Namanya
Bunga, tinggal bersama keluarga pamannya di dusun Jati Raya. Tapi dia bukanlah
Bunga Desa, karena pemegang title itu tentulah anak Pak Lurah. Seperti sudah
diikrarkan bahwa tak ada yang menandingi kemolekan Sarani. Gadis yang bisa
membuat para lelaki langsung menggunakan pomade.
Tapi,
bagai memiliki karisma, Bunga yang tampilannya biasa-biasa saja, selalu
berhasil jadi perhatian para warga. Tentu tetap tak bisa dibandingkan dengan Sarani.
Kedua gadis ini ada di kubu yang berbeda. Tapi Bunga membuat para warga
berkata, “Oh, si Bunga?...” setiap ada yang menanyakan atau membahasnya.
Dia
bukanlah bunga yang slalu dihinggapi kupu-kupu. Ulatpun mungkin malas
menyentuhnya. Beda dengan Sarani pemilik gelar bunga desa. Dia selalu semerbak
mewangi. Kelebatan bayangannya saja bisa memercikkan bunga-bunga melati ataupun
kelopak-kelopak mawar. Layaknya bunga sungguhan, Sarani selalu dikitari kupu.
Oh,
apalah daya, apa gunanya Bunga? Ia dikucilkan tapi tetap dibiarkan hidup. Ia
digunjingkan tapi tetap disapa. Jika Sarani layaknya ratu dari semua bunga.
Lalu apakah Bunga ini termasuk bunga bangkai? Ah, tidak. Dia hanya bunga...
tanpa kata bangkai.
Dia
sama sekali tak beraroma sebusuk bangkai. Tiap selesai mandi, selalu ia
semprotkan minyak wangi ke sekujur tubuhnya. Dia ingin dilihat, dia ingin
dianggap. Tapi ia tetap kalah dengan aroma alami Saran, sang bunga desa.
Bukan
seperti si Bunga Desa yang ada di halaman luas berpagar, yang selalu gembur
tanahnya, yang disirami setiap pagi dan sore, yang terus dijejali
pupuk-pupukan, yang dikelilingi ratusan kupu. Bunga ini hanya mengandalkan air
seadanya di dalam tanah. Jika tanah mengering, jangan heran jika dia layu. Tapi
dia terlatih untuk menunggu hujan.
Bunga
kini sedang mencari jati diri. Ya, diri juga punya jati. Nama jenis pohon yang
tumbuh di samping rumah pamannya. Konon katanya pohon itu sudah berumur
setengah abad. Setiap pagi dia merenungi pohon itu.
Jati
memang kokoh. Ah, pantas saja banyak orang mencarinya. Untuk menjadi pelekat
dalam diri seseorang. Setiap pagi Bunga menyirami pohon jati yang sudah besar
itu. Diameternya saja sudah tak cukup dalam pelukannya. Kebiasaannya itu
kembali menjadi pergunjingan para warga. Bunga dianggap sudah tidak waras.
Telinga
pamannya memanas. Bunga mendapat tegurandari beliau.
“Nak, pohon jati
itu tidak perlu disiram lagi. Umurnya sudah lebih 50 tahun. Dia sudah besar,
kokoh, sudah bisa hidup sendiri. Biarkanlah saja.” Ujar pamannya di suatu pagi.
“Apa
paman percaya kalau jati ini sudah kokoh? Sudah tidak perlu perawatan lagi?
Tinggal dibiarkan saja?” Bunga bertanya.
Pamannya
diam saja, dia bingung mau menjawab. Takut salah omong malah Bunga
menerjemahkannya lain lagi. Akhirnya dia mengangguk.
“Kalau
benar begitu, aku jadi lega. Kalau orang membahas tentang jati diri, aku dengan
bangga akan menunjukkan pohon ini.” Mata Bunga berbinar.
Pamannya
kembali diam. Dibiarkannya Bunga memiliki pandangan sendiri. Tapi ia terus saja
menjadi omongan warga. Hingga kini Bunga selalu disebut-sebut. Bangkai seolah
melekat terus dalam namanya. Padahal tidak. Jika ada yang bertanya pasti
jawabannya adalah...
“Oh, si Bunga?
Yang anaknya pelacur itu?”
*ET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar