Sabtu, 22 Agustus 2015

Barang Lama



Catatan Harian 27 Juli 2015


Hal asyik yang mengakrabkan keluarga, membiasakan kerja sama, membuat kita mengenang diri yang dulu, sekaligus melelahkan adalah membongkar isi rumah. Bukan untuk mengubah apa yang sudah tertata lama, tapi memisahkan mana yang tak perlu ada lagi. Ya memang harus disingkirkan.
Saya memisahkan baju-baju lama, buku-buku lama, serta barang-barang mungil lainnya. Hal yang saya suka dari kegiatan ini adalah penemuan besar tentang masa lalu. Ya, masa lalu yang ditemukan kembali.

Ada beberapa buku tulis tipis yang sudah kucel, tapi isinya sungguh luar biasa, saya akan sangat menyesal jika buku-buku itu hilang. Buku-buku itu adalah tempat saya mencoret-coretkan sketsa ide tulisan ketika SMA dulu. Buku yang lusuh karena seringnya saya gulung dan lipat. Kubawa ke mana-mana, mulai dari ruang kelas, kantor, laboratorium, perpustakaan hingga kantin. Banyak macam noda menghiasi tulisanku yang awut-awutan. Entah itu karena terjatuh di tanah, terkena kecap, sambal dan saus bahkan tumpahan air sup saat di kantin. Hahaha… konyol sekali buku itu. Label ‘rapi’ sama sekali tidak pantas untuk buku itu walau pun saya yang memilikinya.

Jujur, saya merasa ilfeel dan malu membaca isinya. Tulisan yang dulu saya jago-jagokan, sekarang tampak seperti sampah. Itu tandanya saya sudah berkembang pesat, bukan? Oke, ada tulisan lain yang sangat mengejutkan, dalam selembar kertas yang sudah teremas dan kaku. Seperti ini isinya, tanpa saya ubah, kurangi atau lebihkan satu huruf pun:

Buat kakak yang beku

Ku tulis beberapa kalimat

di hamparan secarik kertas putih

ku torehkan tinta hitam tuk mengungkap rasa

dan harapan kepada sang kakak

yang tak tahu berada dimana

atau mungkin dia tiada

inginku, impiku, harapku kutuliskan… (cukup sampai di sini, hehe)


Saya rasa tidak perlu dilanjutkan lagi karena panjaang… sekali. Mungkin kalian yang baca tulisan di atas akan protes, penulisannya banyak yang salah! Memang. Kan saya tidak mengubah, menambah atau mengurangi satu huruf pun. Maklum, namanya juga tulisan tangan yang tidak bisa diedit. Sekarang pun masih begitu tulisan tanganku.

Lucu ya tulisannya? Saya sampai geli sendiri membacanya. Kacau, berantakan, bahasanya datar-datar saja. Tapi ya… begitulah dulu saya bisa merasa puas setelah menuliskannya.

Barang lama yang merangkap jadi harta karunku, menjadi layak disimpan dalam museum tulisanku. Sungguh penemuan yang luar biasa, bagaimana menggambarkan di level mana saya dulu berada. Untuk itulah saya tidak pernah meremehkan tulisan siapapun sejelek apapun itu.*ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar