
Cangkir baru :) |
Cinta pada sesuatu tak
perlu berlebihan, benar? Tapi memang susah adanya. Makhluk bernama manusia ini
terlalu mendramatisir apapun kecintaannya. Salah satunya ya, pasti saya.
Minum kopi adalah
kebiasaan rutin sejak bocah yang tak pernah terpikirkan. Cinta pada kopi, saya
betul-betul mengamatinya sejak 2 tahun belakangan. Tapi kopi sudah akrab di lidahku
sejak balita. Kebiasaan menyeruput kopi hitam di meja Bapak. Kopi yang
disajikan di meja dua kali sehari, pagi dan sore. Tapi ada peraturannya, kopi
itu baru boleh kuminum kalau sudah berkurang dari sejak waktu diseduhnya.
Alias, Bapak sudah minum duluan. Ya menghormati gitu, yang punya yang minum
duluan. Hehehe.
Dulu, Ibu yang membuat
sendiri racikan bubuk kopinya. Tapi karena alasan ‘mengefisienkan waktu’, kini
lebih memilih membeli racikan kopi hitam di pasar. Beberapa tahun belakangan
ini, dengan maraknya kopi instan, kopi di meja Bapak tak lagi selalu hitam
pekat.
Mungkin karena Dee atau
karena saya mulai sibuk berfilosofi, saya jatuh cinta pada kubangan hitam itu.
Cinta yang seadanya.
Baru beberapa jam yang
lalu saya membahas Latte bersama seorang kawan saat kami tengah menikmati Mocca
Float. (Mungkin lebih baik kusapa dulu dia, hai Indry!) Membincangkan para
pecinta kopi yang sibuk mengulas kopi sepanjang hidupnya. Rela bepergian jauh, survei
dan mencicipi berbagai varian kopi dari penjuru dunia. Ya, mereka begitu karena
ada kesempatan, budget dan imbuhan
keberuntungan.
Beda denganku, penikmat
kopi seadanya. Tak pernah benar-benar tahu jenis dan rasa kopi. Minum kopi
selalu apa adanya, apa yang ada ya itu yang diseduh. Begitu saja sudah cukup.
Cukup saya mengenali kopi dan jatuh hati padanya, dengan sederhana. Tanpa perlu
mencari lagi.
Cukup melihat liukan
asapnya, menghirup aromanya, dan menyesapnya lalu menyimpulkan catatan kecil dalam
notes. Itu cukup untukku. Tak perlu berlebihan. Seadanya.*ET