Sabtu, 22 Agustus 2015

Bunga Tanpa Bangkai



Namanya Bunga, tinggal bersama keluarga pamannya di dusun Jati Raya. Tapi dia bukanlah Bunga Desa, karena pemegang title itu tentulah anak Pak Lurah. Seperti sudah diikrarkan bahwa tak ada yang menandingi kemolekan Sarani. Gadis yang bisa membuat para lelaki langsung menggunakan pomade.

Tapi, bagai memiliki karisma, Bunga yang tampilannya biasa-biasa saja, selalu berhasil jadi perhatian para warga. Tentu tetap tak bisa dibandingkan dengan Sarani. Kedua gadis ini ada di kubu yang berbeda. Tapi Bunga membuat para warga berkata, “Oh, si Bunga?...” setiap ada yang menanyakan atau membahasnya.

Dia bukanlah bunga yang slalu dihinggapi kupu-kupu. Ulatpun mungkin malas menyentuhnya. Beda dengan Sarani pemilik gelar bunga desa. Dia selalu semerbak mewangi. Kelebatan bayangannya saja bisa memercikkan bunga-bunga melati ataupun kelopak-kelopak mawar. Layaknya bunga sungguhan, Sarani selalu dikitari kupu.

Oh, apalah daya, apa gunanya Bunga? Ia dikucilkan tapi tetap dibiarkan hidup. Ia digunjingkan tapi tetap disapa. Jika Sarani layaknya ratu dari semua bunga. Lalu apakah Bunga ini termasuk bunga bangkai? Ah, tidak. Dia hanya bunga... tanpa kata bangkai.

Dia sama sekali tak beraroma sebusuk bangkai. Tiap selesai mandi, selalu ia semprotkan minyak wangi ke sekujur tubuhnya. Dia ingin dilihat, dia ingin dianggap. Tapi ia tetap kalah dengan aroma alami Saran, sang bunga desa.

Bukan seperti si Bunga Desa yang ada di halaman luas berpagar, yang selalu gembur tanahnya, yang disirami setiap pagi dan sore, yang terus dijejali pupuk-pupukan, yang dikelilingi ratusan kupu. Bunga ini hanya mengandalkan air seadanya di dalam tanah. Jika tanah mengering, jangan heran jika dia layu. Tapi dia terlatih untuk menunggu hujan.

Bunga kini sedang mencari jati diri. Ya, diri juga punya jati. Nama jenis pohon yang tumbuh di samping rumah pamannya. Konon katanya pohon itu sudah berumur setengah abad. Setiap pagi dia merenungi pohon itu.

Jati memang kokoh. Ah, pantas saja banyak orang mencarinya. Untuk menjadi pelekat dalam diri seseorang. Setiap pagi Bunga menyirami pohon jati yang sudah besar itu. Diameternya saja sudah tak cukup dalam pelukannya. Kebiasaannya itu kembali menjadi pergunjingan para warga. Bunga dianggap sudah tidak waras.

Telinga pamannya memanas. Bunga mendapat tegurandari beliau.

“Nak, pohon jati itu tidak perlu disiram lagi. Umurnya sudah lebih 50 tahun. Dia sudah besar, kokoh, sudah bisa hidup sendiri. Biarkanlah saja.” Ujar pamannya di suatu pagi.

“Apa paman percaya kalau jati ini sudah kokoh? Sudah tidak perlu perawatan lagi? Tinggal dibiarkan saja?” Bunga bertanya.

Pamannya diam saja, dia bingung mau menjawab. Takut salah omong malah Bunga menerjemahkannya lain lagi. Akhirnya dia mengangguk.

“Kalau benar begitu, aku jadi lega. Kalau orang membahas tentang jati diri, aku dengan bangga akan menunjukkan pohon ini.” Mata Bunga berbinar.

Pamannya kembali diam. Dibiarkannya Bunga memiliki pandangan sendiri. Tapi ia terus saja menjadi omongan warga. Hingga kini Bunga selalu disebut-sebut. Bangkai seolah melekat terus dalam namanya. Padahal tidak. Jika ada yang bertanya pasti jawabannya adalah...
“Oh, si Bunga? Yang anaknya pelacur itu?”
*ET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar